Hujan masih berjatuhan pelan ketika pagi menjelang. Cahaya matahari enggan menembus pekatnya awan, menyisakan warna abu-abu yang dingin menyelimuti kota. Raina berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri dengan rasa tidak percaya. Gadis yang menatapnya kini masih asing, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Namun di dalam dada, ada benih harapan yang tumbuh namun begitu samar, benih yang mulai tumbuh sejak malam tadi. ketika Elvano, pria dingin itu, memberinya pilihan. Di pagi hari setelah sarapan yang begitu hening dan canggung, Raina mulai bersiap untuk pergi ke kantor Elvano. Ia mengenakan pakaian sederhana yang disediakan mbok Ira, pakaian yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus dan lelah. Dengan langkah ragu, ia meninggalkan kamarnya lalu menuruni tangga menuju ruang utama rumah megah itu. Sementara Elvano sudah menunggu di pintu masuk, berdiri tegap dengan tangan disilangkan di depan dada. Saat Raina berjalan semakin mendekat, Tatapannya menyapu dari ujung rambut hingga ujung kaki Raina. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang sulit diartikan, antara penghakiman dan rasa ingin tahu. “Kau siap?” tanya Elvano dengan suara rendah. Raina mengangguk pelan. “Aku akan mencoba.” jawabnya lirih. Kemudian Mereka keluar dan menuju mobil hitam yang terparkir di halaman. Perjalananpun terasa singkat,, mobil melaju dengan cepat menuju gedung perkantoran Elvano di pusat kota. Gedung itu tinggi menjulang, kaca-kaca besar memantulkan pemandangan kota yang basah oleh hujan. Sesampainya di kantor. Dengan cepat Raina berlari mengikuti Elvaro menuju pintu masuk perusahaan Elvaro. Di dalam kantor, suasana jauh berbeda dengan rumah besar itu. Suara dering telepon, ketukan keyboard, dan bisik-bisik percakapan menjadi musik latar yang asing bagi Raina. Ia dibawa ke ruang kecil yang sudah dipersiapkan sebagai kantornya—sebuah meja sederhana dengan mesin kopi terlihat jelas di sudut kanan. Elvano berdiri di ambang pintu. “Tugasmu mudah. Buat kopi, dan jangan banyak bicara. Aku akan memberitahumu jika ada yang perlu kau lakukan.” Raina mengangguk patuh. Maaf tapi..... "Aku tidak pernah membuat kopi sebelumnya.” jawab Raina polos. Elvano mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata dengan nada dingin, “Pelajari. Itu bagian dari ujian.” perintah Elvano tegas. Raina hanya mengangguk patuh. Hari pertama berlalu dengan penuh ketegangan. Raina belajar menggunakan mesin kopi, menghafal menu minuman, dan berusaha memahami perintah-perintah sederhana dari staf kantor. Ia menyadari betapa kecilnya dirinya di antara para pekerja yang berjalan cepat dan sibuk dengan tugasnya masing-masing. Namun setiap kali ia menatap wajah Elvano dari kejauhan, hatinya berdebar. Ada rahasia yang tersembunyi di balik sikap dingin pria itu. Rahasia yang seolah mengikat mereka berdua dalam tali yang tak terlihat. Haripun berhalan dengan cepat. Di siang ini, saat waktunya makan, Raina duduk sendiri di sudut ruang pantry. Tangan gemetar saat ia memegang cangkir kopi pertamanya yang berhasil dibuat sendiri. Rasanya pahit, tapi baginya itu adalah kemenangan kecil. Permisi... suara seseorang memecah keheningan. Lalu lanjut berkata. “Tuan Elvano akan memeriksa laporan keuangan sore ini,” kata suara lembut di belakangnya. Raina menoleh dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam. Perkenalkan “Aku Nadia, sekretaris pribadinya tuan Elvano. Kalau kau butuh apa-apa, jangan ragu untuk bertanya, ya.” ucap Dania tersenyum ramah. Raina tersenyum tipis. Dan berkata, “Terima kasih, mbak Nadia. Aku... masih harus banyak belajar.” Nadia tersenyum hangat. “Semua orang memulai dari nol. Termasuk Tuan Elvano.” Kalimat itu membuat Raina semakin penasaran. Apa sebenarnya yang membuat pria itu begitu tertutup dan dingin? Satu hari sudah Raina habiskan waktunya di kantor. Ia pergunakan untuk belajar dan belajar. Hari demi hari terus berjalan. Dania selalu bekerja denga giat,, Di Hari-hari berikutnya. Hidupnya membawa lebih banyak tantangan. Raina mulai menemukan celah dalam kesunyian Elvano. Kadang, saat ia membersihkan ruang kerjanya, ia menemukan catatan-catatan kecil berisi angka dan simbol aneh yang tampak seperti kode rahasia. Ada juga foto-foto lama yang tersembunyi di laci meja, menampilkan sosok wanita muda dengan wajah mirip Raina, tapi dengan mata yang lebih tajam dan penuh tekad. Semakin dalam Raina menyelidiki, semakin banyak pertanyaan yang menghantuinya. Suatu malam, ketika hujan kembali mengguyur kota dengan deras, Raina memutuskan untuk mengunjungi ruang kerja Elvano saat kantor sudah sepi. Dengan hati-hati, ia membuka laci meja yang tak terkunci dan melihat sekilas foto-foto itu. Namun Tiba-tiba langkah berat terdengar dari belakangnya. Ia pun menoleh cepat, “Elvano…” Raina terkaget melihat sosok Pria tampan berdiri di ambang pintu, menatapnya dingin. wajahnya tampak serius namun juga tidak marah. Pria dingin itu mendekat dan berkata. “Kau tidak seharusnya berada di sini,” katanya pelan. Raina menunduk, jantungnya berdebar lebih kencang. Ma-maaf. “Aku... aku hanya ingin tahu siapa aku. Kenapa aku ada di sini.” Elvano menutup pintu dengan hati hati. dan melangkah semakin dekat. “Ada banyak hal yang belum kau ketahui tentang dirimu, Raina.” “Apa maksudmu?” tanya Raina dengan suara hampir berbisik. Elvano duduk dan menghela napas panjang. “Kau datang ke hidupku dalam keadaan hancur. Aku tidak tahu siapa yang menyakitimu, tapi aku tahu sesuatu yang penting, kamu bukan gadis biasa. Ada sesuatu dalam dirimu yang harus dilindungi.” Raina menatapnya penuh harap. “Aku ingin tahu... aku ingin mengingat.” “Memori itu... kadang terbungkus oleh rasa sakit dan takut. Tapi aku akan membantumu, selama kau mau percaya padaku,” jawab Elvano. Malam itu menjadi titik balik bagi Raina. Bukan hanya sebagai gadis yang kehilangan masa lalu, tapi juga sebagai seseorang yang mulai membuka diri pada kemungkinan masa depan. Bersama Elvano, meski jalan yang harus ditempuh masih penuh misteri dan bahaya. Di balik hujan dan dingin yang menggigilkan kota, sebuah cerita baru mulai terjalin,, kisah dua jiwa yang rapuh namun kuat, saling mencari arti di antara bayang-bayang masa lalu yang kelam.Langkah Raina terhenti. Dadanya berdegup keras, bukan hanya karena kata-kata yang baru saja terucap, melainkan karena suara itu… suaranya sendiri. Namun sedikit lebih berat, lebih getir, seperti suara yang telah terbiasa menyimpan luka.Ia mundur satu langkah dari cermin, berharap pantulan di depannya mengikuti. Tapi tidak.Bayangan itu… tersenyum. Sebuah senyum kecil yang anehnya tidak menyapa, tapi justru menyindir.“Siapa kamu…” bisik Raina, nyaris tak terdengar.Seketika pintu kamar terbuka. Elvano berdiri di ambang pintu dengan ekspresi dingin khasnya, tatapan tajamnya menyapu ruangan.“Ada apa?” tanyanya singkat.Raina menoleh, dan begitu ia kembali memandang cermin, bayangan tadi sudah menghilang. Hanya dirinya yang tercermin, wajah pucat dan mata membulat penuh kebingungan.“Tidak… tidak ada. Mungkin aku hanya lelah,” katanya, mencoba tersenyum. Namun sudut bibirnya hanya bergerak tipis, tidak meyakinkan.Elvano menatapnya dalam, lama sekali, sebelum akhirnya melangkah masuk.
Raina masih mematung di depan cermin tua itu. Matanya tak berkedip, menatap bayangan yang tampak tak biasa. Cermin itu seperti menampung lebih dari sekadar pantulan; ada sesuatu yang hidup di dalamnya, sesuatu yang mengintip balik ke arahnya. Rambut di tengkuknya berdiri, dan meski Elvano ada di dekatnya, rasa dingin yang menyelusup ke tulang membuatnya merasa benar-benar sendiri.“Elvano…” bisiknya, lirih. “Apa kau lihat itu juga?”Elvano menyipitkan mata, menatap cermin di sudut kamar yang kini tampak lebih gelap daripada bagian lain ruangan.“Lihat apa?” tanyanya, mendekat ke sisi Raina.Bayangan itu lenyap secepat ia muncul. Hanya pantulan Raina dan Elvano yang kini tersisa.“Barusan ada…” Raina menggelengkan kepala, mencoba menenangkan detak jantungnya. “Mungkin hanya pantulan cahaya. Atau... pikiranku sendiri.”Tapi ia tahu itu bukan sekadar halusinasi. Ada sesuatu yang berubah. Sesuatu dalam dirinya perlahan dibuka, seolah setiap rahasia yang terkunci selama ini mulai menyeruak
Siang itu, rumah Elvano kembali menjadi saksi bisu dari jejak masa lalu yang mulai terkuak. Di ruang tamu, Raina duduk bersama Elvano,Suster Amelda, dan seorang perwira polisi berpakaian sipil bernama Pak Yuda yang datang untuk memintai keterangan lanjutan.Sore harinya, Raina berdiri di halaman belakang rumah Elvano. Tempat yang dulu terasa asing dan membingungkan kini seperti membuka ruang baru dalam benaknya. Angin meniup lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan.Ia meraih liontin di lehernya, lalu membukanya. Di dalamnya, foto kecil yang mulai pudar: seorang wanita muda menggendong bayi, wajahnya samar namun tatapannya begitu penuh cinta.“Siapa kau sebenarnya?” bisik Raina, suaranya nyaris tak terdengar.Tiba tiba Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Memecah keheningan. Elvano. Dari mana saja kamu? Dari tadi aku baru melihat mu? Tanya Raina.“Aku habis mencari sesuatu di ruang bawah,” katanya perlahan. Sambil mendudukn bokongnya di kursih. “Dan... aku nemu ini.” Ia menyod
Dengan napas tercekat dan jantung berdebar tak karuan, Raina mundur beberapa langkah, menahan tubuhnya agar tidak goyah. Elvano langsung berdiri di depannya, tubuhnya tegap, seolah siap melindungi Raina dari dua sosok yang perlahan keluar dari balik kegelapan pepohonan.Rudy melangkah dengan pasti, namun aura yang menyelimutinya terasa asing. bukan pria tenang yang dulu membantu Raina menyusun potongan masa lalunya. Tatapannya kosong, matanya merah seperti tak mengenal tidur, dan tangannya menggenggam sesuatu: sebuah topeng kayu tua berukir lambang keluarga Gunawan, simbol kekuasaan yang telah menghancurkan banyak hidup, termasuk milik Raina.Di sebelahnya, Nadine berdiri tegak dalam balutan jaket hitam panjang. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi bukan senyum hangat—melainkan senyum yang menyimpan rencana dan luka. Ia tampak tenang, namun matanya menyala, seolah bisa meledak kapan saja.“Aku tidak akan ikut dengan kalian,” kata Raina pelan, namun nadanya tegas. “Aku bukan Amara. Da
Langkah kaki mereka memburu dalam gelap. Suara derak kayu tua dan desir angin yang merayap dari sela-sela lantai membuat segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Suster Amelda membuka pintu tua yang tersembunyi di balik lemari tua yang digeser paksa. Deritnya mengiris sunyi, seperti jerit seseorang yang terkunci terlalu lama.Tangga kayu curam menurun ke dalam perut bangunan. Bau apek dan debu berusia puluhan tahun menyerbu begitu pintu terbuka. Tapi mereka tak punya pilihan. Di atas, suara-suara itu semakin dekat—suara anak-anak... yang tak seharusnya tertawa di tengah malam, dan langkah berat yang entah milik siapa.Elvano menggenggam tangan Raina erat. “Turun. Sekarang.”Raina memandang sekilas ke lorong tempat Amara—atau bayangan yang menyerupainya—muncul. Tapi lorong itu kini kosong. Gelap. Tak terlihat siapa pun. Hanya rasa dingin menusuk dari ujung sana, seolah menatap mereka diam-diam.Dengan napas tercekat, mereka turun sat
Hening menyelimuti perjalanan mereka. Meski mesin mobil menderu pelan dan lampu jalan berkelap-kelip dalam kabut dini hari, tidak satu pun dari mereka bersuara. Raina menggenggam liontin itu erat, seolah berharap dari benda kecil itu akan muncul jawaban yang selama ini terkubur dalam bayang-bayang masa lalu.“Panti Asuhan Berkat Ibu,” gumam Elvano akhirnya, memecah keheningan. “Dulu tempat ini sempat ditutup karena ada kasus kehilangan anak, bukan?”Raina mengangguk tanpa menoleh. “Lalu dibuka lagi diam-diam beberapa tahun kemudian. Tapi tidak banyak anak yang ditampung. Hanya... kasus-kasus khusus, begitu katanya.”Mereka berbelok ke jalan sempit yang menurun, diapit oleh pepohonan besar yang akar-akarnya menjalar hingga ke jalan. Kabut makin tebal. Aroma tanah lembap dan dedaunan membusuk menyusup ke sela-sela kaca mobil yang sedikit terbuka.Panti itu muncul perlahan di balik rerimbunan: sebuah bangunan tua berwarna kelabu dengan salib besi ber