All Chapters of Gairah Panas Atasan Mantan: Chapter 31 - Chapter 40

“Tolong beritahu di mana mereka berbulan madu, Pak,” pintanya lagi.Bayu mengerutkan kening, lalu menggeleng pelan. “Pak Bima, kenapa sih? Bukankah hubungan kalian sudah berakhir? Kenapa masih menanyakan soal istri atasan Anda sendiri?”Bima tampak gelisah. Dada kirinya terasa sesak. Semua emosi yang selama ini ia tekan akhirnya mulai muncul ke permukaan.“Saya tahu Nayla cuma marah. Saya juga tahu, dia masih mencintai saya. Dia nggak mungkin jatuh cinta sama Pak Darren. Sekuat apa pun dia berusaha menolak, saya yakin—seratus persen—saya adalah satu-satunya pria yang benar-benar dia cintai.”Bayu spontan tertawa, dan tawanya cukup keras. Ia menggeleng sambil menatap Bima dengan sorot mata tajam.“Setelah semua pengkhianatan yang Anda lakukan, Anda masih bisa berpikir begitu? Kalau memang Nayla mencintai Anda, dia nggak mungkin memilih untuk menikah dengan pria yang jauh lebih baik dari Anda. Sudah, Pak Bima. Saran saya, berhenti mengganggu kehidupan atasan anda sendiri dengan istrinya

“Kamu senang kan, Nay? Kamu juga menyukai sentuhan ku, kan?” tanya Darren.“Terpaksa suka,” jawab Nayla.Darren mengulum senyum. Dia kembali melanjutkan aksinya. Menjelajahi seluruh tubuh sang istri, setiap jengkal tubuh wanita cantik itu tak luput dari ciumannya. Darren benar-benar liar. Dia juga bangga menjadi satu-satunya orang yang menyentuh istrinya. Darren mengakui kalau istrinya ini sangat hebat menjaga diri. Bahkan seorang Bima, tak berhasil menyentuhnya. Ada kebanggaan tersendiri dalam diri sang CEO karena dia tak perlu malu bila bertemu dengan Bima. Justru dia harus bangga, mendapatkan wanita yang tak berhasil disentuh oleh bawahannya di kantor. Nayla menggelinjang seperti cacing kepanasan, setiap remasan tangan suaminya membuat tubuhnya bergetar hebat. Bahkan Darren yang disangkanya pria dingin dan tidak banyak omong ternyata adalah seorang lelaki humoris.Sementara di mata pria itu, sang istri adalah wanita yang kadang-kadang suka bertingkah konyol. Namun hal itu juga ya

“Kamu tuh nggak pantas nangisin dia. Keenakan dia nanti ditangisin kayak gini,” ujar Darren sambil menahan kesal.Nayla tidak menjawab. Ia hanya menunduk, membiarkan air matanya kembali jatuh tanpa suara. Darren tahu betul, tangisan itu bukan cuma karena Bima. Ada luka lain yang lebih dalam, dan selama ini Nayla terlalu pandai menyembunyikannya.Menurut Darren, istrinya tak seharusnya menangis karena pria yang jelas-jelas sudah berselingkuh. Apalagi dengan seorang pelayan. Rasanya Darren tidak ikhlas—bukan karena cemburu, tapi karena dia tahu, Nayla pantas mendapatkan jauh lebih dari semua rasa sakit ini.Nayla menghapus air matanya pelan. Ia berjalan lemas ke kursi yang ada di balkon kamar kapal pesiar itu. Ia duduk menaikkan kakinya ke kursi, memeluk kedua lututnya, menatap kosong ke arah laut yang bergelombang. Darren memilih duduk di sampingnya.“Kadang aku tidak mengerti… kenapa nasibku kayak gini. Aku dibuang sama orang tuaku di depan panti asuhan. Kehadiran aku aja di dunia ini

Tepat pukul 07.00, Bima turun ke lantai satu dengan langkah cepat. Kemeja putihnya sudah rapi menempel di tubuh, dasi biru tua terikat sempurna, dan sepatu pantofel mengkilap melangkah pasti di atas lantai marmer rumahnya. Dia tak sempat memeriksa pantulan wajahnya di cermin besar dekat tangga seperti biasanya. Hari ini bukan soal penampilan, melainkan tentang bagaimana dia bisa bertahan di tempat kerjanya.Bima tahu, tabungannya belum cukup untuk memulai bisnis impian yang selama ini dia rancang diam-diam. Mendirikan perusahaan sendiri butuh lebih dari sekadar ide. Butuh modal besar, strategi matang, dan waktu. Tapi satu hal yang tak pernah luntur dari benaknya, dia ingin sekali mengalahkan Darren. Apapun yang terjadi Nayla harus kembali ke dalam pelukannya, Bima tak peduli berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk mewujudkan keinginannya tersebut.Begitu memasuki ruang makan, Bima sempat mengernyit. Di meja makan, bukan pelayan rumah tangga yang biasa menghidangkan sarapan, melainka

Pelayan sudah membawa hidangan utama—dua piring steak yang disajikan hangat dengan saus khas dan potongan sayur rebus di sisi piring. Mocktail segar masih tersisa separuh dalam gelas kristal. Suara alat makan yang beradu lembut terdengar di tengah lantunan musik instrumental yang mengalun tenang dari sudut ruangan.Mereka makan dengan tenang. Obrolan ringan sesekali mengalir, kebanyakan soal menu yang disajikan atau penampilan restoran yang memang dirancang eksklusif.Nayla menyendok saus jamur ke potongan dagingnya. “Nggak nyangka makan malam di kapal bisa sehening ini.”Darren mengangguk pelan. “Kapalnya gede, jadi suara ombak juga kayak jauh.”Beberapa pasangan di meja lain tampak mulai berdiri. Musik berubah lebih lembut—melodi klasik yang cocok untuk berdansa. Di tengah ruangan, pelayan membuka ruang khusus. Lantai dansa kecil itu mulai terisi.Darren menatap ke arah sana beberapa detik, lalu kembali menoleh ke Nayla. “Kamu capek nggak, Nay?”Nayla menggeleng. “Nggak.”“Kalau git