Catur rogo dalam bahasa jawa catur bisa digunakan untuk nama anak keempat, atau berarti empat, dan rogo memiliki arti tubuh. Cerita ini mengisahkan empat pemuda dengan kekuatan istimewa berusaha mengalahkan kejahatan. Satu persatu rintangan berhasil dihadapi. Hingga mereka harus menemukan dua orang lainnya untuk mengmpulkan kekuatan. Setelah bertemu, takdir tak berjalan mulus. Penghianatan hadir membuat kekalahan pada pihaknya. Mereka harus terpincang menghadapi musuh yang tak sepadan. Dengan kelicikan mereka mengecoh lawan, meski harus mengambil janji kegelapan akhirnya mereka menang. Namun, takdir tak seperti yang mereka harapkan. Ada hal yang harus dibayar mahal, bahkan lebih mahal dibandingkan kekayaan.
View More"Gue ngerasa ada yang beda semenjak kita pulang dari gedung terbengkalai. Iya enggak, sih?" Raut wajah serius ditunjukkan pemuda dengan alis tebal.
Tatapan tak suka terpancar dari lawan bicaranya yang sedang sibuk memakan mi. "Asep bilang enggak ada apa-apa, 'kan? Jangan parnoan. Lo udah duapuluh tahun masa takut sama setan," omel Mahes yang paling sebal jika sifat penakut Bagas muncul.
Badan besar dengan sedikit otot tak membuat Bagas berani dan ketakutannya hilang. Dibalik wajah tampan dengan sifat humoris tersimpan jiwa penakut yang sudah mendarah daging dan sulit dihilangkan. Mungkin karena selama ini ia hidup dikelilingi tiga pria membuatnya terbiasa untuk dilindungi membuat sifat penakutnya enggan menghilang. Terlepas dari itu, bukankah setiap manusia wajar bila memiliki rasa takut meski berlebihan? Asal rasa takut tak membuatnya hilang kewarasan.
"Takut mah takut aja, enggak ngaruh sama umur," ujar Bagas tak terima dibilang penakut. Sebab bukan hanya dirinyalah yang penakut. Banyak orang di belahan bumi lainnya pun memiliki ketakutan.
"Brisik," tegur seorang pria dengan wajah berwarna hitam yang berjalan ke arah di mana mereka berada. Wajahnya hitam bukan karena warna kulitnya, tetapi hitam karena sedang menggunakan masker wajah. Dia adalah Asep, pria yang sangat menjaga tubuhnya, terutama wajah.
"Noh, Bagas bahas hal yang sama. Padahal lo udah bilang minggu lalu kalau keadaan normal-normal aja." Mahes beranjak ke dapur untuk menaruh mangkuk mi yang baru saja ia makan.
Taksa yang ingin terlelap tidak bisa memejamkan matanya dan memilih bergabung dengan mereka karena suara bising menganggunya. Dengan celana bahan panjang berwarna hitam dan kaos pendek putih tulang ia keluar dengan wajah sedikit kesal. "Kebiasaan. Ini udah malam." Taksa memilih duduk di sofa dan mengambil remot untuk menonton.
"Berhubung kita lagi kumpul. Bahas konten sekalian enggak apa kali, ya, masih jam sebelas, belum malam, 'kan?" ucap Mahes yang melihat jam pada dinding dan berjalan ke kamarnya untuk mengambil laptop, tak lupa ia memberikan senyum manis kepada ketiga pria yang sedang melihatnya dengan tatapan tak suka.
"Ini malam Jumat, Hes. Gue tonjok lo. Tidur aja, yuk!" ajak Bagas dan bersiap meninggalkan Taksa dan Asep.
"Sebentar, gue cuci muka dulu." Asep segera mencuci wajahnya dan membersihkan masker. Sementara itu Bagas yang ingin beranjak tidak jadi karena suara Taksa menginterupsi.
"Gas." Suara berat milik Taksa membuatnya kembali duduk dan diam. Ya, bagi penghuni rumah itu Taksa adalah kakak tertua. Dimana ucapannya akan dipertimbangkan untuk selalu dituruti. Meski begitu, Taksa bukan lelaki pengatur. Ia membiarkan Bagas, Mahes, dan Asep melakukan keputusan mereka sendiri karena mereka sudah dewasa. Namun, dalam kondisi tertentu ucapannya akan dituruti dan ia akan tegas dengan ketiganya.
Mereka bukanlah kakak beradik sedarah. Mereka hanya meneruskan persahabat yang dibuat sebelum mereka lahir--oleh kakek nenek mereka. Namun, mereka menyadari bahwa ada kecocokan yang membuat persahabatannya awet diluar masa lalu tersebut. Saling melengkapi dan sudah seperti keluarga sendiri mungkin alasannya. Hingga sekarang mereka membuat usaha bersama dan tinggal seatap. Meski terkadang keributan kecil mewarnainya.
"Nih, bulan depan udah cair duit kita," ucap Mahes membuat mata ketiganya memancarkan kebahagiaan dan kompak menarik sudut bibir masing-masing untuk menjelaskan apa yang dirasa sekarang. Taksa langsung mematikan TV dan berfokus pada Mahes.
"Akhirnya. Hampir setahun kita nunggu, enggak sia-sia gue nahan rasa takut." Bagas tersenyum dengan menampilkan deretan gigi putihnya serta nada riang mendominasi perkataannya.
"Apa perlu kita buat konten seminggu dua kali? Biar lebih banyak penghasilan kita."
Taksa menggeleng, ia tak setuju dengan usul Mahes. "Enggak, sekali satu minggu udah cukup. Kita semua punya kesibukan masing-masing. Kita udah sepakat bahwa ini buat sampingan aja."
Asep membenarkan ucapan Taksa. "Iya, Hes. Gue tau ini dunia lo, tapi bukan berarti gue, Taksa, dan Bagas harus masuk dan ikutan. Soal kesepakatan diawal. Gue enggak mau ada perubahan. Selamanya harus begitu. Lo tau sendiri jadwal kerja gue enggak tentu."
Asep bekerja sebagai fotografer panggilan. Ia mengerjaknnya bukan semata-mata untuk mencari uang, tetapi untuk kesenangan. Sebab hobinya sejak remaja adalah memotret. Asep pula, lah yang memotret baju-baju distro mereka untuk gambar promosi mereka.
***
Dengan mata yang belum sepenuhnya melihat dengan jelas, Bagas yang sudah tak tahan dengan perutnya yang mulas bergegas ke kamar mandi tanpa melihat jam. Baginya yang terpenting sekarang adalah menuntaskan hajatnya.
"Lega," gumamnya. Dengan mata yang sudah bisa melihat dengan jelas--sebab ia sudah mencuci wajahnya. Ia langkahkan kaki kembali ke kamar, tetapi belum sampai di depan pintu kamar. Ia melihat Mahes sedang duduk menonton TV yang sedang menyiarkan pertandiangan sepak bola. Saat melihat jam ternyata pukul dua pagi.
"Tumben nonton, padahal bukan tim lo, gue temenin, deh," ujar Bagas saat mendekat ke Mahes.
Karena Mahes tak kunjung menjawab, Bagas semakin mendekat. Saat diperhatikan dengan saksama, kulit Mahes terlihat sedikit pucat dari biasanya. Entah mengapa hawa dingin tiba-tiba dirasakan Bagas. "Hes, gue gak jadi nemenin, ya, ngantuk gue. Ditambah hawanya dingin, enak buat selimutan ehehe." Bagas tak jadi lebih mendekat, ia merasakan hawa dingin serta bulu kuduknya meremang.
Gue kenapa, dah. Kok ngerasa takut sama Mahes. Apa karena dia diem aja. Halah pasti perasaan gue, doang. Saat itu Bagas kembali tidur. Ia menganggap biasa hal yang baru saja terjadi.
Keesokan paginya. Rumah itu diributkan oleh fakta bahwa yang dilihat Bagas bukanlah Mahes. Karena saat sedang sarapan berdua ia menanyakan siapa yang menang dalam pertandingan bola semalam. Namun, bukannya menjawab siapa pemenangnya, Mahes justru mengatakan ia tidak tahu karena tak menonton. Hal itu langsung membuat jiwa penakut Bagas kambuh.
"Serius lo. Alah bohong, kan lo. Jangan takutin gue, bangsat," umpat Bagas saat mendengar hal mengejutkan dari Mahes.
"Apaan, sih, pagi-pagi udah ribut. Ganggu tidur gue, aja," omel Asep yang baru saja bangun dan langsung melahap nasi goreng milik Mahes.
"Jorok. Kebiasaan banget enggak cuci muka dulu," cibir Mahes yang sangat menjaga kebersihan dan amat sangat mudah merasa jijik akan sesuatu. Ia langsung menarik piring saat Asep sedang memakan makanannya.
Setelah selesai makan dengan sedikit perdebatan kecil, mereka berempat duduk di sofa di depan TV. Tak lupa dengan keadaan yang sudah mandi dan membereskan rumah. Mereka terdiam saat mendengarkan cerita Bagas, tentu dengan tambahan kata dan sikap yang memuakkan. Pasalnya jika hal itu berkaitan dengan hal gaib, Bagas akan selalu membuatnya heboh, bahkan lebih heboh dari kabar perselingkuhan artis.
"Gak usah lebay, deh, Gas. Kebiasaan kalau ngomong dilebih-lebihin." Asep yang risih dengan kerewelan Bagas angkat bicara, sebab apa yang dikatakannya memang berlebihan. Selama ini Asep dan Bagas tak akur jika membahas hal berbau horor.
"Sep, tapi apa memang ada ganggu. Apa benar ucapan Bagas soal gedung terbengkalai itu?" Suara Taksa yang sedikit berat membuat ketiganya langsung menoleh menatapnya. Hal itu sengaja Taksa tanyakan sebab ia juga merasakan hawa aneh. Namun, ia diam karena Bagas.
Asep yang memiliki kemampuan bisa melihat mereka yang tak kasat mata menghela napas panjang. Jika sudah Taksa yang berbicara artinya ia harus mengungkap kebenarannya. "Iya. Ada yang ganggu. Awalnya gue kira cuma main, ternyata dia ngikut salah satu dari kita." Wajah Bagas sedikit pucat dengan raut ketakutan. Ia langsung pindah tempat duduk dan langsung mendekat ke Asep.
"Apaan, sih, lo. Jauh-jauh sana, risih gue." Meski sudah disuruh pergi, Bagas tetap menempel pada Asep. Ia pun mengalah dan membiarkan Bagas.
"Waktu itu, gue ngeliat bayangan masuk kamar, gue pikir bayangan Mahes. Tapi paginya gue inget klo dia lagi pulang. Pernah juga gue liat Mahes lagi tidur pas mau ke toilet. Pas balik dia enggak ada. Enggak lama setelahnya Mahes masuk bawa laptop. Sengaja enggak cerita karena gue tau Bagas bakal kaya gini." Taksa menceritakan hal itu dengan menatap ketiganya bergantian.
Asep mengusap wajahnya kasar. "Gue udah wanti-wanti, jangan sompral, jangan sok jagoan, jangan ganggu. Yang namanya tamu harus menghormati tuan rumah." Asep kembali menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Kita lupa, kita sempet bercanda dan ngomong sompral di sana. Apalagi lo, Hes. Lo sempet nantang, dan akhirnya kejadiannya gini." Asep menatap Mahes yang juga menatapnya karena terkejut.
"Enggak bisa diusir atau dibujuk untuk pergi?" Kembali, Taksa bersuara. Ia merasa sudah gagal menjadi kakak bagi mereka karena tak mampu menjaga dan malah ikut bercanda di saat harus melarangnya.
"Gue udah coba, dia enggak mau. Dia udah nyaman di sini. Pas gue ajak ngomong lagi, dia menghindar. Gue samperin, dia ilang. Itu tandanya dia gak mau pergi. Bingung gue gimana caranya dia pergi."
"Enggak ada cara lain?" Kali ini Bagas kembali bersuara. Ia sangat ketakutan sekarang. Ia paling benci dengan kejadian horor meski ia seorang penulis horor.
"Bisa. Mungkin dengan pembersihan paksa atau gimana gue juga enggak paham. Ilmu gue enggak setinggi itu. Lagi pula selama ini gue belum pernah ngalamin gini." Bukannya takut, Asep justru menyeringai. "Tapi, ini seru enggak, sih. Gue bisa sekalian belajar dan memperdalam kemampuan yang gue punya."
"Pala lo seru. Hidup kita dalam bahaya. Ia kalau dia cuma nampakin diri, kalau sampai nyelakain. Bisa mati kita," ujar Bagas dengan wajah ketakutannya.
Asep yang semulanya biasa saja mengubah raut wajahnya. "Bener juga. Soalnya gue belum bisa bedain mana yang baik mana yang jahat. Enggak menutup kemungkinan kalau kita bisa celaka. Tapi sejauh ini enggak terjadi apa-apa, 'kan. Jadi tenang aja." Ia berusaha membuat keadaan tenang.
"Bukan mungkin lagi, gue pernah baca kalau yang seperti itu terlalu lama di dunia bisa terkena aura negatif. Bahkan lo gak tau, kan, kalau dia itu baik atau buruk. Manusia yang terlihat baik aja sebenarnya buruk. Apalagi mereka yang bisa dengan mudah memanipulasi. Lagi pula kita enggak tahu sejarah hidupnya dan belum terjadi apa-apa bukan berarti kedepannya juga iya. Jadi gue rasa secepatnya harus kita beresin urusan ini," ucap Bagas dengan tegas. Wajahnya menyiratkan keseriusaan terhadap omongannya barusan.
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia melihat Taksa dari dalam toko sedang menanyakan beberapa orang yang membeli roti di tempat yang tak jauh dari toko Rengganis.Rengganis setia melihat Taksa dari kejauhan. Ia cemas, takut apa yang dikhawatirkan benar terjadi. Dan saat awal mereka memasuki toko semerbak harum bunga menusuk indra penciuman.Meski tak lama, hanya beberapa saat tetap saja sudah ada kejanggalan yang dirasa. Rengganis juga sempat bertanya pada karyawannya, tetapi menurut karyawan Rengganis semuanya normal-normal saja.Hanya saja tidak ada orang yang melihat ke arah toko roti Rengganis. Ada beberapa langganan yang hanya melihat dari kejauhan dan setelahnya berbalik arah menuju toko roti saingan Rengganis.Taksa kembali, setiap gerakannya tertangkap mata Rengganis."Bicarain di rumah aja. Enggak enak kalau di sini. Daripada rugi lebih banyak, mending sementara waktu tokonya tutup dulu. Soal roti, men
"Jadi gini, Rengganis punya toko roti. Udah turun temurun, tapi belakangan sepi. Oke kalau orang jualan pasti ada sepinya. Tapi ini aneh, karena toko rotinya udah lama, dan pelanggannya udah tetap gitu. Jadi, ya, gue berpikir negatif, dong," papar Mayang tentang kecurigaannya. Meski sedang tak sehat mulut Mayang tetap berfungsi dengan baik. Buktinya bisa berbicara panjang lebar dengan baik. Hal itu membuat Rengganis sedikit tersenyum kecil. "Lo ada curiga sama seseorang, Nis?" tanya Asep membuat Rengganis menoleh ke arahnya masih dengan senyum kecil. "Eh, enggak. Aku enggak curiga. Itu pemikiran negatif Mayang aja. Udah jangan didengerin," pinta Rengganis. Karena menurutnya tak ada hal-hal seperti itu. Mungkin memang roti di toko baru yang tak jauh darinya lebih enak dan lebih murah. Jadi pelanggan berpindah tempat. "Udah berapa lama sepi?" tanya Taksa yang sedari tadi diam. Rengganis menoleh dan ber
"Anak buahku menemukan salah satu dari mereka, Mo."Pria dengan ikat kepala hitam dan rambut yang mulai memutih mengatakan kepada lawan bicaranya dengan raut wajah datar.Begitupun dengan sang lawan bicara. Raut tak suka jelas tergambar pada wajah yang mulai menua itu."Kalau anak itu bisa menghalau santet yang kau kirimkan. Artinya dia bukan anak sembarangan. Kita harus bertindak, To."Mereka adalah Angkoro Darso dan Ki Broto. Keduanya bersekutu untuk kepentingan masing-masing. Tujuan mereka sama, untuk menghabisi keturunan musuh mereka. Yang tak lain Taksa dan kawan-kawannya."Apakah kamu sudah bisa melacak tempat mereka?" tanya Angkoro Darso dan mengepulkan asap dari rokok yang sedang ia hisap.Ki Broto menyeruput kopi dan menaruhnya. "Belum pasti. Tapi tak jauh dari tempatmu bertemu salah satu dari mereka dulu. Mereka membuka toko pakaian," jelas Ki Broto yang mendapat informasi itu dari anak buahnya. Yang tak lain adal
Matahari baru saja keluar dari tempat persembunyian. Rambutnya yang dikuncir ala kadarnya membuat aura cantiknya keluar. Ditambah kemeja yang kebesaran dan bawahan hot pans adalah perpaduan bagus dan berhasil membuat mata Taksa tak berkedip. Pagi ini Asep dan Taksa pergi ke rumah Rengganis. Mereka mengambil keputusan ini setelah berpikir beberapa hari setelah Asep pergi ke rumah Rengganis. Bagas dan Mahes tak bisa ikut karena ada urusan. Bagas dengan kuliahnya dan Mahes dengan bisnisnya. Rengganis membulatkan mata saat melihat siapa yang datang. Ia segera menutup pintu rumah dengan kasar sampai menimbulkan bunyi keras. "Sebentar, tunggu di luar dulu!" teriaknya saat berlari menuju kamar. Suara debaman pintu yang keras mengembalikan kesadaran Taksa setelah menikmati pemandangan yang menakjubkan. Asep terkekeh kecil melihat sikap Rengganis yang begitu menggemaskan. Ia menyerngitkan dahi
Asep pulang dari rumah Rengganis setelah mengatakan akan membantu mencari orang yang bisa menyembuhkan Mayang. "Sa, lo kenal Ki Broto?" tanya Asep saat baru memasuki distro. Pertanyaan Asep membuat dahi Taksa berkerut. Ia seperti pernah mendengar nama itu. "Enggak asing. Tapi gue lupa," jawab Taksa tetap melanjutkan pekerjaannya yang sedang memeriksa catatan barang masuk. Suasana distro sepi. Karena karyawan sedang istirahat siang dan Bagas serta Mahes ada di rumah belakang. Tersisa Taksa dengan pembukuannya. "Sa, bukannya lo pernah bilang tentang dia?" Asep merasa Taksa pernah bercerita tentang Ki Broto. Cuma ia lupa kapan Taksa pernah bercerita. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Taksa. Ia juga mencoba mengingat-ingat. Kemudian mata Taksa membulat. Ia ingat nama itu. Nama yang tak sengaja ia dapat dari kemampuan prekognisionnya. "Lo
Rengganis kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia marah karena Taksa tak mau menolongnya. Namun, ia juga mengerti alasan Taksa tak mau. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang ada di lantai dua. Ia membuka pintu dan melihat Mayang tengah terlelap. Ada perasaan lega saat melihat Mayang masih baik-baik saja. Ia menutup pintu pelan dan turun. Rumah Rengganis terdiri dari dua lantai. Rumah minimalis bergaya modern itu terlihat luas karena hanya ada Rengganis yang menempati. Saat ada Mayang pun rumah itu masih terasa luas. Ada pembantu yang membantu Rengganis mengurus rumah, tetapi hanya datang saat pagi dan pulang saat sore hari. Rengganis juga sebenarnya tak terlalu membutuhkan pembantu. Namun, saat banyak pesanan ia kerepotan. Rengganis memiliki toko bunga di pusat kota dan membuka toko bunga baru tak jauh dari rumahnya sekarang. Berawal dari kesukaannya merangkai bunga, ia mencoba membuka toko bunga dan berjalan baik.&n
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments