Semua Bab Pelayan Cantik Sang Presdir: Bab 31 - Bab 40

Ketukan ringan di pintu membuat Serena yang tengah sibuk memasukkan baju ke dalam koper menoleh. Dia melihat tatapan teduh dan senyum Jessica di sana. "Boleh masuk?" tanya kepala pelayan itu. "Iya, Bi," balas Serena tersenyum, membiarkan Jessica masuk menghampirinya. "Apa semua sudah beres?" tanya Jessica lagi. Matanya menatap satu koper berukuran sedang di dekat meja rias. Sementara yang besar masih di atas ranjang dengan posisi terbuka. "Sedikit lagi, Bi. Tinggal ini saja." Serena harus menyortir lagi pakaian yang akan dia bawa sebab tanpa diduga Asher dan Calvin membelikannya beberapa baju hangat dan sepatu. Mereka lebih khawatir Serena kedinginan daripada kehabisan uang. "Bibi tidak bisa memberimu apa-apa, Nak. Bibi cuma mau kasih kamu ini. Ini akan sangat bermanfaat saat kamu di sana nanti." Wanita paruh baya itu menyerahkan sebuah paper bag kepada Serena. "Harusnya Bibi nggak perlu repot begini." Namun Serena tetap menerima demi menghormati wanita yang sudah dia anggap se

"Astaga, Presdir! Kenapa Anda masih di sini?!" Max hanya melirik sekilas saat Calvin heboh melihat diriinya masih berkutat di depan laptop. Sekarang jam kerja, memang apa lagi yang bisa dia buat? Tidak ada meeting dan kunjungan proyek yang harus dia hadiri juga. "Serena berangkat hari ini. Jessica baru saja menelepon kalau mereka sudah di bandara sekarang!" "Lalu?" tanya Max tak acuh. Dia sudah tahu kabar itu. Bahkan subuh tadi Jessica sempat izin padanya untuk mengantar Serena ke bandara. "Anda benar-benar tidak ingin melihat gadis itu sebelum dia pergi?" Diam-diam Max menarik napas panjang. Semalaman dia sudah memikirkan hal itu dan memutuskan untuk melepas gadis itu. Jika nekat mengantar kepergian Serena, dia takut malah tidak bisa melepasnya. "Kalau kamu mau pergi, ya pergi saja. Tidak perlu seheboh ini di kantor." Ucapan dingin sang tuan membuat Calvin menganga. Namun pada akhirnya dia hanya bisa menghela napas pasrah. Dia mengangguk, mengerti. "Oke. Pesawatnya take

Dari kejauhan Max bisa melihat gadis yang sekarang sudah menjelma menjadi seorang wanita berjalan bersama rombongan penumpang lain menuju koridor titik jemput. Awalnya dia ragu jika wanita itu Serena. Namun jika diperhatikan dengan seksama wanita itu memanglah Serena hanya saja fisik dan penampilan berbeda. Serena jauh lebih tinggi dari enam tahun yang lalu. Dia mengenakan model atasan lengan panjang dengan bahu terbuka sebelah. Sementara tungkai panjangnya dibalut celana kulot yang menambah kesan makin jenjang. Topi putih menghiasi kepalanya, sementara rambutnya yang panjang seperti sengaja dibiarkan tergerai. Dia berjalan penuh percaya diri dengan kacamata hitam bertengger di pangkal hidungnya yang runcing. Koper besar berwarna pink menjadi tengtengannya selain tas yang menyampir di bahunya. Untuk beberapa lama Max benar-benar terpaku. Mengawasi dengan takjub segala perubahan yang terjadi pada gadis itu. Ah, Serena sudah tidak cocok disebut gadis lagi. Selama enam tahun Max men

"Di mana dia? Di mana?" Langkah tak sabar Calvin memasuki mansion begitu pintu dibuka dari dalam oleh Jessica. Dia sudah tidak sabar menahan rindu pada Serena. Seharian Max menahannya di kantor, mengurus dan menggantikan beberapa jadwal yang seharusnya Max hadiri. Bahkan ketika bosnya kembali ke kantor, Calvin dilarang keluar untuk sekedar menemui Serena. Enam tahun rasa penasaran menghantui asisten pribadi itu. Bukan hanya melarang mengunjungi Serena di Cambridge sana, Max bahkan melarangnya mencari informasi tentang gadis itu. Meskipun Calvin sempat protes dan menganggap Max kejam, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi pria kesepian itu. Bukan tanpa alasan Calvin menyebut Max pria kesepian. Tuannya itu memang memiliki tiga wanita cantik, tapi sejak kepergian Serena, Max sudah sangat jarang mengunjungi mereka. Max seperti kehilangan minat terhadap wanita semenjak itu. Beberapa wanita yang Calvin tawarkan gagal membuat gairah pria itu kembali. "Anda baik-baik s

Serena mengenakan dress hitam di bawah lutut dengan aksen ikat pinggang saat mendatangi makam ibunya. Rambutnya dia ikat ke samping, menjuntai ke bagian bahu kanan. Tidak lupa dia kenakan kacamata hitam agar tidak ada seorang pun yang bisa melihat kesedihannya. Termasuk pria yang bersamanya saat ini. Sebelah tangannya memeluk buket bunga, dan sebelah lainnya menggenggam sebuah tas. Kakinya yang beralaskan boots pendek bergerak pelan melewati jalan kecil. Makam ibu terlihat sangat memprihatinkan. Kentara sekali tidak pernah ada yang datang untuk sekedar membersihkan. Serena merasa bersalah dalam hal ini. Sebagai anak satu-satunya dia sudah bertahun-tahun tidak menjenguk makam ibu. Dia menengok sekitar. Makam lain di sekitar sangat terawat dan rapi tidak seperti makam ibunya. Bahkan tulisan di nisan sebagian sudah mengelupas. Gundukan tanah pun sudah hilang. Hanya rumputnya saja yang terlihat begitu lebat. "Maafin aku baru bisa datang ke sini, Bu. Maaf," ucap Serena pelan. Seketika