Wulan terpaksa bertahan menjalani biduk rumah tangga bersama Wahyu. Semua ia lakukan agar Diana tak kehilangan sosok seorang ayah. Namun kesabaran Wulan sama sekali tak berarti. Wahyu semakin pelit dan kasar padanya. Akankah Wulan dapat lepas dari lelaki kasar dan perhitungan seperti Wahyu?
View MoreTerdengar suara motor berhenti di halaman rumah. Aku tahu betul itu suara motor milik suamiku, Mas Wahyu. Segera aku hentikan kegiatan jahit menjahitku.
Tak ada kata salam setiap kali lelaki yang menikahiku tujuh tahun yang lalu itu masuk ke dalam rumah. Dia pikir rumah ini lapangan bola hingga kata salam tak perlu diucapkan. "Waalaikumsalam...," ucapku menyindir Mas Wahyu. "Apa sih kamu Lan, suami pulang bukannya disambut justru di ceramahin. Aku ini capek kerja. Jangan lagi kau pancing amarahku!" sungutnya. Selalu saja berkata seperti itu tiap kali kusindir tak mengucapkan salam atau hal yang lain. Kalau sudah begini lebih baik diam, dari pada semakin membuat rumah ini terasa panas. Ya Allah, kapan suamiku bisa berubah?Menjadi suami yang mengajak dalam kebaikan bukan sebaliknya. "Kamu mau diam seperti patung di situ?" ketusnya. AstagfirullahAku sampai lupa mencium tangan Mas Wahyu.Bahkan untuk menyiapkan minum hanya karena masalah salam. Sebenarnya ini bukan masalah sepele, sebagai seorang suami harusnya Mas Wahyu dapat memberikan contoh yang baik untukku dan juga Diana. Salah satunya mengucapkan salam saat masuk ke dalam rumah. Bukan main nyelonong masuk rumah begitu saja. Dan ini terjadi setiap hari. "Wulan!" teriaknya saat diri ini tak kunjung melangkahkan kaki menuju dapur. "Iya, iya Mas..." Aku berjalan cepat menuju dapur. Segera memasukkan kopi dan gula ke dalam cangkir lalu menyeduhnya menggunakan air panas. Aku meletakkan secangkir kopi dan pisang goreng di atas meja. Dengan cepat Mas Wahyu menyeruput kopi yang masih panas. Dalam hitungan detik kopi itu kembali di semburkan Mas Wahyu. Sudah persis dukun dalam film saja. Hahaha ... aku tertawa dalam hati. "Kamu itu gimana sih Lan,buat kopi saja tidak becus!" teriak Mas Wahyu. Untung saja aku sudah kebal, kalau tidak mungkin langsung mati karena jantungan. Karena hampir setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu menyakitkan. Dan suamiku akan berlaku baik jika ada maunya. Aku sampai bingung, kenapa dulu aku bisa menikah dengan lelaki macam begini? Manis diawal pahit ujungnya. "Lha sudah tahu kopinya panas, main minum aja. Ya kepanasan,Mas!" jawabku tak mau kalah. "Susah ngomong sama kamu, ngelawan terus." Mas Wahyu berjalan menuju kamar. Meninggalkan secangkir kopi begitu saja. Sabar-sabar Wulan, ini ujian dalam pernikahan kamu. Kusemangati diriku sendiri. Ya Allah beri ekstra kesabaran menghadapi lelaki seperti Mas Wahyu. Andai bercerai tak dibenci Allah, mungkin sudah kulakukan dari dulu. Karena menunggu dia berubah seperti mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan.Bahasa kerennya halu alias halusinasi. Berjalan ke mesin jahit,melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda. Karena baju seragam ini harus jadi besok. Aku tak mau mengecewakan pelanggan,takut mereka lari ke tempat jahitan lain. Karena hasil menjahit sangat menunjang kehidupan keluarga kami. Ada yang pernah bertanya apakah gaji suamiku tak cukup menghidupi kami hingga aku harus menjahit seperti ini. Kalau saja gaji suamiku di berikan seluruhnya padaku mungkin akan cukup bila aku yang mengelolanya.Hampir lima juta gaji suamiku perbulannya.Namun sayang, aku hanya diberi dua ratus ribu untuk satu minggu dan itu sudah termasuk pajak listrik dan jajan Diana, putriku yang berumur lima tahun. Jadi mau tak mau aku harus bekerja untuk menutupi kebutuhan yang lain. Di tambah jika ada kebutuhan tak terduga. Mas Wahyu mana mau tahu. Yang dia mau tahu uang dua ratus ribu harus cukup untuk satu minggu. Jarum jam sudah menunjukkan angka lima. Segera kubereskan alat tempurku.Aku tak mau mendapat komplain dari Mas Wahyu karena rumah kami masih berantakan. Mengambil sapu, kubersihkan setiap sudut rumah yang berdebu. Tak lupa menyapu sisa-sisa kain yang berserakan di lantai. "Bu..." Diana berjalan ke arahku sesekali mengucek mata yang masih lengket. "Putri ibu sudah bangun,ya?" Aku jongkok agar menyamakan tunggi putriku. Diana, mengangguk, memeluk tubuhku dengan erat. Seperti itulah kebiasaan putri kecilku selalu memeluk tubuhku setelah membuka mata. "Mandi yuk dek." Kugenggam tangannya lalu berjalan menuju kamar mandi. *****Kusiapkan makan malam di atas meja. Oseng buncis dan tempe goreng menu makanan malam ini. Bagiku itu lebih dari cukup, Diana sendiri sangat suka tempe goreng, anakku memang selalu makan apa yang tersaji di meja makan asalkan itu tidak pedas. "Makan dulu Mas!" kupanggil Mas Wahyu yang asyik menonton pertandingan bola di salah satu stasiun televisi. Tak ada jawaban, hanya suara teriakan layaknya komentator pertandingan bola. "Adek makan dulu ya, ibu mau panggil ayah dulu." ku letakkan piring plastik di atas meja dengan lauk tempe goreng. Kami memang sudah terbiasa makan di meja makan. Untuk Diana kursi model anak-anak dengan kaki kursi yang lebih panjang dibanding punya orang dewasa. "Mas, makan dulu yuk! Sudah ditunggu Diana di meja makan." ku sentuh pundaknya perlahan tapi segera ditepis Mas Wahyu. Ya Allah segitunya memperlakukan aku Mas. Aku ini istri kamu, bukan lalat yang kamu tepis saat mengenai kulit kamu! "Kalian makan sendiri saja, aku belum lapar."ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Putar badan, segera kembali ke meja makan. Kasihan Diana makan sendirian. Bodo amat dengan Mas Wahyu. Biar saja dia kelaparan!Jarum jam sudah menunjukkan angka delapan segera ku ajak Diana masuk ke dalam kamar. Membacakan dongeng putri salju kesukaannya. Tak lama putri kecilku sudah terlelap dalam mimpi indah. "Wulan!" teriakkan Mas Wahyu mengganggu diriku yang baru terlelap. Apa sih maunya suamiku itu! Tidak lihat aku capek, ingin segera istirahat susahnya minta ampun. Segera beranjak dari kasur, karena aku tak ingin teriakan Mas Wahyu kembali terdengar. Kasihan Diana jika tidurnya terganggu. "Apa sih Mas?" ucapku sambil berjalan menuju dapur, dimana teriakan Mas Wahyu berasal. "Kamu menyuruh aku makan, makanan ayam seperti ini!" ucapnya sambil menunjuk oseng buncis di atas meja. "Ya Allah Mas, jangan pernah menghina makanan. Harusnya kamu bersyukur masih bisa makan. Di tempat lain masih banyak orang kelaparan karena tak bisa makan."ucapku di dalam hati. "Kenapa diam saja kamu!"teriaknya lagi. "Makan yang ada saja Mas. Uangnya tidak cukup untuk membeli ayam.""Ya pakai uang kamulah, masak harus aku jelaskan!""Jahitan baru sepi Mas, maklum PPKM. Udah makan ini dulu Mas." ucapku pelan. Bukan aku tak ingin melawan hanya tak ingin menimbulkan pertengkaran. Kasihan Diana jika terus mendengar kedua orang tuanya bertengkar. BRAAKSuara meja beradu dengan tangan. Mas Wahyu pergi begitu saja. Meninggalkan rumah sambil membanting pintu depan. Tak berapa lama suara motor menjauh dari halaman rumahku. Aku duduk terpaku di ruang makan. Bulir bening mengalir tanpa bisa kubendung. Rasa sesak terasa di dada setiap kali mengingat perlakuan Mas Wahyu terhadapku. Jangan lupa subscribe, like dan komen 💕Wulan membuka koper untuk mengambil pakaian ganti. Rasa lengket di tubuh membuatnya ingin segera mandi. Namun langkahnya terhenti saat Bagus masuk ke dalam kamar. Lelaki itu berjalan mendekat sambil menatap Wulan tak berkedip. Tatapan itu yang membuat jantung Wulan seketika berdetak dengan kencang. Tubuhnya terasa panas bagai tersengat aliran listrik. "Mas mau aku siapin pakaian ganti?" tanya Wulan sambil mengatur detak jantung yang kian kencang. Rasanya hampir terlepas dari singgasananya. Bagus hanya tersenyum lalu mengambil pakaian yang sudah berada di tangan Wulan. Baju itu diletakkan kembali di atas koper yang sudah dibuka. Mendadak rasa gugup singgah di hati Wulan. Ia tahu betul apa yang diinginkan suaminya. Bagus menuntut Wulan hingga berada di atas ranjang. Pandangan mereka mulai mengunci. Debaran hangat terasa di antara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka menikmati indahnya surga dunia. ***Wulan, Bagus dan Diana sudah berdiri di lobi rumah sakit. Sengaja mereka hanya da
"Kita mau ke mana, bu?" tanya Diana. "Kita ke rumah ayah. Ayah kangen sama kamu, sayang." "Gak mau! Aku gak mau ketemu ayah!" Diana berlari masuk ke dalam rumah. Wulan dan Bagus saling pandang. Lalu Wulan meletakkan tas di kursi depan. Mengatur nafas yang terasa sesak. Bayangan Diana dipukul kembali menari-nari dalam angan. Dia sadar betul rasa trauma masih bersarang di hati putrinya, meski perlahan terkikis oleh kasih sayang Bagus. "Buar aku saja. Kamu di sini!" Langkah kaki Wulan terhenti mendengar perkataan sang suami. Walau sedikit ragu tapi ia menurut saja. Bagus berjalan cepat menuju kamar Diana yang ada di lantai atas. Perlahan membuka pintu yang tertutup rapat. Gadis kecil Wulan sedang menangis sesegukan di atas ranjang. Kejadian bersama Wahyu kembali berkeliaran di benaknya. Memori kelam yang berusaha ia lupakan. Meski tak bisa sama sekali untuk dihilangkan. Bagus segera duduk tepat di samping anak tirinya. Mengangkat kepala Diana lalu menghapus jejak air mata mengguna
Roda kehidupan memang tidak bisa diprediksi. Kemarin sedih sekarang bahagia atau justru sebaliknya. Seperti yang di rasakan Wulan. Penderitaan saat bersama Wahyu kini terganti dengan senyum bahagia. Bagus mampu menjadi suami serta ayah yang baik untuk Wulan dan anak-anaknya. Kini mereka hidup bahagia. Tak pernah ada pertengkaran di rumah tangga mereka. Sedikit cekcok karena perbedaan prinsip adalah hal biasa. "Mau ke mana, sayang?" tanya Bagus saat melihat Wulan sudah duduk di depan meja rias. Gamis soft pink dengan hijab berwarna senada kian menambah aura kecantikannya. Ya, walau tanpa riasan tebal di wajahnya. Wulan menghentikan gerakan tangan lalu menatap Bagus dari pantulan cermin di hadapannya. "Mau ke rumah Mas, pengen lihat laporan minggu ini. Mas mau ikut?""Boleh, tapi jangan ajak anak-anak ya! Sekali-kali jalan berdua," ucap Bagus seraya mengedipkan matanya. Wulan dan Bagus memang tak memiliki waktu banyak untuk berdua. Memiliki tiga anak membuat pasangan suami istri i
"Apa ada yang bernama Wulan dan Diana?" Langkah Rudi terhenti mendengar pertanyaan sang dokter.Sri dan Rika pun saling pandang. Mereka sangat terkejut dengan perkataan dokter itu.Dari mana dokter tahu Wulan dan Diana?Pertanyaan yang sama muncul di pikiran keluarga Wahyu. Dari awal mereka menginjakkan kaki di rumah sakit, tak sekalipun menyebut nama mantan istri dan anak Wahyu."Pasien mengigau dan memanggil nama Wulan dan Diana. Apa mereka keluarga pasien?" jawab dokter seperti dapat membaca pikiran mereka.Semua terdiam, bingung harus menjawab apa? Ingin mengatakan iya tapi takut sang dokter bertanya lebih jauh lagi. Di mana istrinya mungkin? Dan itu akan membuka aib Wahyu."Mereka anak dan mantan istrinya, dok," jawab Sri pelan."Kalau bisa mereka diminta ke mari. Siapa tahu pasien akan cepat sembuh saat mereka datang."Sri hanya mengangguk hingga dokter itu kembali masuk ke ruang IGD.Semua terdiam, Rudi yang hendak mengurus administrasi justru diam di tempat. Seakan ada magne
Pov Author"Rika!Rika!" Teriak Sri mengejutkan sangat putri. Dengan berlari Rika menuju sumber suara.Rika kebingungan melihat Sri menangis tersedu di samping Wahyu. Apa Wahyu telah meninggal? Pertanyaan itu yang sempat hadir di benar gadis berambut sepunggung itu."Mas Wahyu kenapa, Bu?" tanya Wulan seraya menyentuh pergelangan tangan sang kakak. Dia memastikan apakah Wahyu masih hidup atau sudah meninggal. Masih terasa denyut nadi. Itu tandanya Wahyu belum dipanggil sang Maha Kuasa."Wahyu tidak bangun-bangun Rik. Ibu takut terjadi apa-apa dengannya. Tolong kamu panggilkan Masmu. Minta dia antarkan Wahyu ke rumah sakit." Rika mengangguk lalu segera menuju kamar untuk menelepon Rudi.Sri menangis melihat tubuh Wahyu yang kian kurus. Setelah menelepon Wulan beberapa minggu yang lalu, Wahyu semakin terpuruk. Rasa menyesal tertancap dalam di sanubari lelaki itu. Tak ada lagi semangat untuk sembuh. Dia terpukul mengetahui wanita yang ia cintai sudah memiliki tambatan hati lain."Semanga
Pov Wahyu"Ibu! Ibu!" Suara Mbak Yuli terdengar nyaring hingga menghancurkan gendang telinga. "Ibu!" Teriaknya lagi saat ibu tak kunjung menyahut. Kakak iparku itu memang tak memiliki sopan santun. Berteriak di rumah orang pagi-pagi begini. Kalau aku bisa jalan sudah ku tampar dia. Sayang, aku masih mengandalkan uang Mas Rudy untuk biaya berobat. Kalau aku sudah sembuh dia pasti tidak semena-mena kepada kami. Aku memilih diam dan pura-pura tidur saat mendengar teriakan Mbak Yuli. Melawan Mbak Yuli tak akan pernah ada habisnya. Dia selalu bersikap seolah-olah dia paling benar. Sungguh menyebalkan! BRAAKPintu kamar dibuka kasar dari luar. Mbak Yuli menatap nyalang seraya berkacak pinggang di depan pintu. Niat hati pura-pura tidur gagal karena Mbak Yuli lebih dahulu masuk ke kamar. "Ibu tidak ada, mbak. Mungkin sedang ke warung," jawabku asal karena aku tidak tahu ibu ke mana. Dari bangun tidur aku belum keluar kamar. Jangankan untuk keluar, tubuhku saja sudah tak ada tenaganya, l
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments