All Chapters of Dibeli Mantan Ayah Mertua yang Hot: Chapter 21 - Chapter 30

Meski Aron hanya memakai pakaian casual dengan jaket hitam kulit, ia tampak keren. Berbeda dengan Lusi yang pakaiannya menarik perhatian orang di sana, karena outfit seblaknya sangat terasa. Saat mereka memasuki restoran 24 jam yang mewah itu, para pelayan menyapa Aron dengan hormat, bahkan ada yang menunduk terlalu dalam. Namun tatapan para pengunjung lain tak bisa dikendalikan. Lusi merasa dirinya seperti noda di karya seni mahal. Ia menunduk mpedul. Aron tidak sadar, atau memang tak peduli. Salah satu pelayan segera mempersilakan mereka menuju lantai dua, ke ruang VIP yang biasanya hanya sekelas pengusaha, politikus, atau tamu-tamu istimewa yang boleh masuk. Begitu pintu ruang VIP tertutup, dunia luar hilang. Yang tersisa hanya mereka berdua dan kesepian yang tiba-tiba menyeruak. Ruang VIP itu luas, dengan pencahayaan hangat dan meja kayu gelap. Hiasan dinding modern terpajang rapi, dan aromanya lembut seperti campuran vanila dan sandalwood. Lusi duduk pelan, mencoba men

"Wait, gak kamu salah kira." "Salah kira bagaimana, Bapak adalah ayah dari Rangga mantan suami aku. Di mana aku gak akan boleh nikah sama Bapak juga selamanya." "Lusi dengarkan, tapi kamu salah kira." "Ini bukan hal yang bisa saya kira-kira, Pak. Ini aturan yang gak bisa diubah lagi. Mulai dari aku terikat dengan Rangga, saat itu juga aku adalah anak Bapak juga. Aku masih cukup waras untuk tidak menerima cinta dari Bapakku sendiri." Aron terlihat diam, ia bingung bagaimana menjelaskan. Namun ia pikir, ada hal yang haru smemperkuat daripada hanya menjelaskan lewat kata-kata. Mereka akhirnya saling diam, sampai Aron mengantarkan Lusi ke kontrakannya. +++Pagi harinya, tumben sekali Aron tak bisa menjemput Lusi. Aron sedang ke Singapura untuk perjalanan bisnis, yang kemudian akan lanjut ke Amerika. Jujur saja, dengan pembicaraan terakhir yang seperti itu, rasanya mereka belum selesai. Keduanya sama-sama belum lega dengan apa yang mereka bicarakan. Sementara itu, Lusi memilih untu

Pukul 10 malam, Aron kembali ke hotel. Ia benar-benar kelelahan, tapi ia merasa lega. Tinggal satu meeting penting besok pagi, setelah itu ia bisa pulang ke Jakarta. Kalau diingat-ingat, ia seperti anak kecil yang taksabar diajak piknik orang tuanya. Selalu kepikiran tiap saat dan membayangkan waktu piknik yang menyenangkan itu. Ia duduk di tepi ranjang, membuka HP. Ekspresinya langsung bersemangat. Ada pesan dari Lusi. Lusi ||| "Pak, semoga kerjaannya lancar ya. Jangan lupa makan. Jangan kerja terlalu keras, Bapak pasti capek." Aron menatap layar itu lama sekali sampai dadanya terasa sesak. Kenapa perhatian sekecil ini bisa membuatnya merasa seperti ABG yang ditembak oleh gebetannya? Kemudiam, ia mengetik balasan. Aron ||| "Aku baik. Kamu udah makan?" Balasannya muncul tiga menit kemudian. Lusi |||| "Udah Pak. Bapak jangan pulang buru-buru, kerjanya diselesain dulu." Aron tersenyum samar. Lusi selalu begitu, menyuruhnya untuk istirahat dan fokus. Wajar sih, Lusi

Minggu pagi datang dengan cahaya lembut yang menembus sela-sela tirai jendela kontrakan. Udara sudah cukup hangat, tapi jantung Lusi jauh lebih panas dari itu. Ia sudah bangun sejak Subuh. Menyiapkan makanan, mengecek kotak bekal besar, memastikan semuanya rapat dan tidak tumpah. Menu hari ini, ia buat sendiri Nasi uduk lengkap, Ayam goreng kremes, Perkedel kentang, Tahu isi, Sambal terasi, Buah potong, Puding mangga dan minumannya teh. Kotak bekal itu begitu besar sampai ia harus memeluknya dengan dua tangan. Tapi ia senyum-senyum sendiri selama menata makanan. Ini piknik pertamanya dengan Aron, dan rasanya seperti mimpi. . Sementara itu, Aron memarkirkan mobil sport hitam metaliknya di depan kafe premium miliknya yang berada di pinggir jalan. Tempat itu dijaga ketat, jadi ia tidak khawatir meninggalkan mobil seharga apartemen dua lantai itu. Ia turun, merapikan kemeja santai korean style yang ia kenakan. Warna beige lembut, tangan sedikit digulung. Dipadukan dengan c

Suasana piknik yang tadi riang berubah hanya dalam hitungan detik. Angin yang tadinya terasa lembut tiba-tiba jadi dingin. Burung yang tadinya berkicau seolah menahan suara. Bahkan Aron, dari jauh, langsung berdiri begitu melihat tubuh Lusi menegang dan seorang perempuan mendekatinya dengan amarah yang meledak tiba-tiba. Namun Lusi masih dalam mode refleks penyayangnya. Ia mengangkat kedua tangannya pelan. “Maaf, Bu… saya tadi cuma—” Perempuan itu memotong. “Kamu apain anakku?! Nggak usah sok baik! Saya liat dari jauh anak saya lagi lari, terus kamu tiba-tiba... apain anak saya? Kamu senggol!” “Bu, saya nggak nyenggol. Anak ini jatuh sendiri, saya cuma mau bantuin.” “Jangan ngelak!” Nada perempuan itu tinggi dan nyaring, membuat beberapa orang menoleh. Lusi mundur satu langkah, tapi tetap berjongkok setengah karena anak kecil itu masih menangis. “Bu, benar… saya cuma mau nolong—” “Wait!” sebuah suara menghentikan mereka. Sampai Lusi kaget dan tubuhnya refleks m