"Ma-maaf, Bu. Aku juga gak tau gimana caranya si Maya bisa gadaikan mobil ke rentenir dan kapan kejadiannya. Tau-tau waktu Arya pulang, mobil itu sudah gak ada lagi," tuturku dengan suara pilu, menjelaskan kronologis peristiwa yang baru saja terjadi.
Ibu tampak kembang kempis menahan nafas mendengarnya. Jelas sekali beliau berusaha menekan emosi sebisa mungkin.
"Yang salah itu kan kamu, Ya! Perempuan entah keturunan siapa gitu kok dinikahi. Kamu pikir semua perempuan itu sama baiknya kayak si Ana? Naif kamu! Apa selama ini gak mikir, gaji PNS itu berapa, kok Ana bisa masak enak terus buat kamu setiap hari? Bisa ngasih BBM mobil kamu setiap hari? Bisa biayai Mira kuliah dan bisa ngasih ibu setiap bulan? Bahkan sewaktu-waktu ibu minta tambahan uang dia gak pernah keberatan.
Selama ini ibu mikir, kok bisa ada perempuan sebaik dan sepolos Ana. Tapi sekarang ibu jadi mikir lain lagi, kok ya ada laki-laki sebodoh kamu yang gak sadar kalau sudah punya istri sempurna? M
Mendengar perkataan beliau, aku pun hanya bisa menghela nafas pasrah. Kusandarkan punggung di kursi lalu meremas rambut dengan perasaan kacau.Tak kusangka semua ini akan terjadi. Wanita yang kumenangkan dari istri sah, ternyata hanya jadi benalu dan pencipta neraka dalam hidupku sendiri."Mas, Mas Arya, sini sebentar. Lihat ini!"Sedang aku duduk gelisah di sofa ruang tamu, Mira memanggilku dari dalam kamar dengan nada keras.Tak antusias karena masih kalut berpikir, aku hanya menyahut pelan."Ada apa, Mir? Kamu aja yang ke sini, Mas lagi pusing ini!" sahutku malas."Ini, Mas. Lihat status wa Maya. Gila memang perempuan itu! Masa dia posts foto-foto kalian di stori wa? Apa maksudnya?""Mana?" Seperti tersengat kalajengking, aku langsung bangkit dan memburu ke arah Mira."Ini lihat, ckckckc. Bener-bener mau bikin malu aja ini perempuan. Masa dia posts foto-foto setengah telanj*ng kalian di stori wa. Apa maksudnya ka
Aku menatap wajah Via yang alhamdulilah bangun pagi ini sudah terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya.Ini hari ke sepuluh ia dirawat di rumah sakit ini dan syukurlah, masa-masa kritisnya sudah berhasil dilewati.Tinggal masa pemulihan yang sudah berlangsung selama tiga hari ini dan kondisinya pun hari ini sudah terlihat semakin membaik."Syukurlah An, hari ini Via sudah boleh pulang. Tapi di rumah tetap diperhatikan asupan gizi dan vitaminnya ya karena kondisi fisiknya tentu saja masih belum kuat seperti sebelumnya. Nanti aku resepkan obat dan vitamin untuk memulihkan fisiknya, dihabiskan supaya cepat sembuh kembali seperti sebelumnya, oke?" ujar Wisnu saat visit dokter pagi ini.Aku mengangguk sembari tersenyum lega mendengar penuturan lelaki itu."Makasih ya,, Nu. Kamu sudah bantu aku dan Via. Makasih banget," ucapku lirih."Never mind. Kalau ada apa-apa nanti, hubungi aja ya," ujar Wisnu lagi.Aku kembali mengangguk,
Meski dalam hati tak antusias ingin tahu apa yang hendak dibicarakan oleh Mas Arya, tetapi tak tepat juga rasanya menolak dengan kasar permintaan lelaki yang pernah menjadi suamiku itu.[Gak bisa ditelpon, An. Karena jujur ini masalah serius. Aku mohon kamu bersedia. Nanti kuhubungi lagi kalau kamu sudah di rumah ya?]Tak ingin panjang perkara, aku pun hanya mengiyakan dengan singkat.Aku bukan perempuan tega yang bisa menampiik saat seseorang, apalagi mantan suami mengajak bicara. Apalagi jika ini menyangkut Via karena bagaimanapun gadis kecilku itu masihlah menjadi tanggung jawab kami bersama.Aku menutup telpon lalu menyimpan benda itu kembali di tas. Setelah itu bergabung bersama ibu, mengemasi barang-barang yang hendak dibawa pulang."Ngomong apa Arya, An?" tanya ibu yang sedari tadi ikut mendengarkan percakapan kami dengan tatapan menyelidiki."Nanyain Via sama pengen ngajak aku ngomongin sesuatu, Bu. Aku belum tahu soal apa. Tap
Aku baru saja memberi obat dan menidurkan Via, saat ponsel di atas meja kecil di sudut kamar berdering.Kuambil benda itu dan segera memeriksa nomor penelpon, kembali ternyata Mas Arya yang menghubungi.Ah, mau apa sih dia? Mau bicara? Tentang apa sebenarnya yang hendak ia bicarakan?[Ana, kamu di mana? Bisa gak kita bicara sekarang? Mas tunggu di cafe Alamanda sekarang. Bisa?] tanya Mas Arya dengan nada memohon di seberang sana.Sejenak aku menoleh pada Via yang baru saja terlelap. Apa putriku ini bisa ditinggal beberapa saat untuk menemui papanya atau dia akan terbangun dan kehilangan saat aku tak ada di sampingnya karena mungkin saja aku masih ada di luar?Akhirnya aku memilih opsi yang pertama. Sepertinya kalau cuma keluar satu atau dua jam lamanya, Via belum akan terbangun.Sekarang baru pukul dua siang. Biasanya dia akan bangun tidur siang pada pukul lima sore.Berpikir demikian aku pun
"An, ibu asmanya kambuh. Mas harus pulang sekarang juga dan bawa ke rumah sakit. Bisa gak mas pinjam motor kamu sebentar atau anterin mas pulang soalnya dari sini kan gak jauh. Bicaranya besok aja lagi karena mas belum selesai. Tapi anterin mas sebentar ya?" tanya Mas Arya sambil menatap penuh iba padaku.Sejenak aku dilanda ragu. Bukan tak punya rasa kemanusiaan pada ibu yang sedang sakit, tapi gimana ya? Kenapa tidak pesan ojol aja? Kenapa harus aku yang mengantar dia pulang ke rumah ibunya?"An, tunggu apalagi? Apa kamu gak kasian? Bagaimanapun ibu masihlah ibu mertua kamu. Apa kamu tega biarin ibu kesakitan begini? Anterin Mas pulang sebentar ya. Dari sini cuma lima kilometer. Pesan ojol lama nunggu, nanti ibu gak tertolong lagi. Ayo, An. Buruan," ujar Mas Arya tak sabar seolah takut ibunya tak dapat tertolong lagi, sambil tangannya meraih kunci motorku yang kuletakkan di atas meja cafe dan berlari menuju roda dua yang terparkir di depan sana yang membu
Ya Tuhan, apa yang terjadi pada diriku? Kenapa mataku terasa berat dan mengantuk sekali? Apa barusan Mas Arya telah meminumkan obat tidur dalam teh hangat yang diberikan padaku dan ibu tahu itu tapi tidak mencegah? Apa jangan-jangan semua ini memang sudah disetting dari awal dan terjadi justru atas persetujuan beliau?Itu sebabnya beliau sengaja menahanku supaya tak buru-buru pulang setelah mengantar Mas Arya tadi?Ya, Tuhan ... Apa jangan-jangan sakitnya ibu juga pura-pura supaya aku terpaksa datang ke sini agar bisa menjebakku seperti ini?Tapi untuk apa? Apa karena Mas Arya ingin kembali padaku? Hanya karena itu? Naif sekali!Beribu pertanyaan berkecamuk di benak sementara tubuhku mulai terasa lemas, sulit digerakkan. Kesadaran pun seolah mulai hendak tenggelam tetapi sebisa mungkin kucoba menahan, meski mataku mungkin telah terpejam."Bu, Ana sudah pingsan. Apa yang harus Arya lakukan sekarang?" tanya Mas Arya sama
"Mira, kamu ini kenapa sih, kok malah ceramah begini? Sudah sana, minggir. Ana toh masih istri mas. Hak mas hendak melakukan apa terhadapnya!""Tapi bukan gini caranya Mas, aku gak bisa ngebiarin hal seperti ini terjadi di depan mata kepalaku. Aku ini juga perempuan Mas, Mas gak takut aku juga bisa mengalami apa yang Mbak Ana alami akibat kejahatan mas ini. Karma itu selalu ada, Mas. Dan aku gak mau mengalami itu gara-gara, Mas!""Ana ...!" teriak Mas Arya bertepatan dengan bunyi ponsel Mira yang berdering kencang yang sepertinya langsung diangkat oleh adik iparku itu.[Halo, ya Ndre, iya. Mbak Ana ada di sini, di rumah ibu. Cepat, Mbak Ana pingsan!] Seru Mira di telepon.Mungkin itu telepon dari Andre, adikku. Sebab setahuku mereka memang lumayan saling kenal,menanyakan apa aku ada di rumah ibu karena aku memang sempat memberitahu beliau sebelum pergi, kalau aku hendak menemui Mas Arya di cafe.Itu sebabnya barangkali
"Mira, Ana itu istri mas. Kenapa kamu halangi mas bikin dia kembali lagi ke rumah ini? Apa mau kamu sebenarnya? Mau cari muka? Mau cari perhatian ke orang tua Ana supaya kamu dibilang pahlawan? Atau jangan-jangan, kamu suka sama Andre, makanya kamu belain Ana karena dia kakaknya?" hardikku penuh emosi pada Mira.Tak kusangka adik yang kubela mati-matian tu ternyata tak lebih dari seorang musuh dalam selimut."Benar. bu juga gak nyangka kamu setega itu gagalkan rencana kita buat bikin Arya dan Ana bersatu lagi, Mira. Mau kamu apa sih sebenarnya? Kamu mau kita makan bubur nasi encer setiap hari? Ibu sudah jenuh begini, Mir. Besok pagi entah kita bisa makan atau tidak, karena gak ada lagi beras di dapur." Ibu menimpali ucapanku.&