Semua Bab Penderita Kanker Jadi Manusia Super: Bab 231 - Bab 240

232 (18)Pegunungan Alpen, SwissOtto mengencangkan kerah bulu di lehernya. Dia memperhatikan gondola berkapasitas sepuluh orang itu berhenti di sisi terjauh ruangan. Kabel suspensi berderit.Badai telah menumpahkan salju setebal 60 cm di medan sekitarnya. Namun, penghalang cuaca telah pecah, setidaknya untuk sementara. Sinar matahari menembus celah di tebing. Semua kecuali satu peti berisi kargo berharga telah diturunkan dari gunung. Empat pria dan sebuah lift manual menunggu dengan sabar untuk mengakses paket terakhir.Otto berbalik menghadap pintu baja di belakangnya. Hans berada di sampingnya. "Buka," katanya.Hans memasukkan kode pada panel di samping pintu. Kuncinya berbunyi klik dan mereka melangkah masuk ke ruangan kecil itu. Pintu tertutup di belakang mereka. Lampu halogen menerangi sebuah peti berukuran 1,5 meter persegi. Bagian atasnya yang berengsel terbuka. Sebuah piramida terbalik berwarna hitam legam ditopang di dalamnya. Artefak itu telah ditemukan oleh leluhur Otto se

Khaled dan Kalinda berpelukan di sofa panjang dekat perapian besar. Tuan rumah mereka yang ramah memperkenalkan dirinya sebagai Otto Heinz. Dia duduk di hadapan mereka di kursi berlengan. Pengawalnya, Hans, berdiri di sampingnya.Kalinda memegang cangkir tehnya dengan kedua tangan. Dia menyesapnya."Aku merasa jauh lebih baik," katanya dalam bahasa Italia. "Aku tidak tahu bagaimana cara berterima kasih yang cukup."Otto menepisnya.“Tidak apa-apa. Kami dengan senang hati membantu. Hans sudah memanggil montir." Dia menunjuk ke luar jendela. Matahari telah menghilang di balik awan kelabu."Badai mungkin menunda kedatangannya, tapi tak masalah. Kalau begitu, aku akan menikmati kebersamaan denganmu lebih lama. Mungkin kalian akan menginap." Ia mengedipkan mata dan menyodorkan cangkirnya ke arah mereka. "Lagipula, kita kan punya kamar!"Otto sungguh ramah, pikir Khaled. Pria itu menunjukkan perhatian yang tulus pada keselamatan mereka. Suli

Otto mengamati pria yang duduk di hadapannya. Penyamarannya memang cerdik, tetapi gerakan mata, dahi yang berkerut, dan bahasa tubuhnya menunjukkan banyak hal. Pria itu gugup. Otto berharap lebih dari legenda hebat Khaled Thunderhawk—seorang yang konon menguasai dua belas bahasa, dengan kecerdasan dan keterampilan fisik tak tertandingi seperti Einstein.Perbedaan itu mengkhawatirkan. Apakah ada orang yang lebih lemah yang terbangun dari koma?Otto mencondongkan tubuh ke depan, beralih ke bahasa Inggris."Astaga. Ada laba-laba di bahumu." Dia mengamati reaksi pria Amerika itu.Alisnya berkerut. Kepalanya miring. Kebingungan.Pria itu tidak mengerti. Dia tidak bisa berbahasa Inggris.Otto menyingkirkan serangga khayalan dari sweter Khaled. Dia berkata dalam bahasa Italia, "Saya khawatir kastil ini penuh dengan mereka."Wanita itu tetap tenang selama percakapan itu. Dia aktris yang ulung, pikir Otto. Dia mengagumi bakatnya. Namun,

Khaled merasa pusing. Sepertinya Kalinda merasakan hal yang sama. Matanya berbinar dan senyumnya lembut. Kepalanya bersandar di sayap kursi bersandaran tinggi di sampingnya. Tehnya sangat enak, pikir Khaled.Otto duduk di seberangnya di mejanya. Suaranya menenangkan. Pria itu tuan rumah yang murah hati. Dan dia benar-benar ingin Khaled melihat apa yang ada di dalam kotak logam di mejanya.Kenapa tidak?Perhatian Otto teralih dari balik bahu Khaled. Khaled mengikuti pandangannya dan melihat dua pria berdiri di ambang pintu. Mereka mengenakan potongan rambut cepak dan baju terusan. Tangan mereka tergenggam di belakang punggung. Khaled curiga mereka juga ramah. Dia berharap mereka membawa lebih banyak teh.Hans melangkah maju dan meletakkan tangannya di sandaran kursi Khaled."Alles ist in ordnung," katanya kepada Otto."Luar biasa!" kata Otto.Khaled berharap mereka mengacu pada makanan. Dia mulai lapar. “Baiklah, Mr. Thunderhawk.

"Hei," bisik Kalinda. "Ada sesuatu yang terjadi."Mereka menempelkan telinga ke pintu. Teriakan menggema dari ruangan di sebelahnya. Diikuti oleh derap langkah kaki yang semakin pelan. Lalu yang mereka dengar hanyalah pusaran angin dari badai yang semakin membesar."Kurasa mereka sudah pergi," bisik Kalinda."Menurutmu apa yang terjadi?" tanya Eric."Ssst," kata Kalinda.Terdengar suara langkah kaki di luar pintu. Sesaat kemudian, kunci elektronik terlepas.Mereka bertiga melompat mundur. Jack bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Ia menarik napas cepat tiga kali, menegangkan otot-ototnya, dan bersiap untuk menyerang.Pintu terbuka.Pemandangan itu membuatnya terkesiap."Timmy!" seru Kalinda. Dia bergegas maju dan memeluk ilmuwan itu. Ia mengenakan sabuk pengaman di pinggang dan pahanya. "Kau masih hidup!"Timmy tersipu. "Aku harus tetap hidup. Jack bilang aku satu-satunya cadangan."Jack dan Eric menepu