Ruangan itu tak besar, bahkan lebih mirip aula sewaan untuk seminar kecil daripada acara formal. Tapi malam itu, lampu-lampu gantung berjajar rapi di langit-langit, tirai hitam dipasang untuk menutupi tembok usang, dan di sudut ruangan, sebuah layar proyektor menampilkan logo startup dengan huruf kapital berwarna biru muda: VIVARA.
“Visi Baru untuk Era Baru.” Begitu tagline yang tertulis di bawahnya.
Galan berdiri di atas panggung kecil berkarpet tipis. Ia mengenakan kemeja putih yang baru saja disetrika Nayla tadi siang, dipadukan dengan jas hitam bekas pinjaman temannya. Tangannya sedikit bergetar saat memegang mikrofon, tapi wajahnya memancarkan semangat dan keberanian.
“Selamat malam, semuanya,” ucapnya membuka pidato. “Saya Galan Mahesa, founder dari Vivara Tech. Startup ini belum punya kantor, belum punya tim besar, dan modal kami pun masih terbatas. Tapi kami punya satu hal: keyakinan.”
Beberapa kepala di antara audiens mulai menoleh. Di deretan kursi baris ketiga dari depan, seorang wanita muda duduk anggun meski kursinya berderit setiap kali ia sedikit bergerak. Gaun sederhana berwarna biru tua yang ia kenakan sudah mulai pudar warnanya, hasil diskon toko daring dua bulan lalu. Tapi ia duduk dengan kepala tegak, senyum merekah, dan mata yang berbinar penuh kebanggaan.
Itulah Nayla.
Sejak Galan mengajaknya pindah ke kosan sempit itu, sejak pagi-pagi mereka makan mie instan dan sore bekerja di bawah terik matahari, malam ini adalah titik terang yang sangat ditunggu. Momen ketika semua perjuangan terasa punya tujuan.
“Vivara bukan hanya tentang teknologi,” lanjut Galan, suaranya mantap. “Ini tentang membantu UMKM naik kelas. Tentang memberi ruang bagi bisnis kecil yang selama ini tertinggal oleh era digital. Kami ingin membangun sistem distribusi yang efisien, transparan, dan mudah diakses. Dan semua ini… semua ini tidak akan pernah ada kalau bukan karena satu wanita di hidup saya.”
Galan berhenti sejenak. Matanya menyapu penonton, lalu tertuju pada Nayla.
“Dialah Nayla. Wanita yang percaya pada saya saat dunia belum melihat apa-apa dari saya. Yang rela meninggalkan segala kenyamanannya demi satu hal: keyakinan bahwa saya bisa jadi seseorang. Tanpa dia, saya bukan siapa-siapa.”
Tepuk tangan menggema di ruangan. Beberapa peserta yang sebelumnya terlihat acuh kini ikut bertepuk tangan, beberapa bahkan menoleh untuk melihat Nayla, yang kini tertunduk malu, matanya berkaca-kaca.
Di saat itulah, untuk pertama kalinya sejak mereka memulai segalanya dari nol, Nayla merasa dihargai. Bukan karena kekayaan, bukan karena status sosialnya sebagai putri keluarga Hartono, tapi sebagai dirinya sendiri. Sebagai wanita yang memilih bertahan, bahkan ketika logika berkata sebaliknya.
**
Setelah acara usai, beberapa orang menghampiri Galan untuk berbincang dan bertukar kartu nama. Nayla berdiri di belakang, memberi ruang. Ia tahu ini malam penting bagi Galan. Ia ingin Galan bersinar.
Beberapa wanita muda dengan penampilan profesional dan dandanan rapi ikut mendekat. Mereka tertawa pada lelucon Galan, mengangguk setiap kali ia menjelaskan konsep Vivara, dan bahkan menawarkan kolaborasi. Nayla memperhatikan dari kejauhan, menatap Galan yang kini mulai tampak berbeda—lebih percaya diri, lebih luwes, dan lebih... berjarak.
“Galan, pitch kamu tadi keren banget,” ujar seorang wanita yang mengenalkan diri sebagai Clara, manager pemasaran dari perusahaan venture capital.
“Terima kasih. Saya hanya mencoba jujur,” jawab Galan, tersenyum.
“Kamu punya potensi besar. Dan jujur aja, karismamu itu... bikin orang mudah percaya.”
Galan tertawa. “Semoga itu cukup untuk dapat pendanaan.”
Clara menoleh ke arah Nayla. “Itu pasanganmu?”
Galan menoleh sekilas. “Iya. Nayla, tunangan saya.”
Clara mengangguk sopan, lalu melanjutkan obrolannya dengan Galan.
Nayla mencoba tak terlalu memikirkan nada suara Galan yang terasa... datar. Tapi hatinya mulai digelitik perasaan tak nyaman yang tak bisa ia jelaskan.
**
Dalam perjalanan pulang, mereka naik ojek online berboncengan. Hujan rintik-rintik turun, mengaburkan kaca helm yang dipakai Nayla. Galan duduk di depan, diam sepanjang jalan. Saat sampai di kos, mereka langsung masuk ke kamar.
Galan melepas jasnya, menaruhnya di gantungan paku tembok. Nayla menggantung gaunnya di sisi ranjang, lalu duduk sambil membuka sepatunya.
“Kamu hebat tadi malam,” kata Nayla akhirnya.
Galan mengangguk. “Thanks.”
“Banyak yang tertarik, ya?”
“Lumayan. Clara bilang dia mau bahas kemungkinan pitching formal minggu depan.”
“Clara yang rambut pendek itu?”
“Iya. Dia kerja di perusahaan VC gede.”
Nayla diam sejenak. Ia menunduk, lalu bertanya dengan suara pelan. “Kamu bangga padaku?”
Galan menoleh, bingung. “Maksud kamu?”
“Tadi waktu kamu nyebut nama aku di depan semua orang... itu bikin aku bahagia banget. Tapi waktu kamu kenalin aku ke Clara, nadanya beda. Kayak... aku cuma tambahan. Bukan bagian dari kamu.”
Galan mengerutkan kening. “Nay, kamu terlalu sensitif. Aku cuma jaga kesan profesional. Kamu tahu, dunia bisnis itu tricky. Kalau aku kelihatan terlalu personal, bisa-bisa mereka pikir aku nggak fokus.”
Nayla mengangguk pelan. “Maaf kalau aku terlalu perasa.”
Galan mendekat, lalu duduk di sebelah Nayla. Ia memegang tangannya. “Kamu tahu aku sayang kamu, kan?”
Nayla mengangguk lagi. Tapi entah kenapa, malam itu, kalimat itu tak lagi terdengar sekuat dulu.
**
Hari-hari selanjutnya, Galan semakin sibuk. Pitching demi pitching, pertemuan dengan calon mitra, hingga makan malam bisnis yang seringkali Nayla tak diundang. Ia bilang, “Nay, kamu kan nggak nyaman di situ. Biar aku aja.”
Tapi Nayla tahu, itu bukan soal kenyamanan. Itu tentang image.
Namun meski hatinya mulai diselimuti kabut kekhawatiran, ia tetap berdiri. Tetap menyetrika baju Galan, tetap membuatkan sarapan seadanya, tetap memeluknya setiap malam. Karena ada satu hal yang terus jadi tumpuan hidup Nayla: janji Galan.
Janji bahwa mereka akan sukses bersama. Janji bahwa kalau usaha ini berhasil, mereka akan menikah, punya rumah sendiri, dan membalas semua yang dulu dilepas demi cinta.
Janji bahwa semua ini bukan pengorbanan sia-sia.
Ia menggantungkan hatinya pada janji itu. Sekuat dan setegar apa pun ia mencoba tak berharap terlalu tinggi, tetap saja, ia ingin percaya.
Bahwa lelaki itu tak akan berubah.
Bahwa dirinya tak akan dilupakan saat kesuksesan mulai mengetuk pintu.
Tapi ia belum tahu—bahwa kadang, cinta tak cukup untuk membuat seseorang tetap setia pada apa yang dulu ia perjuangkan.
Dan pujian manis di atas panggung malam itu, akan jadi satu-satunya penghargaan yang Nayla terima... sebelum semuanya berubah.
.
Jam di dinding berdetak lambat, seakan tahu bahwa malam ini Nayla tak ingin cepat berlalu. Angka digital merah di pojok ponselnya menunjukkan pukul 22.07. Suara mesin jahit manual yang ia gunakan sejak sore mulai melemah. Tangan kanannya terasa berat, jari-jarinya pegal karena menjahit puluhan badge seragam sekolah untuk anak-anak SD di lingkungan sekitar.Benang terakhir ia potong dengan gunting kecil, lalu disusun rapi seragam-seragam itu di atas kursi lipat. Satu pesanan lagi selesai. Satu langkah kecil untuk membayar tagihan listrik minggu depan.Nayla menghela napas panjang. Lehernya kaku, bahunya terasa seperti tertusuk jarum. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding lembab kamar kos berukuran 3x4 itu. Di pojok ruangan, galon air sudah lama kosong. Bahkan suara 'gluk-gluk' terakhir dari dispenser tadi siang masih membekas di kepalanya.“Besok pagi harus angkat galon baru...” gumamnya, matanya mengarah pada botol air minum yang tinggal seperempat.Di sudut ruangan yang lain, Galan
Matahari sudah turun ke balik awan kelabu ketika Nayla berdiri di halte. Udara sore itu padat oleh asap kendaraan dan debu jalanan, membuat napas terasa berat. Di kedua tangannya, ia menenteng dua kantong besar berisi baju pesanan pelanggan onlinenya—masing-masing dibungkus rapi dengan plastik, diberi label alamat tulisan tangan. Tangannya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena kelelahan.Baru satu jam lalu ia menyelesaikan les privat dengan seorang anak SD. Anak itu sedang persiapan lomba matematika dan Nayla sudah menjanjikan tambahan waktu belajar. Mata dan pikirannya nyaris kosong saat itu, tetapi senyum anak kecil itu menguatkannya.Sekarang, ia harus buru-buru kirim paket ke agen ekspedisi sebelum tutup. Kalau terlambat, rating tokonya bisa jatuh, dan ia tak punya waktu atau tenaga untuk menjelaskan ke semua pelanggan yang mungkin komplain.Di seberangnya, jalanan macet total. Klakson bersahut-sahutan. Bus mini yang ditunggunya belum juga datang. Ia mengusap peluh di dahi
Langit malam menumpahkan hujan seperti kemarahan yang sudah lama dipendam. Petir membelah langit, menyinari jalanan basah tempat Nayla berjalan terseok dengan dua tangan penuh. Tas jinjing di satu tangan berisi paket pesanan, dan tangan satunya menahan kotak makanan yang mulai hancur terendam air.Langkahnya terhuyung saat melewati genangan air. Sepatu kanvas murahan yang sudah usang mengeluarkan bunyi ceplak-ceplok, menandakan bahwa satu-satunya alas kaki itu mungkin tak akan bertahan seminggu lagi.Ia baru saja selesai mengantar paket COD ke seorang pelanggan yang menuduhnya lambat, padahal Nayla sudah menerobos tiga lampu merah dan menumpang ojek online demi sampai tepat waktu. Namun nyatanya, ia tetap dimarahi. Dituduh menipu. Dibentak seolah harga dirinya tak lebih mahal dari plastik pembungkus barang itu sendiri.Tapi Nayla hanya tersenyum, menunduk, lalu meminta maaf. Karena ia tahu, pelanggan puas berarti satu ulasan bintang lima. Dan ulasan itu, bisa jadi harapan untuk hari e
Pagi itu, matahari memancar hangat dari balik jendela kamar kos yang mulai lembap di beberapa sudut. Di dapur kecil, aroma tumisan sederhana menyebar. Nayla mengenakan daster lusuh bermotif bunga, rambutnya dikuncir asal. Di tangannya, sendok kayu bergerak pelan mengaduk telur orak-arik yang dicampur potongan tahu.Meja makan diisi dua piring nasi dan dua cangkir teh manis hangat. Ia mengecek jam dinding—07.18.“Galan belum bangun,” gumamnya pelan. Lalu, seperti biasa, ia membangunkan lelaki itu dengan lembut.Setelah sarapan, Galan berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja biru langit yang sudah Nayla setrika malam sebelumnya. Ia tampak bersemangat pagi ini—senyum merekah, matanya berbinar.“Aku mau ke coworking space hari ini. Ada acara pitching kecil-kecilan. Kayaknya bakal ketemu orang-orang penting juga,” katanya sambil menyemprotkan parfum.Nayla mengangguk. “Kamu bawa proposalnya?”“Udah. Semua udah siap. Oh iya,” Galan berbalik cepat, “kemarin aku ketemu sama partner bis
Hujan turun perlahan di luar jendela. Tetesannya menari di atas atap seng, menciptakan irama yang dulu bisa membuat Nayla tertidur pulas. Tapi malam ini berbeda. Hujan bukan lagi lagu nina bobo, melainkan denting-denting kesepian yang memantul di dinding hatinya.Di atas ranjang tipis itu, Nayla duduk bersandar pada dinding yang dingin. Tubuhnya lelah luar biasa. Tulang punggungnya nyeri karena duduk terlalu lama menjahit seragam pesanan pelanggan. Tangan kanannya masih terasa panas akibat setrika rusak yang menyemburkan uap tak teratur. Dan di matanya, kelelahan itu tak hanya berasal dari tubuh—tapi dari hati yang mulai retak, perlahan.Ponselnya tergeletak di samping dompet tipis berisi uang kertas lima puluh ribu yang terlipat rapi. Uang itu adalah sisa dari pengiriman paket tadi sore. Nayla ingat betul ekspresi remeh dari ibu-ibu pelanggan yang berkata, “Masa ongkir segini mahal banget, padahal bajunya biasa aja.” Nayla hanya tersenyum, menunduk, dan mengangguk seperti biasa.Lalu
Malam telah larut. Lampu redup menyala di ruang kerja sempit di sudut kamar kos mereka. Di antara tumpukan kertas, sketsa-sketsa desain produk digital berserakan. Gambar-gambar prototipe sederhana, alur kerja aplikasi, dan beberapa catatan strategi pemasaran ditulis tangan dengan pulpen hitam yang tintanya mulai habis.Nayla duduk bersila di lantai, tubuhnya menyandar pada dinding yang dingin. Rambutnya diikat sembarangan, matanya sembab dan lelah. Tapi tangannya masih bergerak—menghapus, menggambar ulang, mencoret, mencatat.Sudah tiga malam berturut-turut ia begadang, bukan untuk pekerjaannya sendiri, tapi untuk merapikan konsep yang dilempar Galan tanpa bentuk. Ide itu masih mentah—“aplikasi layanan berbasis komunitas”, katanya. Tapi tanpa detail, tanpa arah. Hanya semangat kosong yang mengandalkan energi dari kopi dan ambisi.Nayla mencoba menyusunnya ulang. Ia belajar dari forum, membaca artikel bisnis, bahkan menonton video tutorial dari internet yang kadang tersendat karena kuo
Langit pagi itu mendung. Jakarta seperti malas bangun, dan matahari enggan menampakkan diri. Tapi di kamar kos kecil yang pengap itu, Nayla sudah sibuk sejak subuh.Tangannya lincah menyetrika kemeja putih milik Galan—kemeja terbaik yang mereka punya, yang hanya dipakai kalau ada acara penting. Ia menyisir rapi lipatan lengan, lalu menyiapkan dasi hitam dan sepatu yang semalam ia bersihkan sendiri. Meski usang, Nayla ingin semuanya tampak terbaik. Hari ini penting bagi Galan. Hari ini, ia akan presentasi di inkubator bisnis kampus ternama—tempat yang bisa membuka jalan ke pendanaan besar.Di sisi lain kamar, Galan berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan satu tangan sambil melihat ke layar ponsel.“Kamu udah siapin slide-nya?” tanyanya tanpa menoleh.“Udah. Aku juga masukin semua analisis pasar dan peta kompetitor ke bagian akhir. Kalau ditanya soal revenue stream, kamu tinggal buka slide ke-17.”Galan mengangguk pelan. “Good. Nggak nyangka bisa lengkap juga, ya.”Nayla ter
Malam itu hujan rintik-rintik. Di kamar sempit yang lampunya mulai berkedip karena kabel usang, Nayla dan Galan duduk bersila di atas lantai beralas tikar tipis. Di depan mereka dua bungkus mie instan tersaji dalam mangkuk plastik, masih mengepul hangat. Aroma gurih sederhana mengisi ruangan, menumpuk bersama rasa lelah dan rasa lega.Galan membuka berita di ponselnya—sebuah media kampus menulis singkat soal proyeknya yang mendapatkan investasi awal dari alumni sukses.“Tuh, lihat,” katanya sambil tersenyum lebar. “Gue masuk media, Nay. Katanya ini bukti langkah awal startup yang bisa tembus pasar nasional.”Nayla ikut tersenyum, meski matanya sembab karena terlalu lama menatap layar laptop semalam—mengutak-atik prototype versi alpha dari aplikasi yang Galan bawa ke investor. Ia tahu betul, di balik angka-angka yang Galan sebut, di balik desain antarmuka yang katanya ‘inovatif’, ada dirinya. Ada tangannya. Ada pikirannya.“Aku bangga,” katanya pelan. “Kamu layak dapet itu.”Galan meny
"Mungkin kita berdua," jawabnya akhirnya. "Mungkin kita berdua sama-sama membiarkan jarak itu tumbuh."Nayla menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak, Galan. Aku mencoba. Aku berusaha menjaga komunikasi kita, mengajakmu bicara, bertanya tentang harimu. Tapi kau selalu menjawab dengan singkat, selalu terburu-buru, selalu ada meeting berikutnya atau email yang harus dibalas."Galan menatap Nayla, ada rasa bersalah yang kini terpancar jelas di matanya. "Aku tidak menyadarinya," ucapnya pelan. "Aku pikir... aku pikir kau mengerti kesibukan pekerjaanku.""Aku mengerti, Galan. Tapi mengerti tidak berarti aku harus menerima diabaikan, ditinggalkan, dan digantikan pelan-pelan dalam hatimu."Kata-kata Nayla menggantung di udara, berat dan menusuk. Galan terlihat kehabisan kata-kata, seperti seseorang yang akhirnya menyadari kesalahan fatal yang telah ia lakukan, namun terlalu terlambat untuk diperbaiki."Apakah..." Galan memulai dengan ragu, "apakah artinya
Pagi itu, Nayla berdiri di depan cermin kamar tamu. Matanya sembab, lingkaran hitam menghiasi bagian bawah kelopaknya yang bengkak. Rambutnya acak-acakan karena tak tidur semalaman. Tangannya menyentuh permukaan cermin, seolah ingin memastikan bahwa bayangan yang terpantul adalah benar dirinya."Siapa kau?" bisiknya pada refleksi yang menatap balik dengan sorot terluka.Suara air mengalir dari kamar mandi utama terdengar samar. Galan sudah bangun, bersiap-siap untuk berangkat kerja seperti pagi-pagi biasanya—seolah semalam tak pernah terjadi apa-apa, seolah topeng mereka tak pernah terlepas.Nayla menarik napas dalam-dalam. Aroma kopi menguar dari dapur, mengisi apartemen dengan kehangatan yang ironis. Galan selalu menyeduh kopi untuk mereka berdua setiap pagi—salah satu kebiasaan yang masih bertahan dari masa-masa awal pernikahan mereka. Namun pagi ini, rutinitas itu terasa hambar, seperti sebuah gerak refleks belaka, bukan lagi ungkapan kasih.
"Ya," akhirnya ia mengakui. "Dengan Alya. Tapi itu murni profesional, Nayla.""Profesional?" Nayla tersenyum pahit. "Apakah 'aku juga senang bisa ngobrol sama kamu' termasuk percakapan profesional, Galan?"Galan mengacak rambutnya, kebiasaan lama saat ia merasa terdesak. "Kau mengambil kalimat itu dari konteksnya.""Kalau begitu jelaskan konteksnya padaku," tantang Nayla. "Jelaskan mengapa kau berbicara dengan nada seperti itu kepada CMO perusahaanmu di tengah malam. Jelaskan mengapa kau tertawa seperti itu—tawa yang sudah lama tidak kudengar di rumah ini."Galan tidak menjawab. Keheningan yang menyakitkan kembali menyelimuti mereka, hanya diinterupsi oleh suara hujan yang semakin deras di luar."Tidak bisa menjawab?" tanya Nayla akhirnya, suaranya bergetar. "Atau tidak mau jujur?""Apa yang ingin kau dengar dariku, Nayla?" tanya Galan, nada frustasi jelas terdengar dalam suaranya. "Kau sudah memutuskan apa yang kau percayai.""Aku ingin mend
Malam itu hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen. Nayla duduk sendirian di sofa ruang tengah, menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang lelah. Sudah hampir tengah malam, dan Galan belum juga pulang—tak ada kabar, tak ada pesan, seolah ia telah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya.Suara pintu terbuka membuat Nayla menoleh. Galan masuk dengan jas tersampir di lengan dan dasi yang sudah dilonggarkan. Wajahnya terlihat lelah, namun ada sesuatu yang berbeda dari sinarnya—sebuah keceriaan yang tak cocok dengan seseorang yang baru saja menghadiri meeting bisnis hingga larut malam."Oh, kau masih bangun," kata Galan, sedikit terkejut melihat Nayla."Deadline," jawab Nayla singkat, kembali menatap layar laptopnya. "Meeting sampai selarut ini?"Galan meletakkan tasnya di meja. "Ya, lalu kami melanjutkan diskusi di restoran. Kau tahu bagaimana orang-orang Singapura—mereka ingin membicarakan
"Kau selalu bilang begitu," bantah Nayla. "Setelah pendanaan awal, kau bilang semuanya akan lebih baik. Setelah ekspansi pertama, kau bilang hal yang sama. Sekarang pendanaan seri B. Nanti apa lagi? IPO? Akuisisi?"Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa saat. Di luar, senja mulai berganti malam, menyapu ruangan dengan bayangan panjang yang semakin gelap."Aku harus bersiap-siap," kata Galan akhirnya, memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Meeting malam ini penting.""Tentu saja," balas Nayla, mengalah seperti biasa. "Semua meetingmu penting."Galan menatapnya sejenak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mereka untuk berganti pakaian.Nayla tetap berdiri di dapur, menyandarkan tubuhnya pada konter. Matanya menatap punggung Galan yang menjauh, mengamati caranya berjalan yang kini lebih tegap dan percaya diri—sangat berbeda dari langkah sedikit canggung yang dulu i
Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui jendela apartemen, menciptakan pola keemasan di lantai kayu ruang tamu. Nayla membaca buku di sofa saat mendengar suara lift terbuka di lorong, diikuti langkah kaki yang sudah terlalu familiar baginya—langkah kaki Galan yang ringan namun tegas, ritme yang selalu bisa ia kenali bahkan dengan mata tertutup.Pintu terbuka dan Galan masuk, mengenakan setelan biru tua yang rapi dengan kemeja putih tanpa dasi. Rambutnya tertata sempurna, tidak berantakan seperti dulu saat ia masih menghabiskan malam-malam untuk mengerjakan kode di apartemen sempit mereka."Hai," sapa Nayla, menurunkan bukunya dan menatap Galan dengan senyum tipis."Hai," balas Galan singkat, meletakkan tasnya di meja dan melonggarkan kancing teratas kemejanya. "Sudah makan?""Belum. Aku menunggumu. Kupikir kita bisa makan bersama malam ini."Galan melirik jam dinding. "Maaf, aku sudah ada janji makan malam dengan tim marketing dari Singapura j
Nayla melangkah pelan ke ruang tengah, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek yang dulu selalu dikomentari Galan sebagai "outfit paling seksi" karena kesederhanaannya. Lampu ruangan sudah diatur redup—kebiasaan malam mereka sejak dulu. Galan duduk di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan acara bisnis yang biasanya tak pernah ia tonton."Mau kopi?" tanya Nayla, suaranya lembut memecah keheningan.Galan menoleh sekilas. "Boleh."Nayla mengangguk dan bergerak ke dapur. Tangannya dengan cekatan menyiapkan dua cangkir kopi—satu hitam tanpa gula untuk Galan, satu dengan sedikit susu dan satu sendok gula untuk dirinya sendiri. Rutinitas yang sudah ratusan kali ia lakukan, hingga tangannya bisa bergerak otomatis tanpa perlu berpikir.Ia masih ingat bagaimana dulu mereka sering berbagi cangkir yang sama, Galan akan menyesap dari sisi yang sama dengan bekas lipstik Nayla, mengatakan itu cara tidak langsung untuk menciumnya. Kenangan kecil yang dulu terasa remeh, ki
Nayla melipat serbet makan di hadapannya dengan gerakan yang terlalu hati-hati—sekali, dua kali, tiga kali—sebelum meletakkannya kembali di samping piring yang masih terisi penuh. Makanan yang ia siapkan sudah mulai mendingin, saus kari yang menggenang di atas nasi tampak mengeras di tepiannya. Jam dinding menunjukkan pukul 21:37, dan lilin kecil di tengah meja makan itu sudah meleleh separuh jalan.Ini malam ketiga. Malam ketiga Galan tak pulang untuk makan malam.Nayla meraih ponselnya, mengecek apakah ada pesan atau panggilan tak terjawab. Tidak ada. Seperti malam-malam sebelumnya. Ia mengetikkan pesan singkat:"Makanan sudah siap. Kamu pulang jam berapa?"Ia menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum menghela napas dan meletakkannya kembali di atas meja. Tanda centang biru muncul, menandakan pesan telah dibaca. Namun tidak ada balasan yang datang.Nayla bangkit dari kursinya, membawa piring berisi makanannya yang baru separuh dimakan ke dapur. Ia tidak lapar lagi. Bagaimana bis
Jam digital di sudut layar laptop Nayla menunjukkan pukul 02:37 dini hari. Apartemen kecilnya sunyi, hanya ditemani desisan samar pendingin udara dan ketukan jari lentiknya pada keyboard. Sudah lebih dari sepuluh jam ia berkutat dengan angka-angka dan proyeksi keuangan untuk proposal pendanaan seri B Kasara Tech. Matanya perih, punggungnya nyeri, tapi pekerjaannya hampir rampung."Tinggal sentuhan terakhir," gumamnya pada diri sendiri.Nayla menyesap kopi yang sudah mendingin—cangkir ketiganya malam ini. Ia menambahkan beberapa slide presentasi dengan visualisasi data yang menarik, memastikan setiap grafik dan tabel mudah dipahami namun tetap mengesankan. Ia tahu betul bagaimana memikat para investor dengan bahasa angka yang meyakinkan.Ironis, pikirnya. Namanya tidak lagi tercantum dalam struktur perusahaan, tapi tangannya masih mengerjakan bagian paling krusial dari proposal pendanaan yang bernilai miliaran rupiah ini. Sebuah proposal yang nanti akan dipresentasikan Galan dengan per