Jantung Kania serasa berhenti berdetak saat mendengar ucapan Devan. Rasa gugup segera melanda Kania, kenapa Devan bisa mengetahuinya?"Kenapa Mama selalu berbohong? Mama bilang Papa sudah meninggal, tapi ternyata Papa masih hidup.""Sayang, biar Mama jelaskan.""Devan tidak mau mendengar penjelasan Mama. Mama pembohong."Devan terlihat membuka pintu mobilnya lalu berlari meninggalkan Kania. Kania segera panik, ia ikut berlari menyusul Devan."Kamu mau kemana?""Devan mau ketemu Papa.""Papa? Papa yang mana? Kamu tidak punya Papa,""Tadi itu Papa Devan. Lebih baik Devan tinggal bersama Papa karena Mama selalu berbohong."Jantung Kania seolah diremat saat mendengar ucapan Devan saat ini. Hatinya terasa sangat sakit, bagaimana bisa puteranya berkata seperti itu? Kontrol diri Kania akhirnya terlepas, dengan nada yang tinggi ia mulai membentak Devan."DIA SUDAH MEMBUANG KITA! DIA SUDAH MEMBUANG KITA SEJAK KAMU ADA DI KANDUNGAN MAMA."Kania menghela nafasnya yang terasa sangat sesak kali ini
"Apa Mama harus melakukan ini? Sepertinya Sean benar-benar panik tadi,"Catherine bangkit dari ranjang rumah sakit dengan keningnya yang berkerut. Rupanya ia tidak benar-benar sakit seperti yang diucapkan Sheline di telepon. Demi mendapatkan maaf dari Sean, Catherine terpaksa berpura-pura bahwa ia masuk ke rumah sakit. Ia tidak bisa membiarkan Sean terus menjauh darinya dan semakin gencar mendekat kepada Kania. Apapun akan ia lakukan agar mereka tidak bersatu kembali, apapun."Mama harus melakukan ini demi hubungan kalian,"Sheline terlihat mengangkat alisnya tidak mengerti, "Apa maksud Mama?""Tempo hari saat kamu bertanya apa hubungan Sean dan juga Kania, ya kamu benar mereka memang pernah memiliki hubungan."Sheline seketika tersentak, ia melebarkan matanya, "Hubungan? Hubungan apa?""Dulu mereka adalah sepasang suami istri. Mantan istri Sean yang selalu Mama ceritakan, itu Kania. Kamu tahu kan? Mama tidak pernah menyukainya. Untuk itulah Mama menjebaknya waktu itu dan minta bantua
Secara refleks, Sean melepas pegangan tangannya bersama Sheline. Raut wajahnya seketika menjadi gelisah. Rencana pernikahan mereka dipercepat? Tapi bagaimana dengan rencananya untuk kembali membawa Devan ke rumah mereka? Bagaimana dengan Kania? Bagaimana dengan rencananya menyatukan keluarga kecil mereka kembali?"Apa itu tidak terlalu mendadak, Ma? Acara pertunangan tinggal dua bulan dari sekarang. Aku rasa banyak hal yang harus dipersiapkan lagi untuk menggelar acara pernikahan. Lagipula kita belum berdiskusi dengan orang tua Sheline soal ini, mereka pasti terkejut jika mendengar rencana kita yang tiba-tiba. Benar bukan Sheline?""Sebenarnya orang tuaku tidak masalah soal ini, Sean. Kami sudah membicarakannya."Sean melebarkan matanya mendengar ucapan Sheline, "Apa maksudmu? Kita bahkan belum membahas soal ini kepada orang tuamu,""Aku sudah memberitahu mereka tadi. Mama sudah meminta pendapatku sebelum kamu datang lalu aku menelepon Mereka untuk meminta pendapat. Awalnya aku kira M
Saat Kania hendak membuka pintu butiknya Leonard tiba-tiba muncul di hadapannya."Hei Kania, mau kemana?" Tanya Leonard yang melihat Kania terburu-buru."Ah, aku harus pulang, Devan sakit.""Devan sakit? Kalau begitu ayo, lebih baik aku yang mengantarkanmu, Kania."Tidak berpikir panjang lagi, Kania menganggukkan kepalanya lalu pergi ke mobil Leonard. Hanya dalam beberapa menit, Leon dan juga Kania tiba di rumah.Dengan panik, Kania bergegas masuk ke kamar Devan. Benar saja kata Bi Minah, Devan terbaring di atas ranjang dengan wajahnya yang memucat. Kania segera mengambil termometer lalu mengukur suhu tubuh Devan. Raut wajahnya semakin panik saat melihat angka disana menunjukkan 38° c, Devan demam tinggi."Sayang, minum obat dulu ya..."Kania mencoba memberikan obat pereda demam kepada Devan, namun Devan lagi-lagi menolak."Papa... Papa..."Hati Kania semakin terasa tercabik saat mendengar gumaman Devan saat ini. Bahkan disaat sakit seperti ini, Devan masih teringat kepada ayahnya. Me
Sean membeku di tempat saat mendengar ucapan yang baru saja ia dengar. Senyuman lebar yang ditunjukkan oleh Leonard membuat Sean merasa kalah. Sean mengalihkan tatapannya ke arah Kania berharap wanita itu menyangkal pembicaraan konyol pria di hadapannya kini, namun hingga beberapa menit Sean menunggu, kenyataannya tidak sesuai harapan. Kania hanya terdiam tanpa menyangkal apapun seolah memberitahukan bahwa kabar itu benar adanya."Ah, saya baru tahu bahwa Kania memiliki kekasih," balas Sean dengan canggung. Ia mengusap tengkuknya dengan gugup tidak percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Leonard benar adanya."Sudah berapa lama sebenarnya?" Lanjut Sean kembali mencoba mengorek informasi lebih lanjut.Leonard masih menampilkan senyumnya, "Ah, hubungan kami? Kira-kira satu tahun."Sean kembali terhenyak mendengar jawabannya, "Ah, satu tahun? Rupanya cukup lama. Saya kira Kania tidak bisa menjalin hubungan lagi dengan orang lain, rupanya saya salah.""Kenapa kita harus selalu terpaku pada
Seperti yang sudah ia katakan kemarin, Sean tiba di rumah Kania keesokan harinya. Ia memutar pandangannya ke seluruh area rumah lalu menghela nafas lega saat melihat tidak ada keberadaan Leonard di sana."Hari ini Leon tidak datang?""Tidak, dia memiliki urusan," balas Kania, "Devan ada di kamar, ayo.""PAPA! Papa datang?" seru Devan saat melihat kedatangannya ke area kamar. Sean segera bergegas menghampiri puteranya lalu memeluknya dengan erat.Berbeda dengan keadaan kemarin, keadaan Devan terlihat membaik. Sean tersenyum saat melihat wajah Devan tidak lagi memucat, bahkan Devan sudah terlihat lebih ceria."Bagaimana keadaan anak Papa?""Devan sudah baikkan, tidak lemas lagi, Pa."Sean mengacak rambut Devan dengan gemas, "Anak pintar, nanti jika kamu sudah sehat kita main bola bersama. Ah, Papa punya hadiah untuk kamu."Sean membuka bungkusan yang berada di tangannya lalu mengeluarkan barang yang ia bawa ke arah Devan. Sebuah mobil mainan yang dapat dimainkan oleh remot terlihat di s
Kania sudah hendak mendebat Devan kembali, namun urung saat tangan Sean menahannya. Sean mendekatkan wajahnya ke arah telinga membuat Kania seketika menghindar."Apa yang kau lakukan?" Tanya Kania terkejut.Sean menghela nafasnya, "Aku hanya ingin memberikan ide padamu, Devan tidak boleh mendengarkannya."Kania akhirnya menurut, ia mendekatkan wajahnya agar Sean dapat berbisik di telinganya."Kita turuti saja apa mau Devan, aku akan pulang saat dia tertidur. Bagaimana menurutmu?"Mendengar perkataan itu, Kania akhirnya mengangguk. Ia segera mendekat ke arah Devan yang masih merajuk lalu berkata, "Baiklah Papa boleh tidur di sini, tapi hanya untuk hari ini. Lain kali Devan tidak boleh seperti ini ya? Papa masih punya banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggal."Raut wajah Devan seketika berubah cerah saat mendengar ucapan Kania, "Benarkah? Papa boleh tidur di sini hari ini, Ma?""Ya benar, Papa boleh tidur di sini seperti yang Devan mau."Mendengar hal itu, Devan segera berlari lalu me
"Darimana saja kamu jam segini baru pulang?"Senyuman lebar Sean seketika terhapus saat mendengar teriakan Catherine di hadapannya. Ibunya terlihat menatapnya dengan tajam, memberikan tatapan curiga kepada Sean saat ia pulang di pagi hari."Dari kantor Ma, memangnya darimana lagi?" ucap Sean dengan lelah. Ia membuka dasi kemeja yang mencekiknya lalu bergerak ke arah kamar."Kamu kira Mama bodoh, Sean? Mama sudah tanya ke sekertaris kamu dan dia bilang kamu pulang lebih awal kemarin. Habis darimana kamu, jawab!"Sean menghela nafasnya dengan lelah. Suasana hatinya yang tengah bagus seketika rusak saat mendengar keluhan ibunya yang menyusulnya ke area kamar. Padahal ia merasa sangat bahagia karena bisa menghabiskan waktunya bersama Devan, tapi Catherine malah memarahinya saat ia baru saja menginjakkan kaki di rumah ini. Tidak bisakah ia mendapat sedikit saja privasi? Kenapa Catherine selalu ikut campur dalam kehidupan pribadinya?"Ma, Sean sudah dewasa. Haruskah Sean memberitahu kemana