All Chapters of Sentuh Aku, Pak Mentor: Chapter 51 - Chapter 60

Aroma roti panggang memenuhi ruang dapur kecil apartemen itu. Sophia berdiri di depan kompor sambil memegang spatula, menatap telur dadar yang perlahan mengembang dengan pinggiran yang mulai kecokelatan.Di sisi lain, alat panggang kopi mengeluarkan bunyi lembut, tanda kopi buatan tangan yang dia racik khusus untuk John sudah hampir selesai menetes ke dalam mug.Sejujurnya, dia sendiri tidak mengerti kenapa pagi ini dia bisa begitu bersemangat. Jarang sekali dia bangun sepagi itu hanya untuk datang ke apartemen John dan menyiapkan sarapan untuk seseorang.Bahkan untuk dirinya sendiri, terkadang Sophia hanya minum air putih lalu langsung ke butik. Namun untuk John, entah bagaimana, tubuh dan hatinya bergerak tanpa diperintah.Dia membuatkan roti panggang, telur dadar, sedikit salad, irisan buah, hingga semangkuk sup miso yang hangat.Meja makan penuh oleh hidangan rumahan yang sederhana namun tampak seperti dibuat dengan sepenuh hati.Sophia memandangi semua itu dan menghela napas keci

John melangkah perlahan menghampiri Sophia yang masih berdiri membelakanginya.Cahaya lampu ruang tamu apartemen itu jatuh tepat di punggung Sophia, membuat bayangannya tampak goyah seperti perasaannya saat ini.Tatapan kosong wanita itu mengarah pada jendela, ke luar sana, entah pada apa—mungkin pada segala hal yang terasa runtuh dalam hitungan menit.Jantung John berdebar tak karuan. Dia bahkan bisa merasakan detaknya sampai ke tenggorokan, menyesakkan. “Sophia …,” bisiknya dengan pelan sambil mendekat beberapa langkah.Tangannya terulur, hendak meraih tangan Sophia yang menggantung lemah di sisi tubuhnya.Namun begitu ujung jarinya menyentuh kulit wanita itu, Sophia langsung menepisnya cepat.“Jangan,” ucapnya lirih, menarik napas panjang yang terdengar seperti usaha terakhir untuk menahan dirinya agar tidak hancur.John menahan napas. “Aku ingin menjelaskan. Apa pun yang—”“Tapi percuma.” Sophia memotongnya tajam, meski suaranya bergetar. “Ucapan ayahmu itu memang benar.”John men

Bianca muncul dari balik pintu pantry kecil butik sambil membawa dua gelas kertas berisi kopi panas.Aroma kopi pun langsung memenuhi ruangan itu, namun Sophia tetap duduk terpaku di mejanya, menatap kosong pola kayu di permukaan meja seolah ada jawaban hidupnya di sana.“Ini sudah jam sebelas, Sophia,” ujar Bianca sambil menaruh salah satu kopi di depan temannya itu. “Kenapa masih di butik? Tidak pulang? Bahkan tidak ganti baju dari pagi?”Sophia berkedip pelan, seperti baru saja tersadar dari lamunan panjang. Dia menelan salivanya yang terasa pahit, lalu mengambil kopi itu. Tangan yang biasanya stabil kini sedikit bergetar ketika ia mengangkat gelasnya.“Terima kasih,” gumamnya lirih.Bianca duduk di kursi seberang dan menatap Sophia dengan rasa cemas yang tidak dia sembunyikan. “Ada apa? Dari tadi wajahmu pucat. Kau tidak bicara apa pun sejak pagi.”Sophia menyesap kopinya sedikit, berharap rasa pahit itu bisa membantu menenangkan pikirannya. Tapi justru membuat dadanya semakin ses

Pintu klinik itu terbuka dengan keras, hingga membuat John yang sedang berdiri di dekat meja resepsionis langsung memutar tubuhnya, keningnya berkerut.Namun sebelum dia sempat mengeluarkan satu kata pun, Mike sudah lebih dulu menghampirinya dengan langkah penuh amarah.Tangan Mike langsung mencengkeram kerah kemeja John, menyeretnya mendekat.“Kau!” desis Mike dengan wajah merah padam. “Kau yang mencuci otak Sophia! Kau yang membuatnya membatalkan pertunangan itu, kan?!”John seketika membeku. Dadanya naik turun. Bukan karena takut, tapi karena terkejut. Sophia sungguh sudah mengatakannya? Jadi Mike sudah tahu?“Hentikan,” ucap John pelan namun tegas, mencoba melepaskan cengkeraman Mike dengan kedua tangannya. “Mike, lepaskan aku.”“Tidak!” Mike mendorong tubuh John ke dinding hingga memukul panel kayu di belakangnya.“Aku tahu semua ini gara-gara kau! Kau memanfaatkan kondisi Sophia yang rapuh! Kau mempengaruhi pikirannya! Kau—"Cengkeramannya semakin keras.Untuk sesaat, John membi

Malam sudah larut ketika John menghentikan mobilnya di area parkir apartemen Sophia. Jam di dashboard menunjukkan pukul 10 malam.Udara malam yang dingin, namun tubuh John terasa lebih dingin dari itu. Dia melangkah cepat menuju lobby, berharap bisa langsung menekan kode akses dan melihat Sophia di dalam apartemennya.Namun harapannya langsung terhenti.Saat dia mendekat ke pintu unit, panel digital yang biasanya menyala kini gelap.Tidak ada lampu indikator, tidak ada suara bip saat dia menekan tombol. Bahkan password yang biasa ia masukkan tidak merespons sama sekali.“Apa ….” John mengerutkan kening lalu kembali mencoba menekan ulang beberapa kali.Tetap tidak ada respon dari dalam. Tetap hening dan membuat John kian cemas.John menekan bel pintu dan tak ada bunyi. Sama sekali tidak ada.Jantungnya mulai berdetak keras. Ada perasaan tidak enak yang naik perlahan ke dadanya.“Ada apa dengan ini …?” gumamnya kemudian.Dia mencoba lagi dan lebih keras kali ini. Menekan bel, mengetuk p