Ernita kehilangan bayinya yang meninggal saat lahir akibat penyumbatan placenta. Namun duka yang ia alami justru dianggap sebagai aib oleh keluarga suaminya, Gudel. Bukannya mendapat dukungan, Ernita malah menerima perlakuan buruk dari mertuanya yang kaya raya. Mereka menganggapnya sebagai pembawa sial dan menghasut Gudel untuk menceraikannya. Ernita diusir dari rumah tanpa ada tempat untuk berlindung. Saat berada di titik terendah, takdir membawanya bertemu dengan seseorang dari keluarga Taufik Wijaya, seorang Presdir sukses yang baru saja kehilangan istrinya akibat pendarahan pasca melahirkan. Bayi kembar Taufik membutuhkan ASI. Dan Ernita yang masih menghasilkan ASI meski bayinya telah tiada, menjadi harapan terakhir mereka. Ernita menerima tawaran sebagai ibu susu bagi bayi kembar tersebut dan mulai tinggal di rumah keluarga Wijaya. Perlahan ia menemukan ketenangan di antara dua bayi yang bergantung padanya. Akan tetapi kehidupannya di sana tidak mudah. Keluarga besar Taufik yang penuh ambisi, memandangnya sebelah mata dan menganggapnya tidak lebih dari seorang pengasuh. Di tengah tekanan dari keluarga Taufik dan luka masa lalu yang masih menganga, Sang Presdir yang awalnya dingin dan tertutup perlahan mulai melihat Ernita dari sudut pandang berbeda.
View MoreHujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang gelap. Petir menyambar-nyambar menerangi langit sesaat sebelum kegelapan kembali menguasai malam. Suara guntur bergemuruh, mengiringi tangisan seorang wanita yang baru saja mengalami kehilangan paling menyakitkan dalam hidupnya.
"Anakku! Anakku!" Ernita menjerit, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur atap rumah sakit. Tubuhnya masih lemah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Rasa sakit akibat melahirkan secara sungsang masih terasa di setiap jengkal tubuhnya. Namun semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan rasa hancur yang kini merobek hatinya. Di depannya, bayi mungil yang baru saja ia lahirkan terbujur kaku. Bibirnya membiru, matanya tertutup rapat. Tak ada tangisan, tak ada gerakan. Hanya keheningan yang menyesakkan. "Bu, tenang dulu. Kami sudah berusaha sebisa mungkin," ucap dokter dengan suara penuh simpati. "Tidak! Tidak mungkin! Anakku tidak mungkin meninggal!" Ernita mengguncang tubuh kecil itu, berharap ada keajaiban. Namun keajaiban tidak datang malam itu. "Bu, bayi Ibu mengalami penyumbatan placenta sewaktu dilahirkan. Kami sudah mencoba menyelamatkannya, tapi Tuhan berkehendak lain." Dokter kembali mencoba menenangkan. Ernita menggigit bibirnya hingga berdarah. Ia ingin berteriak lebih kencang, ingin meluapkan kepedihannya, tetapi suaranya semakin lirih. Pandangannya mulai berputar. Pintu ruangan terbuka dengan kasar. Beberapa orang masuk, suara langkah kaki mereka tergesa-gesa. Ernita mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata dan melihat wajah-wajah yang sama sekali tidak ia harapkan saat ini. Pak Harno dan Bu Pinah mertuanya, berdiri di depan pintu dengan ekspresi kecewa. Bukannya menunjukkan simpati atau belas kasih, mereka malah memandangnya dengan tatapan tajam seolah kematian bayinya adalah kesalahan Ernita. "Kami sudah duga! Pasti ini gara-gara kamu!" Bu Pinah menunjuk wajah Ernita dengan jari gemetar, bukan karena sedih tapi karena marah. "Bu, saya ...." "Jangan panggil aku Ibu! Kamu itu memang pembawa sial! Sudah aku bilang sama Gudel, jangan nikahi kamu! Lihat sekarang! Bayinya mati! Kamu istri tidak becus!" Ernita menggeleng lemah, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Pak Harno, suami Bu Pinah, melipat tangan di dada. "Kami ini orang terpandang! Kamu malah bikin aib begini! Gimana tanggapan orang-orang nanti? Hah?! Kami harus menanggung malu karena menantu tidak becus sepertimu!" Ernita ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin bayinya meninggal, bahwa ia juga berduka. Tapi tubuhnya terlalu lemah dan hatinya terlalu hancur. Tak lama kemudian, seorang pria masuk. Gudel, suaminya, berdiri di ambang pintu. Wajahnya kusut, matanya bingung. "Suamiku!" Ernita memandang Gudel dengan harapan. Gudel tidak langsung mendekat. Matanya terarah ke tubuh bayi mereka yang telah tiada. Rahangnya mengeras. Namun sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Bu Pinah sudah lebih dulu bicara. "Gudel! Kamu lihat ini?! Anakmu mati! Istrimu ini memang sial! Aku sudah bilang dari awal!" Gudel menoleh ke ibunya, lalu kembali memandang Ernita. Matanya yang semula penuh kebingungan kini dipenuhi dengan keraguan dan kemarahan. "Iya, Del! Istri macam apa dia? Tidak bisa jaga anaknya sendiri!" Pak Harno menambahkan. Gudel mengepalkan tangannya, matanya merah. "Kenapa, Er?! Kenapa anak kita bisa mati?! Kamu ini ngapain selama ini?! Harusnya kamu jaga dia!" Gudel akhirnya membuka suara, suaranya tajam dan penuh amarah. Ernita membeku. "Aku ... Aku sudah berusaha, Mas. Aku juga tidak ingin dia meninggal ...." "Omong kosong! Kamu itu cuma istri pemalas! Kamu nggak becus jadi ibu!" Gudel menunjuk wajahnya dengan kasar. Hati Ernita seakan dicabik-cabik. Air matanya semakin deras mengalir. "Mas, tolong ... aku juga kehilangan anak kita ...." "Tutup mulutmu!" Gudel berteriak membuat semua orang di ruangan itu terdiam. "Aku capek! Aku muak! Aku menyesal menikahi perempuan lemah seperti kamu!" Ernita menatap suaminya dengan pandangan kosong. Dadanya terasa sesak. Suster yang berada di ruangan itu berusaha menengahi. "Maaf, Pak, ini rumah sakit. Tolong jangan bikin gaduh di sini." Bu Pinah mendengus dan meraih tangan Gudel. "Ayo, Del! Kita pulang! Perempuan ini nggak pantas jadi istrimu lagi!" Pak Harno menambahkan, "Benar! Ceraikan dia! Buang dia dari keluarga kita!" Gudel diam sesaat. Ia menatap tubuh bayinya yang tak bernyawa, lalu kembali menatap Ernita yang masih terduduk di ranjang dengan wajah penuh air mata. Seakan beban di pundaknya semakin berat. Dan saat itu juga, Gudel mengeluarkan kata-kata yang membuat dunia Ernita runtuh sepenuhnya. "Aku akan menceraikanmu!" Ernita terdiam. Napasnya tercekat. Seakan jantungnya berhenti berdetak. "Mas, jangan lakukan ini." Ernita berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Tidak ada alasan bagiku untuk tetap bersamamu. Kamu bukan istri yang bisa menjaga anaknya sendiri. Kamu cuma membawa kesialan dalam hidupku!" Setelah berkata demikian, Gudel berbalik dan berjalan keluar meninggalkan Ernita yang terisak sendirian. Bu Pinah dan Pak Harno mengikuti di belakangnya, meninggalkan sang menantu di ruangan itu. Ernita menggenggam selimut rumah sakit dengan erat. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena duka yang tak tertahankan. Suster yang tadi berusaha menenangkan kini menatapnya dengan iba. "Bu, saya benar-benar turut berduka. Anda butuh waktu untuk beristirahat." Tapi bagaimana Ernita bisa beristirahat ketika hatinya sudah hancur berkeping-keping? Ia baru saja kehilangan bayinya. Dan kini, ia kehilangan suaminya juga. Malam itu hujan terus turun dengan derasnya, seakan langit pun turut menangisi kepergian bayinya. Dan Ernita, seorang wanita yang baru saja menjadi ibu, kini mendapati dirinya sendirian di dunia yang terasa begitu kejam. **** Hujan semakin deras, membasahi kaca jendela rumah sakit. Petir menyambar-nyambar, seakan membelah langit menjadi dua. Di dalam kamar rawat yang dingin itu, Ernita masih terduduk dengan mata kosong. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi bayi mungilnya yang kini telah membeku. Dadanya terasa sesak, napasnya terasa berat. "Apa salahku?" bisiknya pelan hampir tak terdengar. Namun pertanyaannya tak akan pernah mendapat jawaban. Di luar ruangan, langkah-langkah Gudel menggema di sepanjang koridor. Pria itu berjalan dengan cepat, diiringi orang tuanya yang masih terus berbicara tentang perceraian. "Kamu jangan sampai luluh, Del! Perempuan seperti itu tidak pantas jadi bagian dari keluarga kita!" Bu Pinah menegaskan. Pak Harno mengangguk setuju. "Jangan biarkan dia merayu atau menangis di depanmu. Itu hanya trik murahan." Gudel hanya diam. Wajahnya masih menyiratkan kebingungan, tapi kemarahan dalam dirinya terlalu besar untuk berpikir jernih. Sementara itu, di dalam kamar rawat, Ernita masih menatap tubuh kecil itu dengan pandangan kosong. Tubuhnya bergetar, tapi bukan karena kedinginan, melainkan karena kenyataan pahit yang harus ia telan. Ia kehilangan segalanya! Dan malam itu, Ernita berjanji dalam hati, jika dunia telah membuangnya, maka ia akan mencari jalannya sendiri untuk bertahan hidup. 'Kenapa suamiku tega sekali kepadaku,' batin Ernita sembari sesekali terisak.Sore hari menjelang senja, langit mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga keemasan. Reza membuka pintu rumahnya dengan kantong makanan di tangan. Aroma ayam goreng hangat yang ia bawa langsung memenuhi udara."Halo, anak-anak. Ini makan dulu, Om belikan nasi ayam goreng. Tadi Om mampir di rumah makan. Sebenarnya Om tadi mau ajak kalian, tapi tadi Om ada urusan kerjaan, jadi nggak bisa bawa anak kecil," ujarnya sambil tersenyum ke arah dua bocah yang tengah bermain lego di karpet ruang tamu.Asrul dan Arkaf langsung menoleh, mata mereka berbinar."Wah, ayam goreng, Rul!" seru Arkaf sambil berdiri dan menghampiri Reza."Ayo kita makan, Ar," sahut Asrul antusias, menyusul kembarannya dan langsung menghambur ke pangkuan Reza.Reza tertawa kecil, meletakkan kantong makanan ke meja dan mulai membuka bungkusan satu per satu. Dua kotak nasi ayam, dua botol air mineral, dan dua sendok plastik yang tergulung rapi dalam tisu. Dia menyerahkan masing-masing kepada si kembar dengan penu
Suasana rumah makan siang itu cukup ramai, deru obrolan dan denting sendok garpu berpadu menjadi irama latar. Taufik dan Ernita masih berbicara dengan Helen, berusaha menyembunyikan kegelisahan mereka atas pertanyaan soal si kembar. Saat suasana mulai mencair, tiba-tiba terdengar derit kursi ditarik tak jauh dari meja mereka.Seorang pria berjas abu duduk di kursi pojok, dan tak lama kemudian seorang pelayan datang menghampiri membawa sepiring makanan. Aroma khas nasi goreng seafood langsung menyebar. Taufik yang semula sedang mengaduk teh manisnya, tiba-tiba menghentikan gerakannya. Matanya menatap lurus ke arah pria itu, dahi Taufik mengernyit."Reza!" serunya, setengah berdiri dari kursinya.Ernita dan Helen langsung menoleh ke arah yang sama. Si pria, Reza, pun menoleh dengan raut terkejut yang berubah menjadi sumringah. Ia berdiri, berjalan mendekati meja Taufik."Hei, Taufik! Wah, ini beneran kamu?" ujar Reza sembari menjabat tangan Taufik erat. Tawa bahagia mengiringi pertemuan
"Sudah, kalian pergilah! Aku muak melihat kalian!" bentak Gudel sambil menunjuk ke arah pintu dengan kasar. Suara meja yang ia tendang nyaris membuat tumpukan berkas berhamburan ke lantai.Namun Ernita tetap berdiri tegak. Tangan Taufik menggenggam erat pergelangan tangannya, mencoba menahan emosi istrinya agar tidak semakin meledak. Tapi Ernita tak bisa dibendung lagi. Matanya merah, suaranya penuh amarah yang ditahan selama ini."Heh, Del! Kembalikan dulu anak-anakku!" serunya dengan suara lantang.Gudel tertawa sinis, berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekat perlahan seperti seekor ular yang hendak menerkam mangsanya. "Anakmu? Hah! Sejak kapan kau punya anak, Nita? Bukankah kau melahirkan anakmu langsung mati, kau juga nggak bisa punya anak? Jangan munafik!"Ernita memelototinya. "Aku memang tidak melahirkan mereka, tapi mereka anak-anakku! Mereka yang menumbuhkan kasih sayangku, bukan kamu yang bahkan nggak pernah paham arti keluarga!"Taufik maju satu langkah. "Jangan pikir
Pagi itu, suasana kantor masih lengang ketika sebuah suara keras membuyarkan keheningan."BRAKKK!"Sebuah gebrakan keras menghantam meja kerja Gudel. Pria itu tersentak kaget, matanya langsung menatap tajam ke arah sumber suara. Di hadapannya berdiri seorang perempuan dengan tatapan menyala, wajahnya pucat namun penuh keberanian. Ernita."Nita?" suara Gudel parau, terkejut sekaligus tak percaya melihat wanita itu berdiri di hadapannya dengan ekspresi mengancam."Mana anak-anakku, Del?!" teriak Ernita, suaranya bergetar namun tegas. Tangannya mengepal di sisi tubuh, mencoba menahan gemuruh amarah yang nyaris meledak.Gudel perlahan berdiri dari kursinya. Ia tertawa pelan, geli mendengar pertanyaan itu."Anak-anakmu? Bukannya kamu nggak punya anak, Nita? Bukannya kamu sendiri yang bilang kamu keguguran waktu itu? Atau jangan-jangan ... kamu halu?" ujarnya dengan nada sinis."Cukup, Del! Jangan putar balik kenyataan. Kamu tahu betul Asrul dan Arkaf adalah anakku. Kamu tahu mereka masih h
Suara bentakan Gudel menggema keras di dalam bangunan tua yang kini terasa lebih pengap dari biasanya."Jawab, Nad! Ke mana anak-anak?!" gebrakannya membuat meja reyot di hadapannya berguncang hebat, gelas plastik yang ada di atasnya terjatuh dan tumpah.Nadya tersentak. Tubuhnya menegang dan mulutnya terbuka setengah. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia mampu bicara."Aku ... aku mau ke mall, Del," suaranya pelan dan bergetar. "Mau beli kebutuhan mereka, buat makan juga. Aku sempat masak telur buat mereka sebelum pergi.""Terus?!" bentak Gudel."Terus pas aku sudah di halaman rumah, baru ingat kontak mobilku ketinggalan. Aku balik lagi ke dalam buat ngambil itu. Aku buru-buru, Del. Nggak nyangka mereka bisa keluar diam-diam. Pas aku pulang dari mall, anak-anak udah nggak ada, aku panik, aku cari ke sekeliling, tapi nggak ada jejak sama sekali."Gudel mencengkeram rambutnya dengan kedua tangan. Kepalanya tertunduk beberapa saat, lalu ia mendongak dengan tatapan tajam menusuk."Pa
Pagi itu, matahari mulai naik tinggi di atas perbukitan. Udara masih segar, meski sinar mentari mulai terasa hangat di kulit. Di sisi jalan tanah yang sepi dan dikelilingi kebun liar, dua bocah kembar, Asrul dan Arkaf, berjalan perlahan dengan langkah kecil yang mulai lelah. Baju mereka lusuh, debu menempel di celana pendek yang mereka kenakan, dan wajah mereka tampak kusam karena belum mandi dan menangis sepanjang malam.Langkah mereka terhenti ketika suara mesin mobil terdengar dari kejauhan. Mereka refleks menoleh ke belakang. Sebuah mobil silver melaju pelan, lalu berhenti tepat beberapa meter di depan mereka. Kaca jendela mobil sedikit diturunkan, dan seorang pria berjas abu-abu turun dari dalam.Pria itu terlihat rapi. Jasnya disetrika dengan licin, sepatu kulitnya mengkilap, dan rambutnya tersisir ke belakang. Ia melangkah hati-hati mendekati dua bocah kecil yang memandangnya dengan tatapan penuh waspada."Anak-anak," sapanya lembut. Suaranya tenang dan penuh perhatian. "Kalian
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments