Beranda / Fantasi / Awas Kesetrum! / 1. Daftar terlambat

Share

Awas Kesetrum!
Awas Kesetrum!
Penulis: Rempeyek garing

1. Daftar terlambat

last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 12:33:23

"Zhiyaaa! Cepat-cepat laa daftar! Jangan bikin Bapakmu ini pensiun sebagai bocah gagal total loh!" serunya sambil mengayun-ayunkan kakinya yang kecil. Suaranya ringan, nyaris seperti anak TK yang sedang cerewet minta jajan, tapi tiap katanya menyimpan tekanan dan ancaman terselubung.

Bocah laki-laki berusia tujuh tahun yang duduk di atas pagar beton depan warung sebelah rumah kontrakan mereka itu, dengan rambut klimis belah pinggir dan tangan memeluk buku tebal bertuliskan “Dasar-Dasar Formasi Energi Langit” adalah Li Xiaohan, sosok kecil yang secara lahiriah tampak seperti adik laki-laki Zhiya. Tapi di balik wajahnya yang imut, tersimpan jiwa seorang petarung legendaris: Rong Weihan, mantan anggota 10 terkuat di dunia, sekaligus ayah kandung Zhiya.

Zhiya memutar bola matanya, 'Aduh … mulai lagi nih opera sabun jalanan ....'

“Aku bilang betul-betul ini ya,” lanjut Xiaohan, suaranya naik satu oktaf. “Kalau kamu nggak daftar hari ini juga, besok aku suruh burung kertas petir terbang ke kantor pendaftaran! Satu kali sentuh—piakkk! langsung botak tuh mbak resepsionis, baru tahu rasa!”

Zhiya mendengus pelan. “Udah tutup kemarin, Ayah.”

“Justru itu yang bikin keren meh! Masuknya telat, tapi pake surat rahasia gitu, kaya di film-film. Kau liat la, anak-anak lain masuk kayak sayur rebus, kamu ini ... pewaris petir, masuk gaya boss! Aiyaa~ mantap kan?”

“Jadi, maksud Ayah aku harus bikin drama biar heboh, gitu?”

“Betul! Biar semua langsung bisik-bisik. ‘Siapa dia?’ ‘Cantik-cantik misteri~’ Wah, langsung trending nomor satu di kantin.

Zhiya menyipitkan mata. “Ayah terlalu banyak nonton sinetron.”

“Eh jangan hina cita rasa seni loh! Lagian kamu kalau nggak daftar sekarang juga, aku kirim serangga petir. Kecil, lucu, tapi gatal-gatal loh! Dia nyanyi dangdut remix 24 jam nonstop, kamu bisa gila meh~”

Zhiya terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Baiklah!"

“Yahh, itu anakku! Jangan kaya colokan longgar laa. Hidup harus kayak listrik tinggi—cetarrr! bikin orang lain panas dingin!”

Sebenarnya, balik segala ocehan dan ancaman absurdnya, Li Xiaohan menyimpan satu rencana gila yang tak pernah ia akui: menjodohkan Zhiya diam-diam. Akademi Superhuman Indo dipilih bukan semata karena reputasinya, melainkan karena putra dari pendirinya, anak muda jenius yang konon tak pernah tertarik pada siapa pun, juga belajar di sana. 'Siapa tahu petir menyambar cinta, kan?' batin Xiaohan sambil menggambar skema jodoh di belakang buku formasi energi. Bagi Xiaohan, menyatukan dua garis keturunan kuat bukan hanya soal strategi ... tapi juga bonus cucu-cucu yang Over Power di masa depan.

Zhiya membenamkan wajahnya ke dalam jaket lusuhnya. Tapi tak ada pilihan. Kalau ia menolak, Xiaohan benar-benar bisa mengirim serangga petir mini yang suka nyanyi dangdut remix dalam kepala.

Dengan langkah malas, ia menyeberang ke arah akademi.

***

Hari itu, langit Jakarta sedikit mendung. Angin berhembus pelan menyapu halaman depan Akademi Superhuman Indo, lembaga paling bergengsi di negara ini untuk melatih manusia-manusia berkekuatan khusus. Bangunan tinggi bercorak modern berdiri megah dengan lambang petir dan perisai menyala di atas gerbangnya. Suasana di dalam akademi cukup sepi. Penerimaan siswa baru telah ditutup sehari sebelumnya.

Namun, seorang gadis tiba-tiba melangkah masuk melewati gerbang utama. Sepasang sepatu kanvas lusuh membungkam langkahnya, menyapu jalanan marmer putih akademi yang mengilap. Ia mengenakan jaket abu-abu tipis yang tampak sudah usang, celana jins longgar, dan ransel kecil tergantung di punggung. Penampilannya tak mencolok. Tapi ada satu hal yang tak bisa disembunyikan, wajahnya.

Wajah itu cantik secara alami, tanpa riasan, tanpa usaha. Rambut hitamnya terurai lepas, matanya tajam namun teduh, bibir tipisnya sedikit mengerucut, dan kulit putih langsatnya membuatnya menonjol di antara gedung beton dan patung besi di sekitarnya. Meski langkahnya terlihat malas, tiap geraknya tampak tenang dan percaya diri.

Hal ini karena ocehan sang ayah yang terus terngiang-ngiang di telinganya.

Beberapa siswa laki-laki yang sedang berada di taman langsung menoleh. Salah satu dari mereka berbisik pelan sambil menyikut temannya, “Eh … liat deh. Siapa tuh? Cantik banget.”

Yang lain ikut melirik dan menimpali, “Itu ... bukan anak baru ya? Tapi penerimaan udah ditutup, kan?”

Seorang perempuan dari kelompok siswa yang duduk di bawah pohon menyipitkan mata, lalu tertawa sinis, “Pasti titipan orang dalam. Gaya cupu gitu, tapi berani datang telat? Yakin gak punya backing?”

Di ruang penerimaan, seorang petugas administrasi yang nyaris menyelesaikan pekerjaannya mendongak dengan dahi berkerut. Gadis itu pun menyodorkan map kecil dan berkata pelan, “Saya ... ingin mendaftar.” Dia adalah Li Zhiya, putri dari mantan anggota 10 terkuat di dunia.

“Maaf, Dik. Pendaftaran sudah ditutup kemarin,” ucap petugas ramah itu.

“Coba buka amplop ini,” sahut Zhiya, lalu menyodorkan sebuah surat dengan segel perak di bagian depan. Petugas itu membuka suratnya, dan wajahnya seketika berubah serius. Ia berdiri, lalu mengangguk cepat. “Tolong tunggu sebentar.”

Beberapa menit kemudian, pintu kaca di belakang meja terbuka. Seorang pria paruh baya berkemeja biru dan jas akademi muncul. Direktur akademi sendiri. Tatapannya tajam saat ia mengamati Zhiya, namun hanya berkata, “Ikuti saya.”

Gadis itu mengikuti sang direktur menyusuri lorong panjang akademi. Dindingnya berhiaskan foto-foto siswa berprestasi, dan layar-layar kecil yang menampilkan aksi pertarungan superhuman di masa lalu. Bau antiseptik dan logam memenuhi udara, khas tempat pelatihan kekuatan ekstrem.

Li Zhiya duduk diam di dalam ruangan besar berisi meja kayu besar dan layar hologram yang menampilkan data siswa. Ia mengamati ruang itu dengan tenang, tak menunjukkan kecemasan sedikit pun. Direktur membuka kembali surat rahasia yang barusan ia terima. Lambang petir yang terukir di kertas bukan simbol sembarang

"Rong Weihan!"

Nama itu adalah legenda, seorang pengendali petir yang dijuluki Lei Shou Wang, Raja Pemburu Petir. 

Zhiya memalingkan wajah, berpura-pura tidak peduli. Tapi saat surat itu dibuka, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu apa yang tertulis di sana, dan siapa yang menuliskannya.

Sang direktur membalik surat itu. Di balik kalimat-kalimat pendeknya, tertulis satu pesan penting: “Izinkan putriku masuk. Ia tidak butuh perlakuan istimewa. Biarkan kekuatannya berkembang dengan tekanan. Aku percaya padamu, Teman.”

Direktur menarik napas panjang. “Baiklah, Li Zhiya. Kau diterima.”

"Terima kasih!" Gadis itu menunduk dalam, lalu keluar dari ruangan kepala akademi dengan langkah ringan, nyaris tanpa suara. Surat penerimaan sementara terselip rapi di saku jaket lusuhnya. Rasa lega tak benar-benar muncul, tapi ada satu beban kecil yang lepas dari pundaknya.

Lorong akademi itu sepi dan berkilau. Di kejauhan, suara langkah sepatu pantul dari lantai marmer. Sunyi. Terlalu bersih. Terlalu steril. Ini dunia yang akan ia masuki. Dunia yang sangat berbeda dari lorong sempit rumah kontrakan dan warung depan tempat Xiaohan sering duduk menulis skema jodoh konyolnya.

Zhiya menarik napas pendek, mencoba menenangkan gelombang kecil dalam dadanya, tapi sebelum sempat benar-benar tenang—

Bruk!

Tubuhnya menabrak seseorang, dan ia mundur setengah langkah. Lawan tabraknya tetap berdiri tegak seperti tiang listrik berfondasi baja.

Seorang pemuda berdiri di hadapannya. Tingginya jauh di atas rata-rata, dengan postur tegap dan dada bidang. Seragam akademi-nya rapi sempurna, disetrika hingga kaku. Rambut hitamnya disisir ke belakang, dan matanya... tajam. Tatapan yang bukan sekadar menatap, tapi menilai, menganalisis, dan menghakimi.

Zhiya langsung tidak suka.

"Pendatang baru?" tanyanya, suaranya datar namun tatapannya tajam seperti sedang menilai barang dagangan.

"Ya. Kenapa?" balas Zhiya.

Pemuda itu melipat tangan di dada. "Penerimaan sudah ditutup. Tapi ya ... selalu ada yang bisa masuk lewat pintu belakang."

Zhiya mengangkat alis. “Aku memang pakai jalur khusus.”

Seringai tipis terukir di wajah pemuda itu, tapi tidak ramah. "Jalur khusus, ya? Semoga bukan cuma karena kau punya wajah cantik dan surat sakti dari orang dalam. Akademi ini bukan panggung audisi selebgram."

Zhiya diam. Tapi dalam diamnya, hawa listrik halus mulai merambat di ujung jarinya, sangat tipis, tak kasat mata. Ia menahan diri. Belum waktunya.

“Nama?” tanya pemuda itu lagi, kini nadanya seperti seorang penjaga gerbang.

Zhiya mendongak, menatapnya dari bawah dengan pandangan tajam. Ia sudah cukup sabar. Matanya menyipit, dan ujung bibirnya menegang.

“Cari tau aja sendiri!” semburnya, nada suaranya datar namun mengandung sengatan kesal yang tajam. Ia tidak meninggikan suara, tapi tekanan emosinya terasa jelas.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Awas Kesetrum!   10. Perjodohan

    Ruang Kantor Direktur ASN — Lantai Tertinggi Akademi Superhuman Indo.Cahaya matahari sore menyelinap dari balik jendela kaca tinggi, memantul pada meja kayu jati yang mengkilap. Ruangan itu luas, tenang, dan... menekan. Dindingnya dipenuhi rak buku strategi, arsip misi, dan layar holografik yang terus menampilkan grafik energi para murid.Dharma Wiratmaja berdiri membelakangi jendela, tangannya menyilang, menatap kota yang mulai diliputi awan jingga. Ketika suara ketukan halus terdengar dari pintu.“Masuk,” ucapnya.Pintu terbuka perlahan. Seorang anak laki-laki mungil, rapi dengan kemeja putih dan celana pendek abu-abu, melangkah masuk dengan langkah teratur. Mata tajamnya menatap Dharma tanpa gentar, berlawanan dengan tubuh kecilnya yang tampak terlalu ringan untuk membawa aura sedingin itu.“Direktur Dharma,” ucapnya sopan.Dharma memutar tubuh. “Li Xiaohan...”“Perkenalkan kembali,” ucap bocah itu sambil sedikit membungkuk. “Saya datang membawa pesan dari ayah saya — Rong Weihan.”

  • Awas Kesetrum!   9. Kejutan untuk Sekar

    Sementara itu, Sekar duduk canggung di ruang kelas A, dikelilingi murid-murid elite yang rambutnya saja kelihatan lebih mahal dari hidupnya."Nama kamu siapa?" tanya Valerie, setengah senyum. "Sekar ya? Kamu... kok bisa masuk Kelas A?"Sekar mengangkat tangan ragu. "Aku juga nggak tahu... tadi pagi kayaknya aku cuma nendang alat pengukur dan... eh, kebetulan langsung nyala 99."Semua menoleh.Valerie tersenyum manis. "Kebetulan yang sangat... luar biasa ya."Reinaldo — entah sejak kapan dia muncul — sudah berdiri di jendela kelas A, teriak dari luar. "KARENA DIA IMUT, BEGO!"Sekar menutup wajah dengan buku. Hari pertamanya... resmi absurd.Beberapa jam setelah sesi penempatan, suasana di ruang Kelas A terasa seperti lounge hotel bintang lima. AC-nya adem, karpetnya tebal, bahkan colokan di dindingnya punya lampu indikator LED biru elegan.Sekar duduk di pojok, berusaha mengecilkan eksistensinya di antara siswa-siswa dengan aura "Saya sudah ikut pelatihan sejak dalam kandungan." Ia bar

  • Awas Kesetrum!   8. Kelas D

    Setelah pembacaan daftar penempatan selesai, siswa-siswa baru mulai bergerak menuju kelas masing-masing. Kelas A diantar langsung ke gedung pelatihan utama yang megah, ruangannya full AC, lantainya bersih kinclong, bahkan langit-langitnya punya efek holografik langit biru. Mereka disambut dengan senyum para instruktur terbaik, lengkap dengan kopi gratis dan roti sobek hangat di meja registrasi.Sementara itu, Kelas D?Zhiya berdiri mematung di sisi lapangan, sendirian. Seorang petugas keamanan — bukan instruktur — datang menghampirinya dengan ekspresi datar. "Kelas D? Ikuti saya."Ia dibawa keluar dari jalur umum, menuruni lorong sempit yang bahkan tidak memiliki lampu otomatis. Lantai berdebu, lampu berkedip, dan aroma... sangat tidak akademik. Di ujung lorong, ada pintu besi tua dengan tulisan pudar: Unit Observasi Khusus – Akses Terbatas.Pintu itu terbuka dengan derit menyeramkan, seperti dari film horor berbiaya rendah. Di dalamnya hanya ada satu ruangan latihan sempit beralaskan

  • Awas Kesetrum!   7. Penempatan

    Nathan tetap menatap Zhiya yang baru saja turun dari panggung. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi. Valerie di sisinya menunggu respons—seperti biasanya—tapi kali ini, yang keluar dari bibir Nathan membuatnya mengerutkan alis.“Aku tidak tertarik,” ujar Nathan datar, akhirnya membuka mulut. Kemudian menjauh dari Valerie.Langit mendung menggantung rendah saat sesi penempatan kelas diumumkan.Di tengah lapangan, instruktur berdiri tegap sambil memegang tablet berisi hasil evaluasi seluruh siswa baru. Suara pengeras menggema, memanggil nama demi nama dan menempatkan mereka ke dalam kelas berdasarkan tingkat kekuatan yang terdeteksi."Kelas A — Valerie Anastasya, Sekar Kinanti, Reinaldo Pranata (khusus perpanjangan mentor), Nathaniel Wiratmaja."Satu per satu tepuk tangan terdengar, beberapa siswa berdecak kagum — terutama saat nama Nathan disebut. Tapi pemuda itu hanya berdiri diam dengan wajah kaku seperti biasa. Valerie melambaikan tangan dengan elegan. Reinaldo melempar cium ke udara. S

  • Awas Kesetrum!   6. Anak titipan

    Hari berikutnya.Zhiya berdiri mematung di tengah lapangan latihan, diapit puluhan pasang mata yang memandang dengan berbagai reaksi: penasaran, sinis, dan geli. Di atas panggung instruktur, sebuah alat pengukur energi menyala redup di belakangnya. Bola lampu bulat yang tergantung di udara hanya berkedip kecil, lalu padam.Kilatan listrik dari telapak tangan Zhiya barusan hanya cukup membuat bohlam itu bergetar. Tidak menyala. Tidak cukup kuat untuk mencatat angka pada layar.“Li Zhiya, nilai: nol koma nol satu,” ucap instruktur dengan suara monoton. “Kategori: Minor. Stabilitas: lemah.”Terdengar gumaman dari barisan siswa. Di barisan depan, tiga siswi mengenakan jaket khusus akademi yang hanya dimiliki kelas elit saling menahan tawa. Yang paling mencolok, si rambut aksesoris dari insiden kamar kemarin, berbisik dengan suara cukup keras untuk didengar.“Wih, Putri Colokan turun tahta nih,” katanya sambil terkikik. “Geli banget liat nyetrumnya. Kayak digigit semut.”“Lebih kayak ... di

  • Awas Kesetrum!   5. Sesi pengenalan

    Suara bel panjang menggema dari corong pengeras suara di tiap sudut bangunan. Pintu-pintu kamar mulai terbuka, langkah kaki terdengar berlarian ke arah aula utama di lantai bawah.“Perhatian, seluruh siswa baru harap berkumpul di Lapangan Utama dalam lima menit. Sesi pengenalan siswa akan segera dimulai.”Sekar buru-buru menyematkan kancing terakhirnya dan mengambil sepatu. Wajahnya masih terlihat gugup, tapi senyum kecil muncul di bibirnya saat menoleh ke Zhiya. “Terima kasih bajunya. Aku janji bakal cuci bersih-bersih nanti.”Zhiya hanya mengangguk, lalu mengikat rambutnya seadanya dan berjalan keluar kamar tanpa berkata apa-apa.Beberapa menit kemudian, mereka sudah berdiri di tengah kerumunan siswa baru di lapangan utama. Di depan mereka, panggung semi-permanen berdiri megah dengan latar bertuliskan:“Selamat Datang, Angkatan Baru Akademi Superhuman Indo.”Sorot lampu panggung mulai menyala. Seorang instruktur naik ke atas panggung, diikuti oleh para murid unggulan dari angkatan at

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status