Home / Romansa / 365 Hari Bersama Tuan Mafia / Tuan Morelli Menunggumu

Share

365 Hari Bersama Tuan Mafia
365 Hari Bersama Tuan Mafia
Author: Leaa Lee

Tuan Morelli Menunggumu

Author: Leaa Lee
last update Last Updated: 2025-06-11 09:48:53

“Aku harus segera melarikan diri darinya.”

Langkah kakinya memburu. Bayangan hitam mengikuti dari belakang—terasa sunyi, dan mematikan. Kate berlari, dan setiap napas yang ia hirup terasa seperti duri yang menusuk dada. Udara malam menusuk paru-parunya, dingin dan tajam.

Malam di Manhattan tak pernah benar-benar sunyi—neon masih menyala terang, tawa dari klub malam masih terdengar samar. Tapi di antara hiruk-pikuk kota yang megah itu, rasa takut bisa terasa lebih sepi dari kematian.

Kate melirik ke belakang. Mobil hitam itu masih mengikutinya.

‘Tenang, ini New York,’ pikirnya. ‘Mungkin tak ada apa-apa.’

Tapi langkahnya justru makin cepat. Rambut panjangnya melambai liar, dan jaket kulitnya kini basah oleh peluh dan kabut malam.

“Kalau kalian berani mengikutiku sampai kesini, kita lihat siapa yang tolol,” desisnya, suara penuh amarah.

Tangannya menyambar sesuatu dari dalam tas—parfum semprot, benda receh yang malam ini mungkin jadi senjata hidupnya.

Ia menyeberang jalan dan masuk ke gang sempit. Udara lembap menyambut. Bau logam, karat, dan sisa alkohol menyengat hidungnya. Diantara gedung gedung tua Manhattan dan poster-poster usang menempel di dinding batu bata.

Mobil itu, berhenti di mulut gang.

Lalu, pintunya terbuka.

Dua pria bersetelan gelap turun. Tatapan mereka dingin seperti malam itu sendiri.

“Nona Katherina Alessia Valente?” suara berat menggema.

Kate menyipitkan mata. “Siapa Kalian?”

“Perintah. Kami diminta untuk menjemputmu.”

“Oh, ya? Dini hari? Di gang sempit? Apa aku terlihat bodoh?” Tangannya reflek mengangkat parfum dan—semprotan mengarah ke wajah pria itu.

“ARGH! BAJINGAN!”

Tanpa membuang waktu, Kate berlari secepat yang ia bisa. Jalanan di depannya initampak seperti lorong tanpa ujung. Tapi harapan muncul setiap langkah untuk menjauh dari bahaya—hingga satu tangan kekar mencengkram lengannya dari belakang.

“K–Kalian GILA!” jeritnya.

Ia memberontak dan melawan sekuat yang ia bisa. Menendang, menggigit, dan berusaha berlari. Namun sayang pria itu lebih kuat dari Kate.

Sebelum sempat menjerit, saputangan putih dengan bau menyengat menutupi wajahnya.

Satu kalimat terdengar di telinga Kate sebelum semuanya menggelap sempurna.

“Tuan Morelli menunggumu.”

Dunia runtuh dalam sekejap. Udara terakhir yang ia hirup terasa seperti pisau.

***

Cahaya terang menghantam matanya. Ia terbangun di atas ranjang mahal. Langit-langit tinggi menyambut. Tirai beludru merah darah tergantung berat di samping jendela besar. Dan lampu gantung kristal menggantung megah.

Ruangan itu terlalu mewah untuk dijadikan penjara. Tapi terlalu asing untuk disebut rumah.

“Apa ini…” desisnya.

Kate terduduk pelan, mencoba mengenali tempat itu. Lalu, seolah menyadari sesuatu, ia meraih lehernya. Matanya membelalak.

“Tidak… jangan bilang…”

Tangannya menyisir dada. Mencari sesuatu yang tak ada.

Liontin itu—hilang.

Napasnya memburu. Ia memeluk tubuhnya sendiri. Tubuhnya gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena kehilangan yang jauh lebih berharga dari ruangan mewah ini.

Sejak kematian ayah dan ibunya yang misterius. Membuatnya harus meninggalkan Italia, tempat kelahirannya.

Liontin perak dengan lambang kuno itu. Bukan sekadar perhiasan biasa. Itu satu-satunya peninggalan yang mengingatkan dirinya pada kedua orang tuanya.

"BAJINGAN!!!" teriaknya. Ia bangkit, meraih vas kristal, dan melemparkannya ke arah kamera kecil yang tersembunyi di langit-langit ruangan.

“Aku tahu kalian mengawasiku! Dasar PSIKOPAT!!!”

Tak ada balasan suara. Hanya dengung mesin pendingin ruangan.

Ia menggedor pintu dan menendangnya. Tapi tak ada hasil.

“Keluarkan aku sekarang juga, atau semua barang mahal ini aku hancurkan!”

Tangannya menggenggam vas kristal. Bersiap untuk melempar.

Namun, langkah kaki terdengar mendekat membuat Kate spontan menurunkan vas kristal yang ingin ia lempar. Derap sepatu kulit, lembut tetapi berat, seirama dengan aroma parfum maskulin yang menyelinap masuk lebih dulu.

Pintu terbuka dengan derit nyaring. Sosok pria tinggi berdiri di sana. Sekitar 190 sentimeter. Wajahnya seperti ukiran marmer, tak bercela. Rambut hitam tersisir rapi. Sepasang tuksedo melekat sempurna, membungkus tubuhnya seperti kulit kedua.

Tapi bukan penampilannya yang membuat Kate membeku. Melainkan mata abu-abunya—tajam dan gelap, seolah bisa menguliti jiwa siapa pun yang ia tatap.

“Kau akhirnya bangun,” katanya pelan. Suaranya berat, dingin, dan terlalu tenang untuk pria yang baru saja menculik seseorang.

“Siapa kau?! Apa yang kau mau?!” bentaknya.

Pria itu melangkah masuk. Tatapannya menusuk. Aura ancaman mengikutinya seperti bayangan.

“Lorenzo Morelli D’Amato,” katanya tanpa ragu.

Ia berhenti di hadapan Kate. Diam sejenak. Lalu berkata dengan nada yang membuat darah di tubuh gadis itu membeku.

“Dan kau… seharusnya sudah mati.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Terpaksa Nginep

    Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Tuan Mafia vs Drama Queen

    Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Dinner Penuh Bara

    Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Catatan Hitam

    Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Ruang Rahasia

    Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

    Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status