Cinta yang Mengalir Pergi
Suamiku, sang CEO, selalu mengira aku ini perempuan matre.
Setiap kali pergi menemani cinta pertama yang depresinya kambuh, dia akan membelikanku satu tas Hermes edisi terbatas.
Setengah tahun kami menikah, ruang wardrobe penuh sesak dengan tas-tas mahal.
Sampai ketika tas yang ke-sembilan puluh sembilan kuterima, dia menyadari perubahan sikapku yang tiba-tiba.
Aku tak lagi menangis histeris setiap kali dia pergi menemani wanita itu.
Aku tak lagi menerjang hujan badai hanya karena satu kalimat, “Aku ingin bertemu denganmu.”
Yang kupinta darinya hanyalah sebuah jimat pelindung untuk anak kami yang belum lahir.
Saat kata “anak” terucap dari bibirku, tatapan Andika Kesuma sedikit melunak.
“Kalau kondisi Olivia sudah membaik, aku temani kamu periksa kehamilan ke rumah sakit.”
Aku hanya mengangguk dengan patuh.
Aku tak memberitahunya bahwa sepuluh hari lalu… aku sudah kehilangan anak itu. Ya, aku keguguran.
Antara aku dan dia kini… hanya tersisa selembar surat cerai yang menunggu untuk ditandatangani.