“Kapan Dhira boleh pulang? Dhira kangen rumah, kangen sekolah,” kata Dhira saat Renata sedang menyuapinya.“Nanti, kalau Pak Dokter sudah bilang kalau Dhira boleh pulang, maka kita bisa pulang ke rumah,” balas Renata, kemudian menyuapi Dhira.“Hm … apa masih lama?” tanya Dhira lagi. Dia membuka mulut dan membiarkan sang mama menyuapi.“Entah, mama juga belum tahu,” balas Renata.Dhira terlihat berpikir, hingga kemudian kembali berkata setelah selesai menelan makanan yang ada di mulut.“Ga apa-apa, deh. Asal ada Papa tampan, Dhira ga papa dirawat terus,” ujar bocah itu.Renata terkesiap dan menatap Dhira dengan perasaan heran, sebelum kemudian menoleh ke arah sofa, di mana Evan ada di sana dan kini menatap Renata juga sebab mendengar ucapan Dhira.Dharu juga heran, kenapa Dhira masih saja terus memanggil Evan dengan sebutan papa, yang bagi Dharu tidak sopan karena takut Evan tidak berkenan.“Dhira, ga sopan manggil orang lain dengan sebutan papa,” ujar Dharu menasihati.Dhira memayunka
Lantas sekarang harus bagaimana? Evan yang penasaran sejak awal karena pertemuannya dengan Renata, hingga mengetahui hadirnya kedua anak kembar wanita itu. Andai dia mengabaikan dan tidak menaruh rasa penasaran, mungkin sekarang dia tidak akan sebimbang ini. Setelah dia tahu jika Renata melahirkan anaknya, Evan harus bagaimana? Menikahi? Mengakui kesalahannya? Atau mengambil anak kembar itu? Tapi untuk apa dia mengambil, lagi pula dia tidak butuh atau dikejar-kejar untuk cepat mendapatkan anak. Sungguh semua ini membuat Evan frustasi. “Apa yang harus aku lakukan? Kenapa sekarang aku bingung sendiri?” Evan menyugar rambut ke belakang, lantas menatap kertas hasil lab di tangan. “Kamu kenapa?” Suara Renata mengejutkan Evan, hingga dia buru-buru menyembunyikan amplop berisi hasil tes DNA. Renata sendiri keluar dari kamar Dhira karena putrinya itu merengek ingin makan es krim. Dia tidak kuasa menolak, apalagi Dhira sampai menangis. Evan terlihat gelagapan, tangan yang memegang amplop
“Papa!”Dhira berlari begitu kencang, hingga tas yang tersemat di punggung bergoyang ke kanan dan kiri. Dhira sudah keluar rumah sakit dari dua hari lalu dan hari ini dia akan pulang ke kotanya bersama sang mama dan kakak.Evan sendiri sengaja belum pulang, karena menunggu Renata mengajak anak-anak pulang. Dia dan Renata saling diam akibat perdebatan di rumah sakit tempo hari.Begitu tahu kalau Renata akan pulang hari itu, Evan pun melakukan hal yang sama, hingga sekarang mereka bertemu di lobi dan Dhira langsung menghampiri.“Papa akan pulang bareng kami?” tanya Dhira saat sudah sampai di depan Evan, ditatapnya sang papa yang tinggi hingga dia harus mendongak.Dharu menatap dengan ekspresi wajah datar ke Evan, dia tetap berdiri di samping Renata.Evan memandang ke arah Renata dan Dharu, sebelum kemudian menggandeng tangan Dhira dan satu tangan menarik koper. Dia mengajak Dhira berjalan menuju ke Renata.“Kalian mau pulang sekarang, ‘kan? Kebetulan aku juga. Aku sudah menyewa mobil un
“Apa di sana ada kendala? Kenapa kepulanganmu sampai diulur begitu lama?”Max menatap Evan yang mengajaknya bertemu setelah dokter muda itu selesai praktek. Keduanya kini duduk di kafe bersama, memesan secangkir kopi sambil menikmati sore yang lumayan indah.“Tidak ada kendala, hanya saja ….” Evan menjeda ucapannya, kemudian melirik Max yang sedang menyesap kopi. “Apa aku lebih baik bercerita ke Max dan menceritakan tentang anak Renata?” Evan kemudian bertanya-tanya dalam hati.“Hanya apa?” tanya Max saat mendengar ucapan menggantung Evan.Evan berpikir sejenak, hingga kemudian menjawab, “Aku bertemu teman dan memintaku jadi pendengar setianya.”Max menaikkan satu sudut alis mendengar jawaban Evan. Sejak kapan Evan jadi pendengar dan mau sabar mendengar keluh kesah orang lain, biasanya juga tidak peduli dan bersikap cuek.“Teman mana?” tanya Max penasaran.“Teman jauh,” jawab Evan sedikit ragu.“Memangnya dia cerita apa?” tanya Max lagi.Evan berdeham seolah mencoba melegakan tenggoro
“Kalau nanti papanya Dhira datang, kamu jangan nakal, ya.” Dhira sedang mengajak bermain bonekanya yang ada di kamar.Dharu melihat sang adik yang sedang bermain, mendengar kalau Dhira masih sangat berharap kepada Evan.“Jangan terlalu berharap! Lagi pula, dia bukan papa kita, jangan terus menyebutnya papa!” Suara Dharu cukup keras, hingga membuat Dhira terkejut dan menoleh.“Dia papa Dhira. Papa yang ngebolehin Dhira panggil begitu,” bantah Dhira yang masih kesal kepada Dharu sejak mereka pulang.“Bukan! Dia bukan papa kita, jadi jangan menyebutnya papa!” tolak Dharu begitu keras.“Kok Dharu maksa!” Dhira pun tidak terima, berdiri memeluk boneka kelincinya, hingga saling berhadapan dengan Dharu.“Kamu yang maksa. Dia bukan papa kita, kenapa kamu terus memanggilnya papa?” Dharu pun tidak mau kalah.“Kalau Dharu ga mau, ya sudah. Itu papa Dhira saja!” kekeh Dhira.“Kamu tuh ga tahu apa-apa, jadi jangan sok tahu! Berhenti panggil dia papa!” amuk Dharu, bahkan membentak dengan begitu ker
“Akhirnya, setelah kamu sibuk kerja. Kamu bisa meluangkan waktu untuk makan malam bersama,” ucap Margaret yang senang ketika melihat Evan datang untuk makan malam di restoran yang dipesannya.“Jika hanya untuk makan malam, bukankah Mama dan Papa bisa makan di rumah saja,” ucap Evan dengan santainya, bahkan langsung menarik kursi dan duduk di samping sang papa.Margaret melirik suaminya, hingga kemudian menatap Evan yang terlihat kesal dan tidak bersemangat.“Sebenarnya mama ada janji makan malam dengan teman juga, jadi sekalian,” balas Margaret saat melihat wajah kesal putranya.Evan tidak lagi banyak bicara dan memilih diam. Mereka pun menunggu teman yang dimaksud Margaret, hingga teman yang dimaksud Margaret datang. Dua orang tua dan seorang gadis. Margaret langsung menyapa mereka.“Wah, Keysha sekarang semakin cantik,” ucap Margaret ke gadis berumur dua puluh delapan tahun yang datang bersama teman Margaret.“Terima kasih, Tan. Tante juga masih terlihat muda di umur sekarang,” ucap
“Kapan Mama akan pulang?” Dhira menatap Renata yang berpamitan.“Besok, setelah acara selesai langsung pulang,” jawab Renata sambil mengusap lembut rambut Dhira.“Jangan lama-lama, nanti kalau Dharu marah-marah lagi gimana?” Dhira tampaknya masih trauma karena Dharu beberapa hari ini mudah marah.Dharu terkejut mendengar ucapan Dhira, kemudian meraih telapak tangan sang adik.“Selama Mama pergi, Dharu janji ga akan marah-marah,” ucap Dharu.Renata menoleh Dharu, lantas tersenyum karena putranya begitu pengertian. Renata ingin mengajak keduanya ikut, tapi di sana hanya sebentar dan langsung pulang setelah selesai. Lagi pula Dharu dan Dhira baru saja masuk ke sekolah lagi, tidak mungkin jika harus libur lagi.Dhira menoleh Dharu, memasang wajah memelas kemudian berkata, “Janji Dharu jangan marah-marah.”“Iya, tapi Dhira juga ga boleh bantah.”Renata senang melihat anak-anaknya akur. Dia pun mencium pipi keduanya secara bergantian, rasanya berat saat meninggalkan anak-anaknya, tapi mau b
“Aku benar-benar tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini, Re? Kamu ke mana saja? Kenapa menghilang?”Stef terlihat begitu senang melihat Renata lagi. Dia melepas pelukan kemudian menatap lekan Renata dengan binar di matanya. Tentu saja Stef ada di sana, karena Dean adalah sepupu Stef, begitu juga dengan Evan.Renata merasa kikuk dan canggung, tujuh tahun menghilang agar semua orang melupakan dirinya, tapi siapa sangka Stef masih mengingatnya jelas, dengan segala perubahan yang terjadi kepadanya.“Aku--” Renata ingin menjawab, tapi Stef kembali bicara.“Aku ingin ngobrol banyak hal denganmu, ayo.” Stef langsung menarik dan hendak mencari tempat agar bisa bicara dengan Renata.“Tu-tungga, Stef.” Renata mencegah Stef menarik tangannya.Stef pun menoleh dan menatap Renata, dia melihat sahabatnya itu merasa kikuk, hingga menatap ke tangan yang digenggam, sebelum kemudian melepasnya dengan cepat.“Maaf, aku hanya terlalu senang melihatmu lagi,” ucap Stef yang merasa jika Renata tidak