Suasana hening, hanya suara detik jam dan desiran napas pelan yang mengisi ruangan.Nessa masih berada dalam pelukan Dawson, tubuhnya menegang meski perlahan mulai terbiasa dengan kehangatan yang menyelimuti punggungnya. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu tenang, stabil—tidak seperti miliknya yang kacau.Dengan suara pelan, Nessa berusaha tenang. “Apa kau datang untuk tidur di sebelahku?” katanya. Dawson tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Nessa yang separuh masih tertutup rambut, kemudian menyelipkan beberapa helai rambut itu ke belakang telinga gadis itu. Sentuhan itu pelan, tapi membuat tubuh Nessa seolah dialiri listrik halus.“Aku tidak datang hanya untuk tidur di sebelahmu,” ucap Dawson tenang.Nessa mengerutkan alis.“Aku kembali ... karena aku ingin melihatmu,” lanjutnya.Nessa tersenyum sinis. “Bicaramu bisa membuat orang salah paham.”Dawson mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Nessa. Matanya tidak lepas dari mata gadis itu. Tatapannya serius, tak
Tangannya gemetar saat menekan nama kontak yang disimpannya sebagai “Suamiku.” Nessa belum mengganti nama yang ditulis Dawson.Panggilan tersambung.“Dawson… tolong aku...” bisiknya, hampir menangis.Tapi yang menjawab bukan suara Dawson.“Halo?” suara wanita terdengar di seberang telepon.Nessa membeku.Suara itu sangat asing, tapi cukup untuk menusuk dadanya. Ia tidak menjawab. Dadanya sesak, napasnya terhenti.Sudah cukup lama Dawson tidak pulang. Sudah cukup lama ia tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu lakukan di luar sana.Dan kini, saat ia dalam bahaya, telepon Dawson dijawab oleh wanita lain. Kini ia menemukan jawabannya. Nessa tersenyum getir lalu mematikan sambungan teleponnya.“Dawson...” gumamnya sekali lagi, nyaris tanpa suara.Di saat ia masih terpaku, satu dari pria itu kembali menariknya. Kali ini lebih kasar. “Sudah cukup main ponselnya!”Nessa teranjat kaget dan langsung berteriak, mencoba melarikan diri, tapi salah satu dari mereka berhasil menangkapnya dan mend
Crack! Pranggg!Pecahan kaca berhamburan di lantai."Fiona, hentikan!" ucap pria paruh baya dengan nada tegas."Aku tidak akan menghentikan semua ini sampai Ayah menarik kembali apa yang Ayah katakan. Kau tahu, Ayah! Aku tidak suka dengan leluconmu ini!" teriak seorang gadis yang masih berusia 18 tahun. Dia terlihat sangat marah. Jelas saja, dia begitu marah ketika baru saja bangun tidur dari mimpi indahnya semalam. Namun, saat bangun, dia harus mengalami mimpi buruk.Masa depan yang Fiona bayangkan akan begitu indah setelah lulus sekolah ternyata sia-sia. Dia harus menikah dengan seorang pria yang terpaut umur jauh lebih tua darinya. Bahkan Fiona tidak mengenal pria itu."Ayah tidak bisa menarik apa yang Ayah katakan sebelumnya. Kamu memang telah resmi menikah dengan Tuan William Stefanus Thene. Ayah telah menikahkan kalian berdua semalam. Sekarang, kau pergilah ke rumahnya dan tinggal di sana menjadi istrinya," ucap Fawzi Sanjaya, ayah Fiona, dengan tegas.“Bagaimana bisa Ayah menik
Fiona yang sedang berada di lantai dua, tiba-tiba dikejutkan oleh suara seseorang yang ada di belakangnya."Apa kau sedang menyebar pesona?" kata William, membuat Fiona terkejut."Hah! Kau membuatku terkejut! Bagaimana jika aku terjatuh dari atas balkon ini?!" teriak Fiona dengan suara nyaring.Gadis itu benar-benar terkejut setengah mati karena dia sedang berusaha untuk meraih salah satu buah anggur yang menjalar di atas balkon. Tubuhnya tidak bisa menggapainya, sehingga Fiona mencoba naik ke atas kursi demi meraih buah anggur kesukaannya. Meskipun Fiona sudah memakan beberapa buah anggur itu langsung dari pohonnya, dia ingin meraih buah yang lebih tinggi dan lebih besar.William sama sekali tidak peduli dengan kata-kata Fiona. "Turun!" perintahnya, menyuruh Fiona untuk turun dari atas kursi.William, yang sebelumnya memperhatikan Fiona dari balik CCTV, sangat dikejutkan dengan tingkah istrinya yang seperti anak kecil. Meskipun William tahu bahwa istrinya masih sangat muda, ia khawat
"Hah! Tidak, aku tidak mau memandikanmu. Kamu bukan bayi, untuk apa aku memandikanmu? Kamu juga bukan mayat!" seru Fiona sambil langsung membekap mulutnya, memandang ke arah William yang memperlihatkan wajah tidak senang."Ups!"'Astaga, Fiona, kenapa kamu menyebutnya mayat? Lihatlah tatapannya seperti ingin menerkammu,' pikir Fiona dalam hatinya."Kamu bicara apa tadi? Kemari!" ujar William sambil menggerakkan tangannya, menyuruh Fiona mendekat."Euh… tidak ada, aku tidak bicara apapun! Jika kamu ingin mandi, aku akan memanggil salah satu pembantumu," Fiona hendak berjalan untuk memanggil pembantunya, tetapi William menghentikan langkah kakinya."Cepat kemari!" Suara William mulai terdengar marah."I'm sorry, baby! Perutku tidak dapat dikondisikan untuk saat ini, aku lapar dan harus segera pergi untuk makan," ucap Fiona berbohong, demi menghindari William, karena bagaimana mungkin dia memandikan pria itu.Fiona dibuat gelisah, dia sama sekali tidak menginginkan semua itu terjadi, aka
Fiona masih belum menyadari bahwa keenam pria itu sedang menyapanya karena dia tidak mengenal mereka.“Astaga… Siapa yang kalian sebut 'Nyonya muda'? Aku belum menikah, tidak pantas disebut seperti itu,” tanya Maya.“Aku juga belum,” ucap Adel.Mata keenam pria itu tertuju pada Fiona, yang menatap balik dengan tatapan tajam. Sekarang Fiona menyadari bahwa kedatangan mereka adalah untuk menjemputnya.“Sepertinya kalian keliru, seharusnya memanggilku 'Nona muda', paham?” Fiona ingin memastikan kedua temannya tidak salah paham, sehingga dia segera memperbaiki perkataan keenam anak buah William yang sengaja diperintahkan untuk menjemput Fiona saat jam istirahat. “Maaf, Nona muda. Tuan-” belum selesai salah satu dari mereka berbicara, Fiona segera menghentikan perkataannya.“Stop! Kalian tak perlu mengucapkan apapun lagi, pergilah! Aku akan menyusul kalian nanti,” Fiona menyuruh mereka untuk pergi.“Aku harus pergi, kita akan melanjutkan cerita nanti!” tanpa menunggu jawaban dari Maya dan
Sintia yang dipanggil Adel dengan sebutan Sitong segera menggelengkan kepalanya. Dia ingin mengelak membela dirinya tetapi tatapan Maya membuat Sintia kembali menundukkan kepalanya.Maya adalah orang yang sengaja menggunakan kakinya saat Sintia akan melewati bangku Fiona agar Sintia menumpahkan minuman tersebut ke baju Fiona."Adel, apa aku tadi tidak salah dengar, kamu menyebut namanya Sitong? Astaga, nama macam apa itu! Haha..." ejek Fiona sambil tertawa.Maya ikut tertawa puas mendengar perkataan Fiona, tanpa rasa bersalah sedikitpun."Kamu tidak salah dengar, Fiona," jawab Adel.Mereka bertiga menertawakannya, di saat Sintia memilih untuk pergi dari hadapan ketiga orang itu, Fiona memegangi tangannya."Mau kemana kamu, Sitong? Enak aja, mau pergi tanpa bertanggung jawab! Lihat ini, baju seragamku kotor dan baju ini dibuat khusus dari Italia," Fiona berbicara dengan nada suara yang terdengar bangga dan angkuh."Maaf! Aku akan membersihkan seragammu, apa kamu membawa baju seragam la
Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya."Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya."Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.Fiona terdia
Tangannya gemetar saat menekan nama kontak yang disimpannya sebagai “Suamiku.” Nessa belum mengganti nama yang ditulis Dawson.Panggilan tersambung.“Dawson… tolong aku...” bisiknya, hampir menangis.Tapi yang menjawab bukan suara Dawson.“Halo?” suara wanita terdengar di seberang telepon.Nessa membeku.Suara itu sangat asing, tapi cukup untuk menusuk dadanya. Ia tidak menjawab. Dadanya sesak, napasnya terhenti.Sudah cukup lama Dawson tidak pulang. Sudah cukup lama ia tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu lakukan di luar sana.Dan kini, saat ia dalam bahaya, telepon Dawson dijawab oleh wanita lain. Kini ia menemukan jawabannya. Nessa tersenyum getir lalu mematikan sambungan teleponnya.“Dawson...” gumamnya sekali lagi, nyaris tanpa suara.Di saat ia masih terpaku, satu dari pria itu kembali menariknya. Kali ini lebih kasar. “Sudah cukup main ponselnya!”Nessa teranjat kaget dan langsung berteriak, mencoba melarikan diri, tapi salah satu dari mereka berhasil menangkapnya dan mend
Suasana hening, hanya suara detik jam dan desiran napas pelan yang mengisi ruangan.Nessa masih berada dalam pelukan Dawson, tubuhnya menegang meski perlahan mulai terbiasa dengan kehangatan yang menyelimuti punggungnya. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu tenang, stabil—tidak seperti miliknya yang kacau.Dengan suara pelan, Nessa berusaha tenang. “Apa kau datang untuk tidur di sebelahku?” katanya. Dawson tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Nessa yang separuh masih tertutup rambut, kemudian menyelipkan beberapa helai rambut itu ke belakang telinga gadis itu. Sentuhan itu pelan, tapi membuat tubuh Nessa seolah dialiri listrik halus.“Aku tidak datang hanya untuk tidur di sebelahmu,” ucap Dawson tenang.Nessa mengerutkan alis.“Aku kembali ... karena aku ingin melihatmu,” lanjutnya.Nessa tersenyum sinis. “Bicaramu bisa membuat orang salah paham.”Dawson mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Nessa. Matanya tidak lepas dari mata gadis itu. Tatapannya serius, tak
Tak lama kemudian. Suara kecil terdengar dari mikrofon di telinga masing-masing.“Mobil boks target terlihat. Melewati jalur yang kita rencanakan,” lapor Max dengan nada cepat namun tenang.Dawson mengangguk meski tak terlihat. “Jaga posisi. Tunggu aba-aba.”Mobil boks berwarna abu-abu itu melaju pelan di jalanan rusak, tak menyadari bahwa di sekelilingnya, empat pria bersenjata lengkap tengah menunggu saat yang tepat.“Target dalam jangkauan,” gumam Ethan dari atap.“Siap di belakang,” ucap David pelan.Dawson menempelkan punggungnya pada dinding dan mengatur napas. Wajahnya datar, tapi matanya penuh fokus. Ia menatap bayangan kendaraan itu yang perlahan semakin dekat.“Tiga detik lagi,” bisik Max.“Dua…”“Satu.”Dan misi rahasia pun dimulai.Dawson dan David berhasil membuat ban mobil boks itu kempes. Ketika dua pria dari dalam kendaraan turun untuk memeriksa, keduanya langsung bergerak.Dawson menangkup mulut pria pertama dan menghantamkan sikunya ke leher. Dugg! Tubuh pria itu
Keduanya terdiam sejenak. Hanya suara napas Dawson yang berat dan aroma wine samar yang memenuhi ruang di antara mereka.Nessa ingin segera bangkit, tapi tangan Dawson kini melingkar di punggungnya, menahannya agar tidak pergi. Wajahnya nyaris bersentuhan dengan wajah Dawson. Mata pria itu terpejam, tapi bibirnya bergerak pelan, menggumamkan kata-kata yang membuat Nessa terdiam.“Jangan pergi…”Nessa menahan napasnya.Dia tahu Dawson mabuk. Tapi suara itu terdengar begitu tulus.Tangannya yang hendak mendorong dada Dawson perlahan melemah. Ia hanya bisa menatap wajahnya yang terlihat tenang. Begitu berbeda dari sosok Dawson yang biasanya dingin dan mengintimidasi.Nessa menggeleng kecil, lalu menepuk pipi Dawson pelan. “Kau mabuk, Dawson. Lepaskan.”Pria itu menggumam tak jelas, tapi pelukannya melemah. Dalam hitungan detik, ia tertidur lebih dalam, napasnya mulai stabil.Dengan hati-hati, Nessa melepaskan diri dari pelukannya dan bangkit dari sofa. Ia menarik napas panjang, menatap p
Nessa terlonjak kaget dengan kedatangan Dawson tiba-tiba berdiri di sampingnya, tubuhnya reflek mundur. Tumit heels-nya terpeleset sedikit, membuat keseimbangannya goyah. Tas kecilnya jatuh ke lantai, mengeluarkan bunyi nyaring.Belum sempat Nessa terjatuh, Dawson sudah maju dan merangkul pinggangnya untuk mencegahnya jatuh membuat mata mereka saling bertatapan untuk sejenak.“Kenapa mengejutkanku begitu?!” seru Nessa sambil mendorong dada Dawson dengan kesal, membuat pelukannya lepas.Dawson tetap tenang, tapi matanya turun naik menelusuri penampilan Nessa. Dress hitam yang membentuk lekuk tubuhnya. “Dari mana saja kau?” tanyanya sekali lagi.Nessa memutar bola matanya, malas menjawab. Ia membungkuk untuk mengambil tasnya, lalu berdiri dan hendak membuka pintu kamar.Namun sebelum tangannya menyentuh gagang, Dawson bergerak cepat dan menyudutkannya ke dinding di sebelah pintu. Tubuhnya menekan Nessa, menahan ruang gerak gadis itu. Tangan Dawson bertumpu di sisi samping tubuh Nessa,
Di sisi kiri area taman kampus, tiga mahasiswi berdiri memperhatikan Nessa. Tatapan mereka tajam, menilai dengan sinis. Salah satunya bahkan melipat tangan di dada sambil menyipitkan mata.Nessa melihat mereka. Tapi seperti biasa, dia tidak peduli. Dia hanya berjalan melewati mereka dengan kepala tegak.Sampai satu kalimat bernada racun terdengar jelas di telinganya.“Dari mana lagi kalau bukan hasil jual diri?”Langkah Nessa berhenti. Ia berbalik perlahan dan menatap ketiganya dengan tatapan tajam.Mulutnya sudah hampir terbuka, ingin membalas perkataannya. Namun, suara orang yang memanggilnya membuat Nessa mengurungkan niatnya.“Nessa!"Suaranya nyaring, seorang gadis berambut panjang bergelombang menghampiri Nessa sambil melambaikan tangan.Wajahnya terlihat manis, dia adalah Evelyn—sahabatnya sejak semester pertama kuliah. Nessa segera menoleh dan menyambut Evelyn dengan senyum. Evelyn meraih tangannya dan menariknya menjauh dari tiga gadis tadi tanpa menoleh sekalipun.“Jangan
Air menyambutnya dingin, tapi ia tidak peduli. Matanya menyorot ke dasar kolam, tapi sebelum ia bisa meraih tubuh Nessa. Tawa gadis itu pecah di dekatnya.Nessa muncul ke permukaan, tertawa terbahak-bahak. “HAH! Kena kau!”Dawson terengah, dan menyadari Nessa berenang ke sisinya sambil terkekeh. “Kolamnya dangkal, bodoh! Lihat, aku bisa berdiri!”Wajah Dawson menyatu antara lega, marah, dan malu.“Kau pura-pura tenggelam?” suaranya datar, nyaris tak percaya.“Lihat siapa yang panik!” Nessa masih tertawa, lalu menyiramkan air ke wajah Dawson.Dawson menyeka air dari wajahnya dan menatap Nessa dengan tajam. “Kau pikir ini lucu?”“Lucu sekali,” jawab Nessa santai, menjauh darinya.Dawson menyusul. “Kau pikir kau bisa main-main denganku?”“Aku cuma membalas ciuman tadi,” sahutnya, senyum lebar di wajah Nessa.Tanpa peringatan, Dawson menarik tangannya. Nessa hampir jatuh lagi, tapi Dawson menahannya. Kini mereka kembali dekat, napasnya bersinggungan.“Kau suka bermain-main ternyata, baga
Pada sore hari, Nessa baru saja pulang dari kampus. Sudah beberapa hari ia tidak mengikuti mata kuliah, membuat beberapa tugasnya tertinggal. Biasanya ia tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu, tapi kali ini Nessa tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Ia ingin fokus belajar kembali. Ia tidak ingin uang pamannya yang telah membiayai sekolahnya terbuang sia-sia.Sejak kemarin, ia sudah diperbolehkan kembali ke rumahnya setelah Nick memberitahunya bahwa Dawson mengizinkannya pulang. Meski begitu, ia belum juga bertemu dengan pria itu—bahkan hingga sekarang."Ahh!" Nessa berteriak kaget ketika mendapati seseorang sedang duduk santai di dalam kamarnya, membaca buku diary miliknya."Kau?! Kenapa kau ada di sini!" tanyanya panik sambil berjalan cepat mendekat dan menyambar buku dari tangan Dawson.Dawson hanya mendengus kecil. Dengan cepat, ia menarik pergelangan tangan Nessa hingga gadis itu terduduk di atas pangkuannya."Hei! Lepaskan! Apa yang kau lakukan di sini?" serunya, mencoba me
Dawson semakin mendekat, Nessa menjerit kecil lalu berlari tergesa ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu. Jantungnya masih berpacu cepat. Ia menyandarkan tubuhnya di balik pintu kayu, mencoba menenangkan diri dari rasa takut dan marah yang bercampur aduk.Di luar, Dawson hanya tersenyum tipis. Dia membiarkan gadis itu bersembunyi dan kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang. Pundaknya terasa berat setelah semalaman membereskan beberapa masalah. Tak butuh waktu lama akhirnya ia kembali tertidur, napasnya perlahan menjadi teratur.Waktu berlalu. Nessa baru keluar dari kamar mandi setelah merasa aman. Ia berjalan pelan, lalu berhenti di sisi ranjang saat melihat Dawson tertidur dengan pulas, memperhatikan pria itu yang tidur tanpa beban seolah dunia ini hanya miliknya seorang.‘Tampan, tetapi menjengkelkan,’ pikir Nessa dalam hati.Dengan pelan, ia melangkah ke arah pintu dan mencoba membukanya—namun pintu itu terkunci. Nessa mengerutkan kening. Ia memutar kenopnya beberapa kali, tapi t