หน้าหลัก / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 33 – Yang Tak Pernah Aku Ceritakan

แชร์

Bab 33 – Yang Tak Pernah Aku Ceritakan

ผู้เขียน: Ayla
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-01 23:01:18

Hujan turun rintik saat mobil berhenti di depan bangunan sederhana di pinggiran kota. Rumah perawatan yang sudah lama menjadi rumah kedua ibunya. Tidak megah, tidak berkilau, tapi tenang. Seperti perempuan yang tinggal di dalamnya.

Nara turun tanpa payung. Langkahnya pelan, membiarkan dingin hujan menempel di kulit.

Sudah hampir dua bulan sejak terakhir ia datang. Bukan karena lupa. Tapi karena takut—takut melihat wajah yang terlalu mirip dengan hatinya sendiri.

Perawat menyambutnya di pintu. “Ibu Ayu sedang membaca di ruang belakang. Hari ini cukup cerah… sebelum hujan.”

Nara tersenyum kecil. “Seperti hidup, ya. Cerah sebelum hujan.”

Ruang itu sepi. Hanya suara radio kecil yang memutar lagu lama. Ibunya duduk di kursi rotan, mata menyapu halaman buku tipis yang warnanya sudah pudar.

“Ibu,” sapa Nara pelan.

Ibu Ayu menoleh. Matanya masih terang. Wajahnya tetap teduh, meski kulitnya sudah lebih kusut dari ingatan terakhir Nara.

“Kamu datang lagi,” katanya. Bukan dalam nada menyambut. T
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 128 – Di Persimpangan Ambisi dan Akar

    Undangan itu datang dalam map hitam mengilap. Nama pengirimnya cukup untuk membuat siapa pun terpaku: > PT GRAHA UTAMA PRIMA – Holding Nasional Properti & Investasi Isinya singkat dan tegas: Raydan Dirgantara diundang untuk menjabat sebagai Komisaris Utama, menggantikan salah satu tokoh senior yang pensiun dini. “Ini level nasional, Ray. Gedung-gedung yang kamu lewati di Jakarta… semua ada dalam portofolio mereka.” Begitu kata rekan bisnisnya saat mereka bertemu. Raydan tidak menjawab cepat. Ia menatap map itu lama. Terlalu lama, sampai bahkan kopi yang dibawakan Nara dingin tak tersentuh. --- Di rumah, saat malam menurun perlahan, Nara bertanya lembut: > “Kamu ingin terima?” Raydan mengangkat bahu. > “Dulu aku pikir iya. Tapi sekarang… aku nggak tahu. Rumah Pulang baru jalan satu kaki. Kalau aku terima, aku harus pindah ke pusat. Harus hidup dengan dunia yang aku tinggalkan lima tahun lalu.” Nara diam. Ia tahu tawaran ini bukan sekadar jabatan. Ini adalah pintu masa

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 127 – Panggung untuk Suara yang Pernah Gagal Tumbuh

    Nara menerima surat elektronik dengan header elegan dan logo resmi:Konferensi Nasional Perempuan dan Ruang Publik 2025.Isi surat itu singkat tapi menghentak:> “Dengan ini kami mengundang Ibu Nara Ayuningtyas sebagai keynote speaker utama,untuk menyampaikan pidato pembuka pada hari pertama konferensi.”Raydan membacanya bersamaan dengannya.Pria itu menatapnya dengan bangga, tapi Nara justru merasa… diam.Di benaknya muncul kembali satu peristiwa lama—tiga belas tahun lalu, saat ia masih mahasiswa, ketika pertama kali diminta berbicara di forum terbuka.Suara gemetar.Slide acak.Ruangan sepi.Seseorang tertawa kecil.Dan dosennya, sesudah acara, hanya berkata,> “Kamu harus tahu kapan diam itu lebih bijak.”Itu luka pertama yang membuat Nara membungkam banyak hal dalam hidupnya.Sejak hari itu, ia tak pernah lagi berdiri di depan panggung besar—hingga hari ini.---Seminggu menjelang konferensi, Nara duduk di beranda rumah.Laptop terbuka.Kopi tak tersentuh.Dan satu halaman kos

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 126 – Rumah yang Tidak Sekadar Tembok

    Pagi itu, Raydan mengajak Nara mengunjungi sebuah lahan kosong di pinggiran kota.Di tengah kesibukannya membangun kembali perusahaan warisan sang ayah,ia menemukan satu lokasi mangkrak:tanah seluas satu hektar yang dulu dirancang sebagai proyek perumahan sederhana—namun terhenti karena konflik kepemilikan dan kebangkrutan mitra lama.Kini tanah itu menjadi semak belukar,tapi bagi Raydan, itu ladang kemungkinan.“Ini proyek terakhir yang ayah rancang,” katanya pelan.“Dulu, konsepnya adalah rumah-rumah kecil untuk keluarga muda,tapi aku ingin menambahkan sesuatu…”Nara menatap tanah luas itu.Angin meniup rambutnya, dan langit tampak jernih—seolah ikut membuka percakapan mereka.“Apa yang kamu bayangkan, Dan?” tanyanya.Raydan menjawab dengan tenang:> “Bukan cuma rumah.Tapi tempat tinggal yang jadi ruang tumbuh.Aku ingin membangun rumah-rumah yang tidak hanya punya atap dan dinding,tapi juga punya ruang baca, taman bermain, dapur komunitas…dan satu ruang kecil yang bisa dipa

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 125 – Pilihan Antara Panggung dan Sunyi

    Sepulang dari Singapura, kehidupan terasa berputar lebih cepat dari biasanya.Email, telepon, undangan wawancara, ajakan kolaborasi…Seolah dunia mendadak ingin menyentuh semua sisi dari perempuan bernama Nara Ayuningtyas.Namun satu email mencuri perhatiannya lebih dari semua yang lain.> “Kepada Ibu Nara,Kami, redaksi utama Literasia.id, mengundang Anda untuk menjabat sebagai Editor Kepala.Kami percaya pengalaman dan pendekatan tulisan Anda akan membawa napas baru.Posisi ini menuntut keterlibatan penuh waktu dan tanggung jawab kepemimpinan tim penulis serta kurator konten nasional.”Nara membacanya berulang kali.Editor Kepala.Sebuah posisi yang dulu hanya bisa ia impikan dari balik layar laptop,sambil menyuapi Alana kecil dengan tangan kiri dan menulis dengan tangan kanan.Tapi kini, ketika pintu itu terbuka… justru ada rasa gentar yang menyelinap.---Raydan tahu sejak hari pertama email itu datang.Ia memperhatikan gelagat Nara yang lebih sering diam, lebih lama menatap lang

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 124 – Cermin dari Luka Lama yang Belum Sembuh

    Di pertemuan ketiga kelas “Menyusun Luka Menjadi Kalimat”, seorang mahasiswi baru masuk terlambat. Langkahnya pelan. Matanya tidak berani menatap langsung. Ia duduk di pojok kelas, paling belakang, seolah ingin tak terlihat. Namanya Nayla. Saat perkenalan, suaranya nyaris tak terdengar. > “Saya Nayla. Saya… pernah menulis. Tapi sudah berhenti lama.” Nara memperhatikannya lebih dalam— bukan sebagai pengajar, tapi sebagai perempuan yang merasa seperti melihat bayangannya sendiri sepuluh tahun lalu. --- Minggu-minggu berikutnya, Nayla semakin menarik perhatian Nara. Bukan karena aktif, tapi karena diamnya yang terasa nyaring. Tatapan kosong saat kelas berlangsung, senyum tipis saat teman-temannya tertawa. Dan suatu sore, Nayla mengirim email: > “Bu Nara, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Saya ingin menulis, tapi saya takut jika semua yang saya keluarkan hanya akan membuka luka yang belum kering.” Nara membaca kalimat itu dengan mata berkaca. Ia menutup laptop, du

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 123 – Dalam Satu Panggung

    Undangan itu datang dalam amplop putih sederhana,dikirim langsung ke rumah oleh panitia Festival Literasi Perempuan Nusantara.Nara membacanya sambil berdiri di beranda rumah, angin sore membelai pelan helaian rambutnya.> *“Kepada Ibu Nara Ayuningtyas,Kami mengundang Ibu sebagai pembicara utama dalam diskusi panel bertema:‘Perempuan, Suara, dan Ruang yang Diciptakan Sendiri.’”Awalnya, ia tersenyum.Akhirnya… karyanya mendapat ruang.Akhirnya… suaranya didengar bukan sebagai istri atau ibu, tapi sebagai dirinya sendiri.Namun, senyum itu perlahan meredup ketika matanya sampai pada daftar pembicara lain.> “Juga hadir sebagai pembicara:Tania Dwi Paramita – Psikolog & Aktivis Literasi Anak.”Tania.Nama itu kembali menamparnya seperti angin dingin di dada.Raydan pernah menyebutnya.Dan lebih dari itu—Tania adalah bagian dari luka yang dulu nyaris merobohkan kepercayaan mereka.Perempuan itu pernah hadir di masa retak.Pernah menjadi jeda yang hampir menghapus Nara dari hidup Rayda

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status