Penghinaan Dewi pada saat Reuni terhadap Ayunda Maulida, berujung dengan insiden memalukan. Dewi yang notabene seorang aktris yang baru muncul di dunia entertain, terus menerus membanggakan diri di hadapan semua guru dan teman-temannya. Dia begitu bangga karena sudah membintangi beberapa iklan dan juga bermain dalam sebuah layar lebar yang diangkat dari novel Peri Aksara yang fenomenal. Dewi yang membenci Ayu sejak SMA karena seorang Lingga Bardion---cowok populer di SMA yang lebih memilih Ayu dari pada dia, pada akhirnya menuai malu. Ayu yang selalu dia cibir dan rendahkan hanya karena merupakan siswa miskin dan ibunya hanya penjual nasi uduk, ternyata pemilik novel yang berlindung di balik nama pena Peri Aksara. Sementara itu, dia hanya pemeran figuran dalam film tersebut. Pada akhirnya, Dewi membanting stir, mencari muka di depan Ayu agar bisa bermain pada film berikutnya. Dia pun terus menerus mendekati Lani---Ibunda Lingga Bardion agar segera dijodohkan dengan lelaki yang dicintainya itu. Dion baru saja lulus S2 pada waktu itu. Hanya saja, ternyata benih-benih cinta yang tersemai antara Ayu dan Dion kembali bersemi, setelah terhalang jarak sekian tahun lamanya dan keduanya bertahan dalam kesendirian. Mampukah hubungan itu pada akhirnya berlabuh dan bagaimana cara Ayu menyikapi sikap Dewi? Mampukah dia terlepas dari acting Dewi yang pura-pura baik di depannya?
View More“Ya ampuun, Ayu … tujuh tahun berlalu, penampilan kamu masih kayak gini saja! Masih saja norak tahu gak sih?” pekik seseorang ketika aku baru saja duduk di meja yang sedikit ujung. Dia memindai penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mendadak perasaanku menjadi tak nyaman. Aku sadar, penampilanku memang tak semewah mereka. Hanya mengenakan kerudung segi empat warna krem yang dipadu padankan dengan tunik bermotif kotak dan celana pensil warna hitam. Alas kakiku hanya menggunakan sandal seharga enam puluh ribuan.
“Hush, Dew! Kamu kayak yang gak inget saja siapa, Ayu! Sudah, ih! Kasihan dia!” Mirna---ceesnya Dewi kudengar menimpali. Mirna baru saja menghampiri Dewi bareng Salsa.
“Ah iya, lupa. Cuma anak tukang nasi uduk saja belagu! Cuma males saja kalau inget dia yang sok kecakepan kayak dulu! Harusnya sadar diri! Kalau emang beda level, jangan sok kecentilan! Aku ini aktris menuju papan atas, bahkan sudah dapatkan peran juga dalam novel terbaru karya Peri Aksara yang sedang booming sekarang! Ya, walaupun masih peran figuran! Namun ini kan sudah termasuk pencapaian yang luar biasa, iya gak, sih?”Dewi terdengar terus-terusan membanggakan diri.
Aku memilih bangkit dan menjauh. Ini yang paling aku khawatirkan ketika reuni. Dewi dan teman-temannya masih mempermasalahkan kejadian tujuh tahun silam. Kejadian di mana Dewi harus patah hati karena Lingga Bardion alias Dion menolaknya dan menjadikan aku sebagai alasan.
Ah, benci sekali jika ingat hal itu. Karena itu juga, Dion dipaksa orang tuanya untuk kuliah ke luar kota agar tak bertemu denganku. Aku dan Dion itu beda kasta. Orang tuanya berada, sedangkan aku, bisa selesai sekolah SMA-pun hanya mengandalkan beasiswa.
Awalnya aku pun enggan datang ke acara reuni ini, setelah dua kali absent, aku merasa tak enak juga ketika harus menolak undangan Pa Faqih untuk ke sekian kalinya. Aku datang ke sini hanya karena gak enak dengan undangan Pak Faqih---mantan wali kelasku yang bahkan datang sendiri ke rumah mengantarkan undangan reuni kali ini dan ada penghargaan yang akan diserahkan oleh pihak sekolah karena novelku yang bertema inspirasi pada akhirnya mampu menembus dapur film. Belum ada yang tahu jika nama yang mulai melejit dan berlindung dibalik nama Pena Peri Aksara itu adalah aku.
Akhirnya aku hanya memasang wajah datar dan mengangguk pada Dewi dan teman-temannya. Dulunya dia adalah siswi yang paling populer di angkatan kami. Kini karirnya tengah melejit, katanya. Nasib baik berpihak karena kenalan Om nya yang berasal dari dunia entertainment. Dewi, kini menjadi seorang model dan bintang iklan. Menjadi kebanggaan para teman-teman gengnya dan pastinya dipuji oleh semua orang yang datang.
"Permisi!” tukasku seraya beranjak. Aku hanya tengah menunggu Harum---orang satu-satunya yang sejak dulu sampai sekarang menganggapku manusia.
“Eh mau ke mana, Yu?” Kudengar Salsa berbasa-basi. Sementara itu, kulihat Dewi mencebik dan memutar bola matanya ke atas dengan malas.
“Ke toilet!” jawabku berbohong.
Gegas aku meninggalkan Dewi dan dua temannya. Meskipun aku tak akrab dengan teman SMA-ku yang lain. Namun setidaknya aku tak berada satu meja dengan orang yang membenciku.
Berjalan menuju ke arah toilet, lalu berhenti dilorong sejenak sambil menunggu waktu. Jam tangan baru saja menunjukkan pukul sembilan. Beginilah aku yang selalu datang awal. Acara baru akan dimulai pukul sepuluh pagi, tapi pukul sembilan aku malah sudah datang.
Gegas aku mengeluarkan gawaiku. Ponsel jadul yang harganya ramah di kantong. Segera aku hubungi Harum. Duh, berasa lama banget berada dalam suasana asing ini sendirian. Salah sendiri, aku dulunya hanya seorang introvert yang tak punya banyak teman. Hanya Harum yang akrab denganku dan beberapa orang staff TU dan para guru.
Harum mengatakan jika dia masih di jalan. Dia sudah menikah dan sedikit repot dengan anaknya yang dia bawa.
Karena terlalu lama berada di lorong dan merasa tak enak juga, akhirnya aku kembali ke aula dan memilih duduk di meja panitia. Aku kenal dia, meski tak akrab.
“Hey, Yu! Sudah isi data belum?” Marwah menatapku ketika aku permisi ikut duduk.
“Sudah, tadi aku kepagian datangnya, Mar!” jawabku sambil tersenyum.
“Eh iya, udah! Box kuenya udah ambil belum?” tanyanya ramah.
“Ahm, nanti saja. Nunggu Harum!” jawabku lagi.
“Ah dari dulu ceesannya sama Harum mulu!” timpal Selvi yang duduk berjejer di kursi panitia bareng Marwah.
“Ya, cuma dia yang mau temenan sama orang aneh kayak aku, Vi!” tukasku seraya mengulas senyum.
“Dih, kamu mah suka gitu! Kita juga sebenernya bukan gak pengen akrab sama kamu, tapi kami itu minder, Yu! Secara peringkat kamu gak pernah geser dari tiga besar! Lah kita mah tiga besar dari ujung ya, Mar!” Selvi terkekeh.
“Mana ada, Vi! Aku yang minder. Kalian itu selalu kekinian. Aku selalu ketinggalan zaman.” Aku membantah.
“Iya, kita emang bedanya di sana … kamu fokus sama otak, kami sama style. Tapi aku beneran kagum sama kamu loh, Yu! Apalagi kamu berani banget buat muka Dewi dulu yang selalu merasa paling populer itu tergadai!” kekeh Marwah.
Aku menggeleng sambil ikut tersenyum. Entah benar atau tidak alasannya, tetapi memang yang dia ucapkan adalah fakta. Aku memang mati-matian bertahan di tiga besar. Sebetulnya bukan karena gengsi atau mengharapkan popularitas, tapi aku hanya mengharapkan nilai tinggi itu agar dapat beasiswa. Secara aku sekolah hanya modal niat dan nekat. Biaya kadang ngutang, sebagiannya ketutup dari nilai. Meskipun sebagian biaya dibayari oleh kepala sekolah karena ayahku seorang penjaga sekolah di sana, tetap saja banyakan kurangnya.
“Ehmmm! Kalian betah banget duduk bareng orang udik, sih? Apa gak pengen minta foto sama tanda tangan aku?”
Ah suara itu. Aku, Marwah dan Selvi menoleh ke arah suara. Dewi sedang berdiri di dekat stand box kue dan mengambil jatah.
“Ah iya, Dew! Boleh, deh! Mumpung belum ramai!” Marwah dan Selvi tampak saling tukar pandang. Lalu keduanya mengangguk dan menghampiri Dewi yang tengah mengambil box kue.
“Ahm, bisa fotoin!” Sialnya. Lagi-lagi aku harus terlibat dengan Dewi. Namun, tak elok jika aku harus menolak.
Aku bangkit dan menoleh pada Selvi lalu meminta ponselnya.
“Pakai punya kamu saja dulu!” tukas Selvi.
“HP-ku kameranya gak bisa dipakai, Vi! Maklum HP model lama dan sudah agak rusak!” jelasku.
“Pakai punyaku saja, Vi! Tangkapan kameranya pasti bening dan kinclong! Jadi muka kalian nanti kelihatan lima hari lebih muda!” kekeh Dewi seraya mengangsurkan ponsel mahalnya ke arahku.
Aku pun menerimanya dengan hati-hati. Aku tahu harga ponsel ini berapa. Karena itu dengan hati-hati, aku mengarahkan kamera itu pada mereka bertiga.
“Hati-hati jangan sampai jatuh! Tar bisa-bisa kamu harus jual diri buat gantiin kalau rusak!” tukas Dewi dengan gaya jumawanya.
Aku hanya tersenyum miris. Memang benar aku tak punya. Pekerjaan sekarang pun hanya seorang guru TK. Namun, andai saja Dewi tahu salah satu alasan kenapa aku diwajibkan datang oleh Pak Faqih. Ada hal yang pastinya nanti akan membuat mereka tercengang dan menyesal sudah begitu mencibir dan merendahkanku.
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments