Tiga hari setelah resepsi pernikahan, aku dan Mas Angga berencana menempati rumahku. Itu kami lakukan agar lebih dekat saat nanti pergi ke ruko. Meski masih terhitung bulan madu, tapi toko tak boleh diabaikan.
Jangan pikirkan apa yang kami lakukan beberapa hari ini. Selain memadu kasih, kami juga berandai-andai tentang masa depan. Menimbang baik buruk setiap rencana.Matahari belum terlalu tinggi saat kami berpamitan pada bapak dan ibu. Sebenarnya mereka meminta tinggal lebih lama, tapi karena urusan pekerjaan, kami tak menyanggupi.“Nak Angga, Ibu titip Elin ya. Dia itu masih kekanak-kanakan. Jadi kamu mesti sabar,” pesan ibu saat kami berpamitan.“Iya, Bu!” Suamiku mengangguk sembari tersenyum tenang.“Kalau sedang ada masalah, selesaikan dengan kepala dingin. Jika Elin sedang marah, kamu harus menenangkannya. Begitu juga sebaliknya.” Bapak ikut memberi wejangan pada kami. Meski dia berbicara sambil tersenyum, tapiPOV. REYHANAku tersentak kaget saat tiba-tiba Pak Agus-orang tua dari Elin memintaku menjadi menantunya. Jujur, aku memang masih menyimpan rasa untuk Elin. Hati ini berbunga-bunga karena pada akhirnya mimpiku selama ini akan terwujud. Meski saat ini Elin menyandang status janda cerai, itu tak masalah bagiku. Sebab cintaku tulus padanya. Beberapa kali aku datang menemui Elin, tapi perempuan itu tetap tak mau menemuiku. Usut punya usut, ternyata dia menolak perjodohan ini. Untuk kedua kalinya harapan membina rumah tangga dengan Elin harus pupus. Sebagai pencinta sejati, Aku tetap berusaha membantu Elin mengejar cintanya. Meski hatiku perih, kucoba untuk abai. Aku sempat merasa ada harapan saat mengetahui Elin tak mendapat restu calon mertuanya. Sayangnya harapan itu tak bertahan lama karena Angga bertekad menikahinya meski tanpa restu orang tua.Pada akhirnya Elin akan menikah dengan Angga-lelaki yang mampu mendapa
Aku tersenyum bahagia saat melihat dua buah garis merah tertera pada benda pipih yang baru saja kugunakan. Setengah berlari aku menghampiri suamiku yang sedang asyik menikmati kopi di teras. “Ada apa, Dek! Kok lari-lari begitu?” Mas Angga menatap heran ke arahku. “Aku punya kabar gembira buat kamu, Mas!” ucapku dengan tangan di belakang untuk menyembunyikan testpack yang baru saja kugunakan. “Kabar apa?” Mas Angga terlihat bingung, tapi dia tetap tersenyum. “Tara....” Dengan wajah berseri, aku menunjukkan benda pipih di genggamanku. Tanpa menunggu lama, suamiku langsung menyambar lalu mengamati testpack di tangannya. Sebuah senyum merekah sempurna di wajah laki-laki yang dua bulan lalu resmi menjadi suamiku. “Kamu hamil, Dek!” teriak Mas Angga girang. Sebuah binar kebahagiaan terpancar jelas dari mata suamiku. Kami memang sudah menantikan hal ini. Aku hanya mengangguk tanpa berucap.
Cerita ini akan di tulis dari sudut pandang berbeda, di mana Rere akan menjadi pemeran utama. Bayi tetangga mirip suamiku sesi 2“Mau pergi lagi, Mas?” Aku mendesah kecewa melihat suamiku menyambar kunci mobil. Belum genap satu jam ada di rumah, Mas Reyhan sudah mau pergi lagi. Akhir-akhir ini dia selalu begitu, pulang kerja, mandi, makan lalu pergi lagi. “Iya, kasihan Elin enggak ada yang menemani. Dia lagi butuh support,” sahutnya sambil terus berjalan. Aku mengikuti di belakang menahan kesal, merasa tak lagi diperhatikan. “Aku juga butuh teman, Mas! Enggak cuma Elin!” Aku mengelus perut buncit ini, berusaha menguatkan hati. Mas Reyhan menghentikan langkahnya saat sampai di teras. Dia membalikkan tubuh berhadapan denganku. “Aku tahu, tapi Elin lebih butuh teman. Kamu tahu sendiri keadaannya kan!” Kuhela nafas dalam-dalam untuk menghilangkan sesak yang mulai menyeruak.
Lamat-lamat kudengar bunyi pintu yang digedor berkali-kali seiring suara Mas Reyhan memanggil namaku. Aku membuka mata mencoba mengumpulkan kesadaran yang sempat bubar di alam mimpi. Kulirik jam beker di meja sebelahku, waktu telah menunjuk pukul 12 lewat sedikit.“Ah! Selalu saja pulang larut,” gerutuku. Setengah terpaksa aku bangkit menuju sumber gaduh di depan. Mas Reyhan berdiri dengan wajah kesal setelah aku membuka pintu. “Nyenyak banget tidurnya,” Sindir Mas Reyhan. “Maaf, Mas! Mungkin bawaan si jabang bayi, “ jawabku.Dia tak menyahut lalu melangkah ke dalam tanpa peduli denganku. Aku mengunci pintu kembali kemudian menyusulnya ke kamar. Kulihat suamiku langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Aku pun turut berbaring di sebelahnya. “Mas!” Aku memiringkan tubuh menghadap suamiku, tapi agak kesusahan. Perut yang sudah besarlah penyebabnya
Aku masih berada di teras saat sang mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Duduk, mondar-mandir lalu duduk kembali. Sudah puluhan kali aku menghubungi Mas Reyhan, tapi tetap juga tak diangkat. Elin juga kuhubungi, tapi nomornya tidak aktif. Sejak siang tadi perutku rasanya sangat mules. Bayi dalam rahimku seperti meronta mengajak kontraksi. Aku cemas karena sampai saat ini Mas Reyhan belum juga mengangkat teleponnya. Bagaimana kalau nanti aku melahirkan? Siapa yang akan menemani? “Sudah hampir magrib, Re! Enggak baik perempuan masih ada di luar rumah apalagi sedang hamil kayak kamu.” Aku terkejut saat sebuah suara yang sangat kukenal tiba-tiba menyapaku. Refleks aku menoleh pada sumber suara tersebut. Benar saja. Bu Erna-tetangga sebelah rumah yang menyapaku. “Iya, Bu. Ini lagi menunggu Mas Reyhan pulang,” jawabku tergagap.Tadi pagi Mas Reyhan sudah pamit mau menemani Elin ke dokter, jadi aku cuma berharap semoga rencana mereka batal.“Di dalam saja menunggunya,” saran tetanggaku
Tak berselang lama, bapak dan ibu datang. Mereka langsung mendekat padaku yang masih terbaring lemah. “Maafkan kami datang terlambat ya, Nak!” ujar ibu merasa bersalah. “Enggak apa-apa kok, Bu!” aku membesarkan hati ibu. “Apa sudah ada yang adan untuk bayimu?” timpal bapak. “Sudah, Pak. Tadi anaknya Bu Erna yang adan,” jawabku jujur. Bapak menganggukkan kepala lalu keluar ruangan. Mungkin dia mau berterima kasih sama Bu Erna.“Selamat ya, Re! Bayinya cantik kayak kamu,” ucap Bu Erna yang baru saja masuk.“Iya, Bu.” Aku melempar senyum pada perempuan paruh baya yang sudah mengorbankan waktunya untukku, “ Terima kasih ya ibu sudah menolongku,” “Kamu itu sudah ibu anggap sebagai anak sendiri, jadi sudah seharusnya aku ada di sini,” jawabnya. Ya. Bu Erna memang sangat baik padaku. Dia sudah seperti orang tua kedua bagiku. Saking sayangnya aku sering dikasih sesuatu sama mereka.“Alhamdulillah, saya senang dengarnya, Saya juga berterima kasih karena ibu sudah sangat baik sama Rere,
“Buka pintunya, Dek! Kita bicara baik-baik!” Mas Reyhan berteriak sambil terus menggedor-gedor pintu. Namun, aku abai. Apanya yang mau dibicarakan?“Ayolah, Dek! Jangan seperti anak kecil. Buka pintunya. Aku juga ingin bertemu anak kita.” Lagi. Suamiku kembali berteriak memohon. Ah! Masa bodoh! Hati ini sudah terlanjur kecewa. “Oek... oek... oek...” Rupanya teriakan Mas Reyhan telah mengganggu tidur Hanin. Gegas aku menyeka air mata lalu bangkit dan menyusui anakku. “Tidur yang lelap ya, Nak! Jangan pedulikan suara ayahmu,” bisikku. Meski telah kususui, tapi Hanin tetap saja menangis. Akhirnya aku menimangnya berharap meredakan tangisnya. Akan tetapi tangisnya tak kunjung mereda. Huh! Teriakan Mas Reyhan mengganggu saja!“Buka pintunya, Re! Biar ibu yang menimang. Siapa tahu mau diam.” Teriak ibu dari balik pintu. Entah sejak kapan dia datang. Jika ibu yang meminta rasanya aku sulit menolak. Toh, suara Mas Reyhan sudah tak terdengar lagi. Gegas aku memutar anak kunci lalu membuk
Aku duduk melangut di teras rumah. Merutuki hidup yang mulai terasa berat. Kemarin Mas Reyhan benar-benar pergi menemani Elin padahal yang aku inginkan dia tetap tinggal. Apa dia tak peka dengan perasaanku?Ah! Aku tak boleh secengeng ini. Untuk apa memikirkan orang yang tak peduli denganku. Lebih baik aku mulai menyelidiki semuanya. Aku beranjak ke dalam lalu segera kembali setelah mengambil ponsel. Membukanya, mencari kontak dengan nama ‘Angga’ kemudian menghubungi suami Elin. “Halo, Re! Tumben menelepon, ada apa?” tanya suara dari seberang sana. “Em... enggak, Mas. Ingin tanya kabar saja,” sahutku kaku. Selama ini kami tak cukup dekat. Bicara juga hanya seperlunya saja. Itu kulakukan demi menjaga perasaan Elin. Namun, Elin justru tak menjaga perasaan ini. “Oh... aku baik, Re. Kamu sendiri bagaimana? Apa sudah lahiran?” tanyanya kemudian. “Alhamdulillah, Mas. Baru hari kemarin,” jawabku. “Selamat ya, Re. Maaf belum sempat ke situ. Besok kalau enggak sibuk aku bakal jenguk kep