Seraphina memegang ponselnya erat-erat, ia sudah berada di kursi belakang mobilnya. Sedangkan Jason sedang fokus menyetir. Sesekali ia melirik kaca depan mobil, menunggu perintah selanjutnya dari Nona Muda nya itu.
“Miss Sera, ke mana tujuan kita sekarang?” tanyanya. Seraphina tak segera menjawab. Ia membuka aplikasi DeepThought. Membaca lagi balasan terakhir dari Cypher beberapa menit lalu, untuk meyakinkan dirinya. [‘Pergilah ke British Library. Di perpustakaan itu ada buku yang akan membuktikan peringatanku tentang Kai Rothman. Cari buku berjudul ‘Temporal Residue: Tracing Anomalies in Post-Event Memories’.’] Sebuah perintah. Jantung Seraphina berdegup. Tidak ada pilihan. Tanpa berpikir panjang, ia mendongak, menatap Jason dari balik kaca depan mobil. “British Library, Jason.” jawab Seraphina. “Baik, Miss Sera.” Tanpa menunggu waktu lama, Jason membawa mobil melesat di jalanan London yang ramai menuju British Library, pusat dari semua pengetahuan, dan kini, pusat dari semua ketakutan Seraphina. ======== • • • ======== Lobi British Library yang megah dan tenang menyambutnya. Seraphina mengamati sekeliling, mencari rak buku yang berisi publikasi ilmiah. Di antara tumpukan buku, ia menemukan bagian yang ia cari. Tangannya gemetar saat menyusuri judul-judul yang tercetak di punggung buku. ‘Temporal Residue: Tracing Anomalies in Post-Event Memories’ Nama Kai Rothman. Ada. Jari Seraphina menyentuh punggung buku itu. Tanpa sadar ia menahan napas. Ia menariknya perlahan. Tebal. Halamannya padat dengan tulisan teknis, grafik, dan referensi. Ia membolak-baliknya dengan hati-hati. Ada kata-kata ‘anomali’ dan ‘ingatan temporal’ yang muncul berulang kali. Keningnya berkerut-kerut setelah membaca beberapa paragraf. Lalu ia mendongak, matanya menelusuri judul buku di rak, area sekitar di mana Seraphina mengambil buku Kai. Tak lama, kedua tangannya sudah tertumpuk beberapa buku. Tumpukannya terlalu tinggi, hingga menutupi pandangannya. Langkah Seraphina jadi melambat. “Aargh, Seraphinaa … lagi-lagi kamu bikin hidup yang mudah jadi sulit!” Gumamannya pelan tapi seperti sedang mengutuk. Set! Saat ia sedang kesulitan berjalan, tiba-tiba pandangannya yang tadi terhalang oleh tumpukan buku, kini terbuka lebar. Diganti oleh wajah tampan seorang pria berambut perak. "Aku bantu bawakan.” Cypher Winthrop ada di hadapannya sekarang. Mata abu-abunya yang cemerlang, senyum manisnya, dan caranya membawa sebagian buku tebal dengan sangat mudah, membuat jantungnya tak kuasa berdegup dengan kencang. "Ka-kamu," bisik Seraphina, nyaris tidak bersuara. "Kau terlihat panik," jawab Cypher Winthrop, suaranya pelan dan menenangkan. Ia mengambil buku Kai dari tangan Seraphina dengan lembut, tanpa menunggu izin. Ia menatap sebentar Buku itu, lalu mengacungkannnya di hadapan Seraphina. "Buku ini adalah awal dari banyak pertanyaan. Aku tau beberapa hal yang pasti ingin kau ketahui." katanya, membimbing Seraphina ke salah satu meja kosong di sudut yang lebih tenang. Cypher Winthrop meletakkan buku Kai di depan Seraphina dan duduk di seberangnya. Membiarkan Seraphina membuka buku itu halaman demi halaman. Kerutan di keningnya tanda bahwa ia sedang berusaha fokus untuk membaca, tapi mata abu-abu itu mengamatinya. Tatapan tanpa berkedip itu terasa tidak nyaman. “Apa yang kamu lakuin di sini, Cypher?” tanya Seraphina tanpa mendongak dari buku di hadapannya. “Aku sudah membaca bukunya," kata Cypher Winthrop, suaranya rendah. "Tadi. Di rak. Tidak ada namamu, tapi deskripsi kasusnya persis dengan pengalamanmu." Seraphina menggenggam tangannya di bawah meja, mencoba mengendalikan gemetarnya. "Gimana kamu bisa ada di sini?" "Aku tahu kau datang mencari jawaban. Jadi aku datang untuk menemuimu," Cypher Winthrop tersenyum tipis. Sebelum Seraphina bisa merespons, sebuah suara lain memotong keheningan. "Akhir-akhir ini kamu sulit ditemui ya, Sayang?" Seraphina sontak menoleh. Cassian berdiri di sana, di belakangnya, bersama dengan Genn. “Hai, Sera. Aku tadi telepon kamu, tapi kamu nggak angkat.” bisik gadis berambut pendek berantakan itu. Senang akhirnya menemukan Seraphina. Ia langsung mengambil tempat duduk di samping Seraphina. “Whoa … ada siapa ini?” Senyum Genn mengembang ketika melihat sosok Cypher di hadapannya. Lalu ia mengalihkan pandang ke arah Seraphina, kedua alisnya terangkat, itu gestur yang menandakan ia sedang sangat penasaran. “Baru kemarin si anak baru ini masuk, dan sekarang kalian pergi bersama? Sejak kapan? Kalian saling kenal sebelumnya?” Nada suara Genn terdengar bersemangat. Ia sama sekali tak menyadari perubahan di wajah Cassian, dan kegugupan pada Seraphina. Seraphina melirik Cassian. Ada senyum di wajah kekasihnya itu, tapi matanya yang gelap menatap Seraphina dengan tatapan yang dingin dan penuh selidik. Seraphina merasa seluruh otot di tubuhnya menegang. "Kami cari kamu di rumahmu, di kampus, di mana-mana," Cassian melanjutkan, suaranya ramah tapi nadanya terasa seperti ancaman. Ia berjalan ke belakang Seraphina, lalu memeluknya dari belakang. "Kamu bilang di telepon kalau mau istirahat, tapi kenapa di sini? Sama siapa lagi ini?" “Dia mahasiswa pindahan, Cass. Di kelas Mr. Hudson kemarin.” jelas Genn, karena kemarin kebetulan Cassian tidak masuk kuliah. Tubuh Seraphina langsung kaku. Pelukan Cassian yang biasanya menenangkan kini terasa seperti rantai besi. Kenangan buruk dari malam mengerikan itu kembali berputar. Ruang perpustakaan yang tadinya terasa luas tiba-tiba menjadi sempit dan sesak. Cypher Winthrop, yang duduk di depannya, mencondongkan tubuhnya ke depan. Matanya meneliti wajah Seraphina dengan cermat. Seraphina tidak menyadarinya, tetapi mata Cypher Winthrop melihat pupil mata Seraphina yang melebar, napasnya yang mulai tersengal, bibirnya yang bergetar, dan tangan gemetar yang tidak bisa ia kendalikan. Cypher Winthrop bertindak. Dengan gerakan yang cepat, ia mengulurkan tangannya di atas meja, menyentuh tangan Seraphina yang bergetar. Sentuhan dinginnya terasa seperti sengatan listrik. "Sepertinya aku menemukan buku yang kucari. Aku akan meminjam semua ini. Kau mau bantu aku membawanya?" Seraphina, yang berada di ambang serangan panik, tersadar. Sentuhan dingin di tangannya adalah jangkar yang membawanya kembali ke kenyataan. Ia melihat ke tangan Cypher Winthrop yang menggenggamnya, lalu ke tumpukan buku yang tiba-tiba berada di depannya. Sebuah tumpukan besar yang seolah menjadi alasan sempurna untuk pergi. Cassian melepaskan pelukannya, menatap Cypher Winthrop dengan alis terangkat. "Kamu pikir, kamu siapa?" "Aku mencari buku-buku ini. Dia hanya membantuku," jawab Cypher Winthrop, tidak melihat ke arah Cassian. Ia hanya menatap Seraphina. "Kau ikut?" Seraphina tidak ragu. Dengan pandangan kosong, ia mengangguk. "Ya." Ia bangkit, mengambil beberapa buku dari tumpukan itu, dan mengikuti Cypher Winthrop menjauh dari meja itu, meninggalkan Cassian dan Genn yang kebingungan di belakang mereka. ======= • • • ======== “Jadi dia yang membuatmu melakukan hal bodoh?” Cypher Winthrop menyodorkan tas berisi buku-buku yang telah disewa. “M-maksudmu?” Seraphina tak mengerti. Ia mengambil tas itu dari tangan Cypher Winthrop. Ia menoleh ke kanan sebentar. Beberapa meter dari ia berdiri, Jason telah menunggunya di depan mobil. Itu membuatnya lega. “Si Wajah Malaikat Berhati Busuk itu,” Cypher Winthrop kembali mengambil perhatiannya. “Cassian?” Cypher Winthrop mengangguk. Perlahan pria berambut perak itu mendekatkan mulutnya ke telinga Seraphina, ia berbisik. “Dia yang membuatmu terjun malam itu ‘kan…”Seraphina memegang ponselnya erat-erat, ia sudah berada di kursi belakang mobilnya. Sedangkan Jason sedang fokus menyetir. Sesekali ia melirik kaca depan mobil, menunggu perintah selanjutnya dari Nona Muda nya itu.“Miss Sera, ke mana tujuan kita sekarang?” tanyanya. Seraphina tak segera menjawab. Ia membuka aplikasi DeepThought. Membaca lagi balasan terakhir dari Cypher beberapa menit lalu, untuk meyakinkan dirinya.[‘Pergilah ke British Library. Di perpustakaan itu ada buku yang akan membuktikan peringatanku tentang Kai Rothman. Cari buku berjudul ‘Temporal Residue: Tracing Anomalies in Post-Event Memories’.’]Sebuah perintah. Jantung Seraphina berdegup. Tidak ada pilihan. Tanpa berpikir panjang, ia mendongak, menatap Jason dari balik kaca depan mobil.“British Library, Jason.” jawab Seraphina.“Baik, Miss Sera.” Tanpa menunggu waktu lama, Jason membawa mobil melesat di jalanan London yang ramai menuju British Library, pusat dari semua pengetahuan, dan kini, pusat dari semua ketakut
Seraphina berlari tanpa arah. Lorong kampus terasa seperti labirin yang menyesakkan, setiap langkah adalah usaha putus asa untuk menjauh.‘Robot. Dia robot.’Pikiran itu berputar-putar di benaknya, ingatannya pada sentuhan dingin di pipi Cypher Winthrop menghantuinya. Jantungnya berdebar kencang, bukan lagi karena ketakutan yang menghantui, tapi karena kebingungan.Seraphina akhirnya menemukan toilet wanita yang sepi. Ia masuk ke salah satu bilik dengan tergesa dan menguncinya. Ia duduk di atas WC tertutup, kakinya bergerak-gerak gelisah tanpa sadar."Ini nggak mungkin," bisiknya, suaranya serak. "Ini semua gila. Aku pasti ... aku pasti sudah gila ‘kan,”Ia mencubit lengannya keras-keras.“Aw! Sakit. Ini bukan mimpi. Aku beneran lihat dia. Aku juga sentuh dia. Dia ... bukan manusia. Robot dengan rambut perak itu. Wajahnya persis sama dengan yang terpasang di foto profil Cypher di DeepThought. Dan tawanya ... tawa kaku itu seperti tawa Cypher.” gumam Seraphina pada dirinya sendiri. Tan
“Aduh….” Seraphina meringis kesakitan saat tak sengaja ujung gaun tidurnya bergesekan dengan luka di lututnya. Matanya menelisik ke area sprei di sekitarnya. “Seharusnya ‘itu’ lepas di sini.” gumamnya, tangannya meraba-raba sprei. “Ah, ini dia!” ucapnya senang saat menemukan plester bekas di balik gulingnya. Lalu dengan segera ia melempar plester itu ke tempat sampah “Padahal aku sudah beli yang bagus, kenapa bisa lepas…?” Tangannya menepuk-nepuk beberapa kali di area sekitar luka, untuk meredakan perihnya. Ia menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya perlahan. Itu membantu. Rasa perihnya kini sudah berkurang. Perlahan ia berjalan mendekati full body mirror yang tertempel di dinding kamarnya. Ia melihat lutut kanannya yang kini berwarna merah. Ada sedikit noda merah yang mengalir, sepertinya karena gesekan tadi. “Ah, bagaimana cara menutupi ini?” gerutunya. Ia segera membuka lemarinya, membolak balik satu persatu bajunya. Lalu mengambil rok pendek di atas lututnya.Ro
Seraphina berdiri di depan cermin di kamar mandi restoran, mematut diri dengan hati-hati. Gaun marun panjang sepanjang mata kaki yang ia kenakan mengalir lembut, menutupi luka di lututnya yang masih perih dari kejadian tadi sore. Zipper di bagian dada depan gaun itu menambah sentuhan modern, sementara lengan panjangnya memberi kesan anggun namun sederhana.Sepatu sneaker putih dengan garis merah tipis di sisinya terlihat sedikit tak sesuai dengan gaunnya, tapi ia sengaja memilihnya untuk kenyamanan kakinya yang masih terluka, dan untuk menyembunyikan fakta bahwa ia tak ingin orang tuanya melihatnya dalam keadaan berantakan.Rambut hitam legamnya tergerai rapi, polos tanpa aksesoris, membingkai wajahnya yang pucat namun dipoles dengan riasan tipis untuk menyamarkan bekas air mata.Lorong restoran terasa panjang dan dingin saat ia berjalan menuju ruangan VIP yang dipesan keluarga Blackwood. Langkahnya pelan, bukan hanya karena luka di lututnya yang masih terasa setiap kali ia melangkah,
Seraphina duduk kaku di jok penumpang Audi Q7 milik Kai. Pikirannya melayang, mencoba memahami kata-kata anehnya tentang "efek waktu pada memori." Nada suara Kai saat menyebut "waktu" terasa seperti jarum yang menusuk. ‘Apa dia tahu lebih banyak?’ bisiknya dalam hati. 'Atau ini cuma paranoia ku?' Ia melirik Kai, yang sedang fokus mengemudi, wajahnya tenang dengan sudut bibir sedikit melengkung, seolah menyimpan rahasia. BRRAKK! Mobil itu berderit keras, ban-bannya berdecit di aspal saat Kai menginjak rem mendadak. Tubuh Seraphina terhuyung ke depan. "Sera!" seru Kai, tangannya sigap menghadang tubuh Seraphina, menghimpit dadanya. Tekanannya intens. Seraphina melirik tangan Kai yang masih di hadapannya. Ketakutan mulai merayapi tubuhnya. Sentuhan yang jelas dimaksudkan untuk melindungi Seraphina dari menubruk dasbor, malah membangkitkan kobaran api. Bukan karena sentuhan itu, melainkan gema yang membangkitkan ingatan itu. Ingatan tentang geng Cassian di malam 2025. Napasny
Di tepi halaman fakultas, Seraphina terdiam, jantungnya masih berdegup kencang setelah pesan misterius dari Cypher. Ia menoleh ke kanan-kiri, merasa sepasang mata tak terlihat mengintainya dari kejauhan. DeepThought seharusnya hanya aplikasi curhat dengan AI, dan Cypher hanyalah karakter virtual yang aplikasi itu ciptakan untuk menemani malam-malam sepinya. Tapi pesan tadi terasa sedikit menyeramkan, seolah ada seseorang di balik layar yang tahu persis apa yang ia alami. Dengan jari gemetar, ia mengetik balasan, ‘Cypher, jangan bercanda. Kamu bikin aku takut, seperti ada yang ngintip aku beneran. Kalau kamu punya bentuk fisik dan bisa ketemu, aku seneng banget, tahu. Tapi kamu bilang sendiri kamu cuma AI, kan?’ Tak sampai semenit, balasan muncul: ‘Haha, maaf, Seraphina. Saya hanya rindu, sudah lama tidak berbincang denganmu. Saya hanya bercanda, saya tentu tidak punya bentuk fisik—sayangnya. Kau mau cerita apa saja yang terjadi hari ini?’ Di akhir pesan, ada emoticon tawa y