"Maafkan ibu, An. Ibu gak bisa melarang Arya waktu minta izin nikah lagi. Sudah berkali-kali ibu ingatkan tapi Arya bandel."Ibu mertua mengelus puncak kepalaku lalu meraihku dalam pelukan beliau.Ingin rasanya aku marah tapi aku tahu semua itu tidak ada gunanya lagi.Mungkin sudah takdir begini. Bagus juga karena dengan menikah lagi, aku yang selama ini bucin setengah mati pada Mas Arya hingga rela jadi bumper di belakangnya demi ketenangan hidup lelaki itu jadi sadar jika semua itu ternyata sia-sia belaka.Belum terlambat untuk menyadari kesalahanku, terlalu memanjakan suami hingga tak tahu jika aku telah berkorban begitu banyak demi hubungan rumah tangga kami yang ternyata tak berarti apa-apa baginya."Ya, sudahlah Bu, gak papa. Semua sudah terjadi. Sudah takdir harus begini. Dises
"Terus biasanya kamu ngasih ibu berapa? Kok tadi ibu minta satu juta? Lalu untuk keperluan lain gimana?" Mas Arya menatapku dengan tatapan ingin tahu dan penasaran, membuatku tersenyum miris dalam hati."Rezeki 'kan ada aja, Mas. Biasanya kukasih dari uang THR atau gaji 13 Mas. Pokoknya kalau pandai mengelola, pasti cukup," sahutku pura-pura empati padahal tidak sama sekali.Rasain, Mas! Ini baru awal. Berikutnya bakal lebih banyak lagi kejutan yang akan kamu dapatkan, batinku lagi.Aku pun berjalan meninggalkannya, masuk ke dalam kamar.Mas Arya membuntuti."Tapi lama-lama 'kan habis juga, An. Sekarang ATM itu mas berikan pada Maya, maksudnya gantian dia yang ngatur keuangan keluarga kita. Tapi satu juta mana cukup? Untuk ibu saja itu. Yang lain gimana?" kejar Mas Arya lagi, membuatnya kem
Pagi-pagi sekali sudah ada sayuran dan ikan mentah di meja dapur.Sepertinya barusan Mas Arya belanja di warung sebelah setelah berkali-kali aku mengatakan baru akan masak jika dibelikan bahan masakan untuk diolah. Dan tampaknya Mas Arya mengerti dan mengabulkan permintaanku itu.Berpikir begitu, aku pun segera menyiangi sayuran dan ikan mentah tersebut untuk segera bisa diolah menjadi masakan.Kedua bahan itu telah selesai kubersihkan. Sekarang tinggal mempersiapkan bumbu pelengkapnya agar ikan dan sayur tersebut enak dimakan.Tetapi saat aku mengecek wadah bumbu, cabe merah, bawang merah serta minyak makan ternyata sudah habis.Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar di mana barusan kulihat Mas Arya sedang berganti pakaian dan segera melaporkan kekurangan itu.
Jam lima sore, Mas Arya sudah kembali pulang dari kantor. Aku menyambutnya dengan senyum datar. Membawakan tas dan berkas-berkas kerjanya lalu menaruhnya di atas lemari.Kuambilkan teh panas dan memberikannya pada Mas Arya. Namun, Mas Arya justru menatapku."Gak ada minuman dingin ya, An? Kok tehnya panas begitu? Mas 'kan gak suka teh panas," tanyanya sembari melepas kancing bagian atas seragamnya.Ya, Mas Arya memang penggemar teh es sehingga mungkin tak terlalu suka dengan teh panas yang saat ini kusajikan.Aku menggeleng. "Listrik mati, Mas. Makanya es batu cair semua," sahutku."Oh sudah lama PLN mati? Kok tumben, biasanya cuma sebentar?""Sudah lama, Mas. Tapi bukan karena PLN mati tapi karena token habis," sahutku lagi.
[An, datang ya ke acara reuni SMA kita dulu dua hari lagi. Ajak suami dan anakmu. Aku juga mau ngajak suami dan anakku nanti]Pesan whatsapp dari Erika, sahabat SMA-ku dulu masuk ke aplikasi hijauku.[Insyaallah, Ka. Di mana lokasi acaranya?] tanyaku.[Kediaman dokter Wisnu. Itu lho teman satu lokal yang dulu juara kelas terus. Kalian pernah dekat 'kan? Sekarang dia bangun rumah sakit sendiri lho di daerah Panam. Keren.] Emoticon jempol menghiasi balasan pesan dari Erika.Membaca pesan itu dadaku berdegup kencang sesaat.Dokter Wisnu? Lelaki tampan itu dulu memang pernah menjadi seseorang terdekat dan begitu spesial di hati ini.Kami sempat menjalin hubungan untuk beberapa lama sebelum akhirnya ia harus berangkat ke kota Jakarta untuk menimba ilmu kedokt
"Hai, Ana. Apa kabar? Sudah lama gak ketemu ya? Kamu datang sama siapa? Sendirian?" sapa Wisnu sembari tersenyum ramah padaku.Aku balas tersenyum lalu menunjuk pada sosok Via yang tengah bermain bersama Tasya, putri Erika."Berdua anakku, Nu. Kabarku baik, alhamdulilah. Kamu sendiri gimana?" tanyaku balik.Kuperhatikan saat ini penampilan Wisnu memang semakin sempurna. Ganteng, sukses dan kaya. Sungguh beruntung wanita yang berhasil memiliki dirinya."Aku juga baik. Oh ya, dengar-dengar kamu sudah menikah? Mana mas-nya? Kok gak diajak sekalian?" tanyanya lagi sembari melihat ke sekeliling tetapi kemudian kembali padaku saat tak menemukan sosok Mas Arya di sampingku.Sekilas kulihat matanya mengerjap, tetapi bagiku tak berarti apa-apa. Hubungan kami sudah berakhir sepuluh tahun lalu. Tak ada lagi
Usai solat magrib kembali aku mencoba menghubungi Mas Arya, tetapi hasilnya masih sama, ponselnya tak bisa dihubungi. Malah sekarang dalam keadaan mati."Gimana, sudah bisa dihubungi papanya Via?" tanya Wisnu sembari menggendong Via yang terlihat kuyu dan mengantuk, sebab hari ini terpaksa tidak tidur siang karena ikut menghadiri acara reuni ini.Gadis kecilku itu terlihat nyaman. Menyandarkan kepalanya di bahu Wisnu sambil memeluk tubuh lelaki itu dengan tenang.Sama sepertiku, aku tahu Via juga merasa nyaman bersama Wisnu. Itu bisa terlihat dari pancaran wajah dan mata gadis kecilku itu.Via memang tak pandai berbohong. Saat bersama papanya sendiri, gadis itu justru terlihat tak sepenuhnya merasa nyaman seperti saat ini.Sebagai anak, tentu saja Via punya naluri untuk ingin berdekatan dan diperhatikan terus oleh sang papa, tapi sayan
Atas reaksi Mas Arya itu, Wisnu terlihat terkejut dan tak menyangka akan sambutan suamiku itu tetapi dengan cepat ia berusaha mengusir rasa heran yang tercetak jelas di wajahnya tadi."Oke, Ana, aku pulang dulu ya. Jangan sungkan-sungkan mampir ke rumah atau ke tempat praktek ya, kalau ada keperluan. Salam buat Arya, aku pulang dulu," ujarnya dengan nada tenang dan dewasa.Aku memaksa senyum untuk mengusir rasa tak enak akibat sambutan Mas Arya yang di luar dugaan itu lalu menganggukkan kepala."Makasih banyak ya Wisnu untuk undangan dan untuk bantuannya nganterin sampe ke rumah. Maaf, kalau Mas Arya begitu, mungkin dia kecapekan. Insyaallah nanti kalau ada apa-apa, bolehlah aku mampir ke rumah sakit. Sekali lagi makasih ya bantuannya," ujarku dengan nada tak enak.Mendengar ucapanku, Wisnu hanya tersenyum."Gak papa, An. Ya udah, aku pulang dulu ya. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Kuikut