All Chapters of Jodoh Jebakan Dari Opa: Chapter 81 - Chapter 90

Angin Bandung menyelinap lewat jendela, membawa udara dingin yang membuat Anaya menggigil sedikit sambil mengetik revisi di laptop. Raka duduk di sofa, tampak sibuk dengan ponselnya, padahal sebenarnya, dia sedang mengintip link bertajuk: “Cara Membangun hubungan agar selalu romantis.” Suaranya lirih: “Oke, semoga bisa di coba nantinya.” Setelah membacanya lagu, Raka merasa geli sendiri begitu membaca narasinya. “Yah, aku jadi kayak Opa versi milenial nih.” Raka tiba tiba berdiri, berjalan ke dapur pelan-pelan, takut mengganggu konsentrasi Anaya yang sedang serius mengetik. Langkahnya untuk membuat minuman hangat untuk mereka berdua.! “Mas Raka?” suara Anaya memanggil begitu melihat Raka tidak ada di dekatnya . “Iya Saset, mas di sini, mau buat teh hangat.” "Oh, okey deh, tak fikir tadi mas kemana" Sepuluh menit kemudian, Raka munc

Pagi itu di villa Bandung, suasana masih tenang dan sejuk. Raka dan Anaya baru saja menikmati sarapan sederhana, roti panggang buatan Raka dan teh manis buatan Anaya yang rasanya kelewat manis. Mereka tertawa kecil, membicarakan rencana jalan-jalan ke Lembang sore nanti.Di tempat lain, seseorang sedang menatap peta di ponselnya dengan ekspresi penuh tekad. Dewa.Dandanan rapi, rambut disisir ke samping, kemeja putih tanpa cela. Ia sudah bertekad bulat. hari ini, ia harus menjemput Anaya.“Dia pikir bisa sembunyi di Bandung begitu saja? Aku datang dengan niat baik,” gumamnya sambil menyalakan mobil.GPS pun mulai bicara, tapi Dewa menolak patuh.“Ah, aku hafal jalan ke sini,” katanya percaya diri.Tiga jam kemudian… ia tersesat di jalan perkampungan, ditatap aneh oleh kambing yang sedang lewat.Sementara itu di villa, Opa Hartono juga baru tiba,  dia sedang duduk manis di teras sambil menyeruput kopi.

Udara malam Bandung masih dingin, tapi hati Anaya justru terasa hangat. Mereka baru saja selesai makan malam sederhana, nasi goreng buatan Raka yang katanya “resep rahasia ala dapur darurat”. Rasanya? sangat “lezat”, karena tawa yang menyertainya membuat semuanya terasa lebih istimewa. Anaya menatap laki-laki di depannya, yang kini sibuk membereskan piring sambil bersenandung kecil. Suaranya pas-pasan, tapi entah kenapa, justru itu yang membuatnya tersenyum. “Mas Raka, kamu nggak capek?” tanya Anaya, masih duduk di kursi sambil menyeruput teh hangat. “Capek sih,” jawab Raka, tanpa menoleh. “Tapi kalau liat kamu ketawa, rasanya kayak langsung dapet bonus liburan tambahan.” Anaya menunduk, pipinya menghangat. Ia sudah terbiasa dengan lelucon Raka yang setengah serius, tapi malam ini ada nada yang berbeda. Lebih lembut, lebih dalam.

Malam itu Bandung terasa tenang. Udara sejuk menembus sela-sela sweater tipis yang Anaya kenakan. Di balkon villa, lampu gantung kecil memantulkan cahaya lembut, membuat suasana seperti potongan adegan dari drama romantis yang sering ia tonton waktu senggang, bedanya, kali ini ia yang jadi tokohnya. Raka duduk di sampingnya, diam. Tidak seperti biasanya yang cerewet, nyeleneh, dan selalu punya komentar lucu, malam ini ia tenang. Terlalu tenang. Anaya menoleh pelan. “Mas kok diem aja, sih? Biasanya kan Mas yang paling ribut nyuruh aku jangan melamun.” Raka tersenyum tipis. “Kali ini Mas lagi mau jadi pendengar.” “Pendengar?” Anaya mengerutkan kening. Padahal aku nggak ngomong apa-apa.” “Ya makanya, Mas lagi nunggu kamu ngomong,” jawab Raka santai, nada suaranya lembut tapi terdengar dalam. Anaya menatapnya, lalu tertawa kecil.

Matahari pagi bersinar lembut ketika Anaya melangkah keluar dari gerbang villa di Bandung. Udara sejuk menyambutnya, tapi bukan hanya hawa segar yang membuat hatinya berbunga. Dua minggu liburan, penuh tawa, hujan, mie instan malam hari, semua interaksi dengan Raka, membuatnya merasa lebih ringan, lebih cerah. Tas punggung tergantung di bahu, rambut diikat longgar, Anaya menatap jalan menuju mobil dengan senyum tipis di bibirnya. Hari ini, ia harus kembali ke kampus, kembali ke rutinitas, kembali ke dunia nyata yang menuntut skripsi dan laporan praktikum. Rasanya, sesuatu telah berubah di dalam dirinya, ia merasa lebih percaya diri, lebih siap menghadapi segala hal, termasuk dua pria yang kini berkeliaran di hidupnya: Raka dan Dewa. Begitu mobilnya masuk ke area parkir kampus, Anaya langsung disambut pemandangan yang membuat dadanya sedikit berdebar. Dewa berdiri dekat pintu