All Chapters of Sentuh Aku, Pak Mentor: Chapter 41 - Chapter 50

John memeluk Sophia yang terbaring di sampingnya. Kamar itu masih diselimuti temaram lampu kuning yang lembut, menciptakan bayang-bayang hangat di dinding.Nafas keduanya masih belum sepenuhnya stabil, namun ritmenya sudah mulai menyatu, tenang.John menarik tubuh Sophia lebih dekat, seakan ingin memastikan bahwa wanita itu benar-benar ada di dalam pelukannya dan bukan hanya bayangan dalam mimpinya.Tangan besar John mengelus lembut lengan Sophia, setiap gerakan terasa lambat dan penuh perhatian.Sesekali, dia menundukkan kepala dan mengecup bahu telanjang wanita itu, ciumannya begitu ringan, seperti sentuhan angin hangat yang membuat Sophia meremang pelan.Sophia menoleh dan rambutnya jatuh mengalir menutupi sebagian wajahnya. Senyum tipis muncul di bibirnya, sebuah senyum yang mengandung keraguan dan kebahagiaan sekaligus.“Aku ingin tahu,” ucapnya dengan pelan.“Apa?” tanya John dengan pelan. Sophia menelan salivanya sebelum berkata, “Apakah aku pantas menerima semua ini? Melakuk

“Aku pernah menjadi wanita paling bodoh pada masa itu. Sekitar enam bulan yang lalu, aku menyerahkan semua uangku pada Mike. Meski itu dianggap sebagai investasiku di sana.”Suara Sophia terdengar begitu pelan, nyaris seperti bisikan yang penuh luka.Mereka sedang duduk di ujung ranjang, lampu kamar redup, cahaya kuningnya membias lembut di kulit mereka.Rambut Sophia yang tergerai jatuh melewati bahu telanjangnya, sementara jarinya sibuk meremas ujung selimut, seperti sedang mencari pegangan untuk menahan rasa malu yang menelannya hidup-hidup.John yang ada di sampingnya spontan menaikkan alisnya, ekspresi wajahnya berubah drastis dari santai menjadi tak percaya.“Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada lebih serius dari sebelumnya. “Kau menginvestasikan uangmu ke perusahaan Mike? Begitu?”Sophia mengangguk pelan, matanya menunduk, menghindari tatapan pria itu. “Jika aku putus dengannya, aku takut uang itu tidak kembali. Karena selama enam bulan ini aku hanya baru tiga kali mendapat komi

Sophia berdiri tepat di depan vila kayu bergaya modern yang dikelilingi oleh hutan pinus yang menjulang tinggi.Udara di sana begitu sejuk, menampar lembut kulitnya dengan aroma tanah basah dan wangi pepohonan.Pagi itu langit cerah, sinar matahari menembus celah-celah dedaunan dan menciptakan kilau keemasan yang memantul di kaca besar vila.Suasananya hening. Tenang. Nyaman. Seperti dunia kecil yang terpisah dari kesibukan kota.Sophia menarik napas dalam-dalam, meresapi udara segar yang tak pernah ia temui di tempat lain.Ketika dia masih terpukau, John menghampiri dari belakang dan memeluk tubuh mungilnya.Tubuh hangat lelaki itu langsung kontras dengan udara pegunungan yang dingin, membuat Sophie tersentak pelan tapi kemudian tersenyum, merasakan kehangatan itu merayap ke dadanya.“John, tempat ini … sangat indah,” bisik Sophia tanpa melepas pandangannya dari pemandangan di depan.Matanya membulat kagum, bibirnya sedikit terbuka, seperti anak kecil yang melihat surga pertama kalin

"Jangan takut. Kenapa harus takut pada pria manipulatif sepertinya? Aku bisa melaporkannya balik dengan pasal pemerasan padamu."Sophia langsung terdiam mendengar ucapan John yang terlalu tenang dalam melewati semua ini. Seolah Mike hanyalah butiran debu yang akan dia basmi hanya dengan sekali tiup. "Makanlah." John menyodorkan steak yang sudah dia potong-potong untuk wanita itu. Sophia menerima makanan itu dan mencicipinya. "Um. Enak sekali. Kau memang jago masak, John!" seru Sophia sambil memuji masakan John yang pas di lidahnya. John yang melihatnya langsung tersenyum. "Aku senang kau menyukai masakanku.""Aku memang menyukai apa pun yang ada dalam dirimu dan juga apa yang kau miliki."John lantas terkekeh mendengar ucapan Sophia barusan. Entah pujian, atau ungkapan perasaan, entahlah, John tidak tahu. Yang jelas, dia senang melihat Sophia ada di hadapannya, akan selalu bersamanya, meski satu masalah yang akan mereka hadapi bersama nanti. Lima belas menit kemudian, keduanya su

Jarum jam sudah menunjuk angka sembilan ketika dia tiba. Butik masih sepi; hanya suara langkah kakinya yang terdengar memantul di lantai marmer. Aroma wangi kain baru, manekin berjajar, serta tumpukan sketsa lama menyambutnya seperti biasa.Sophia menyalakan lampu meja desainnya, lalu menarik kursi dan duduk perlahan. Di hadapannya, lembar-lembar kertas kosong sudah siap diisi goresan pensil.Dia mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan, merancang beberapa desain baru. Goresan pertama dia buat dengan hati-hati, namun pikiran Sophia tidak sepenuhnya berada di butik.Dua hari bersama John terasa menempel seperti bayangan indah yang sulit diusir. Udara pegunungan yang segar, tawa mereka saat makan malam, percakapan panjang tanpa tekanan, dan sentuhan John.Semuanya masih terasa hangat di kulitnya. Ada rasa bahagia yang mengisi dadanya, namun juga keinginan kuat untuk kembali ke tempat itu, ke suasana tenang dan kebersamaan yang membuatnya lupa dunia.Pensil di tangannya berhenti berge