Share

Bab 3

Author: Capoeng Biru
last update Last Updated: 2025-09-30 23:51:52

​“Aki… Ayahanda…” Suara Hana tercekat di tenggorokannya, bagai sebuah gelembung kaca yang kian membesar, yang tak sanggup ia pecahkan. Kata-kata itu lebih merupakan hembusan napas yang menyakitkan untuk dikeluarkan dengan susah payah daripada sebuah panggilan kepada mendiang Ayahnya.

​Akira, pria yang menghabiskan hidupnya di laboratorium yang tenang, di antara angka-angka dan data ilmiah, kini bergerak secepat yang ia bisa, jauh melampaui kecepatannya saat mengejar hipotesis ilmiah. Ia berlari, menjejak karpet tebal itu dengan terburu-buru, menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba luruh, seolah semua tulang di tubuhnya mendadak menyerah. Sebelum lutut Hana menyentuh lantai kayu yang dingin, lengan Akira sudah mendekapnya.

​Hana menangis dengan suara tertahan. Sebuah jeritan tanpa suara merobek dadanya, mengoyak pita suaranya, membiarkan gelombang kesedihan yang telah membatu di rongga dadanya kini tumpah ruah. Ia mencengkram kemeja putih bersih Akira, sekuat ia menggenggam sisa-sisa kewarasannya. Bahunya bergetar hebat. Wajahnya tersembunyi di dada suaminya, air mata membanjiri kain katun, menciptakan dua lingkaran gelap yang membesar dengan cepat.

​Akira, seorang peneliti yang terbiasa mencari jawaban pasti, kini terdiam, lumpuh oleh duka yang bukan miliknya dan ketidaktahuan yang mengerikan. Ia hanya bisa memeluk erat tubuh yang terasa begitu kecil dan rapuh di dekapannya. Tangannya yang besar dan kuat bergerak perlahan, mengelus punggung Hana, gerakannya seperti irama lambat yang mencoba menenangkan badai di lautan luas. Ia memejamkan mata, berharap kehangatan tubuhnya mampu mengurangi rasa dingin yang merayap di jiwa Hana.

​“Siapa… yang tega melakukan itu kepada keluargaku, Aki-kun?” Pertanyaan itu terlontar, terputus-putus oleh isakan yang tertahan. Suaranya serak, parau, seperti pasir yang saling bergesekan. Ia mendongak sedikit, matanya yang biasanya memancarkan cahaya lembut kini bengkak dan merah, tatapannya kosong, menembus dinding ruangan.

​“Kenapa? Apa motifnya? dan Reiko… bahkan belum dewasa!” Kembali, pertanyaannya adalah tuduhan terhadap takdir yang kejam. Ia tidak meminta jawaban; ia menuntut keadilan dari alam semesta.

​Akira tidak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, memeluk Hana kembali lebih erat, seolah mencoba menyalurkan semua energinya. Pria itu ingin sekali memiliki jawaban, sebuah nama, sebuah motif yang logis, bagai sebuah formula yang bisa ia pecahkan. Agar ia bisa menghancurkannya dan mengembalikan kedamaian di mata istrinya. Namun, yang ia punya hanyalah kekosongan yang sama.

Rasa sesak di dada Hana terasa begitu nyata baginya, seperti beban berat yang ikut menghimpit paru-parunya. Sebagai seorang ilmuwan, ia benci ketidakmampuan ini. Tidak ada data, tidak ada variabel yang terukur, hanya kekejaman yang murni.

​Isakan Hana perlahan mereda, menyisakan tarikan napas yang kasar dan tak teratur. Ia melepaskan pegangannya dari kemeja Akira, lalu perlahan bangkit berdiri. Lututnya masih gemetar, tetapi kakinya memaksanya untuk melangkah. Ia tidak melihat Akira, pandangannya tertarik pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tak hidup, namun seolah ikut merasakan kepedihan yang sama.

​Di sudut ruangan, dekat jendela besar yang seharusnya menyajikan pemandangan taman yang rimbun, berdiri sebuah meja kecil. Di atasnya, diletakkan tiga pot bunga Kikyo ungu yang baru ia pindahkan dari tokonya pagi tadi. Bunga Kikyo, atau Platycodon grandiflorus, adalah bunga favoritnya, simbol dari cinta yang tak tergoyahkan dan kejujuran.

​Hana mendekati pot-pot itu dengan langkah gontai. Tangan pucatnya terulur. Sentuhan pertamanya pada kelopak bunga itu adalah kejutan yang menyakitkan.

​Bunga-bunga itu layu.

​Bukan layu karena kekurangan air, bukan pula karena umur. Kelopak ungu yang seharusnya kencang dan berbentuk bintang kini terkulai lemas, warnanya memudar menjadi keunguan kusam, ujungnya kering dan kecokelat-cokelatan. Batangnya membungkuk, seolah tak sanggup lagi menopang bobot kepala bunga yang ringan. Mereka mati dalam sekejap, seolah embusan napas dingin dari kabar duka telah merenggut nyawa mereka.

​Hana menarik tangannya kembali. Ia merasakan gelombang mual yang menusuk. Bunga-bunga ini adalah ekstensi jiwanya. Ia merawatnya dengan cinta. Dan kini, mereka menjadi cermin yang kejam: bunga di tokonya layu seakan ikut berduka atas kepergian seluruh keluarganya.

​Akira berdiri di belakangnya, menatap punggung Hana yang tegak namun rapuh. Ia mengerti bahasa bunga istrinya lebih dari kata-kata. Ia tahu, kelayuan itu adalah pengesahan brutal dari kenyataan yang baru saja menghantam mereka.

​Akira melangkah maju, tangannya perlahan memeluk pinggang Hana dari belakang,

​“Ojo-sama, Sayang, lihat aku.” Suara Akira dalam dan stabil.

​Hana membalikkan badan, bertumpu pada lengan Akira. Ia menatap mata suaminya, mencari kekuatan. Akira bukan politisi, ia tak bisa memberinya intrik atau strategi, ia hanya bisa memberinya fakta yang keras.

​“Aku tahu ini sakit. Aku tahu kau hancur. Tapi kau harus tetap bernapas, Hana. Kau harus kuat.” Akira mengusap pipi Hana yang basah dengan ibu jarinya.

​“Untuk apa, Aki-kun? Untuk siapa? Mereka semua pergi…” Hana berbisik, suaranya hampir tak terdengar.

​Akira melepaskan pelukannya, menempatkan kedua tangannya di bahu Hana. Ia menyampaikan kebenaran yang kejam. “Mereka pergi, dan Kerajaan tidak punya pewaris lain.”

​Tatapan Hana melebar. Kehangatan sesaat yang diberikan Akira hilang. Ia sadar. Kesadaran itu menghantamnya dengan keras, lebih keras dari kabar kematian itu sendiri.

​Seluruh Keluarga Inti Kerajaan Tewas.

​Ayahanda Kaisar, Ibunda Ratu, Pangeran Kenji—Pewaris Mahkota —dan Putri Reiko, yang baru saja berusia 8 tahun. Semuanya direnggut paksa.

​Hana adalah Putri tertua. Dan Ia adalah satu-satunya darah kerajaan yang tersisa.

​Darah mengalir kembali ke wajah Hana, bukan karena malu atau cinta, melainkan karena ketakutan yang mencekik dan beban yang tak terbayangkan. Selama lima tahun ini, Hana hidup sebagai penjual bunga, bebas dari tanggung jawab istana. Ia telah meyakinkan dirinya bahwa Kenji, sebagai Putra Mahkota, akan memegang kendali. Ia hanya seorang Putri yang dinikahi oleh seorang peneliti yang jauh dari lingkaran kekuasaan. Ia aman.

​Kini, keamanan itu hanyalah debu.

​“Aku… aku tidak bisa, Aki-kun.” Ia menggeleng, berusaha menjauh dari genggaman tangan Akira. “Aku tidak tahu bagaimana mengatur negara. Aku tidak mengerti politik. Aku hanya tahu cara menanam dan merawat bunga. Aku benci Istana, kau tahu itu. Kenji yang seharusnya…”

​Akira menggenggam bahunya lebih erat. Ia menatap mata Hana, tatapannya memohon pengertian. “Kau adalah Putri Mahkota, Hana. Sekarang, kau adalah Josei-tenno – Sang Kaisar. Takhta tidak boleh kosong. Itu milikmu. Aku tidak tahu apa-apa tentang strategi perang, atau aliansi politik. Aku hanya bisa membantumu mencari fakta di balik tragedi ini, hanya itu yang aku kuasai. Tapi untuk memimpin… kau harus mengambil alihnya.”

​Wajah Hana memucat. Ia melihat bayangan tahta yang dingin, berat, dan dipenuhi intrik. Ia melihat bayangan orang-orang yang mungkin berada di balik tragedi ini, kini mengawasi gerak-geriknya. Tugasnya bukan lagi menangisi keluarganya; tugasnya adalah menjadi perisai bagi kerajaan yang sedang berdarah dan mencari kebenaran, sendirian di tengah lautan serigala politik.

Pemandangan sekeliling mulai mengabur, suara Akira menjadi dengungan jauh—seperti sebuah perhitungan yang rumit. Pikiran Hana melarikan diri, mencari tempat perlindungan terakhir yang aman, jauh dari mahkota dan tahta yang berlumuran darah.

​Kenangan itu datang beriak, seperti air yang mengalir dari mata air yang tersembunyi.

Ingatannya kembali ke 6 tahun silam, sebelum ia memutuskan menikah dengan Akira dan melepaskan tahtanya.

​Vila itu, tersembunyi di balik pegunungan, adalah tempat peristirahatan kerajaan, sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga terdekat. Bangunan kayu gelap dikelilingi oleh hutan bambu dan kolam ikan koi kecil.

​Hana ingat Dinding Kebijaksanaan di ruang baca. Di sana, Ayahanda mereka, Sang Kaisar, akan membacakan kisah-kisah tentang para pendahulu yang bijaksana di masa lalu. Wajah Kaisar saat itu santai dan penuh kasih, bebas dari kerutan khawatir yang selalu menghiasi dahinya di istana utama.

​“Seorang pemimpin tidak pernah sendirian, Hana. Ia akan selalu memiliki keluarganya.” Kata-kata Ayahanda bergema, diucapkan saat mereka bertiga meringkuk di samping perapian yang menyala.

Hana, dengan mahkota daun di kepalanya, bertanya polos, “Ayah, bagaimana jika suatu saat nanti, kita harus berpisah?”

​Raja tersenyum, senyum hangat dan menenangkan. “Bahkan jika vila ini rata dengan tanah, cinta di antara kalian tidak akan pernah hilang. Ia akan menjadi pondasi. Ingat itu.”

​Kini, vila itu benar rata dengan tanah. Hanya tumpukan puing, abu, dan kenangan yang tersisa. ​Hana seperti merasakan bau asap di tenggorokannya, meskipun ia tahu itu hanya ilusi.

​Hana tersentak kembali ke ruangan. Ia kembali merasakan tangan Akira di bahunya, kelembaban air matanya di pipi.

​Ia tidak lagi memikirkan bunga Kikyo yang layu. Ia memikirkan janji Ayahanda: “Bahkan jika vila ini rata dengan tanah, cinta di antara kalian tidak akan pernah hilang.”

​Air mata yang tersisa dikeringkannya dengan punggung tangan. Matanya kini tidak lagi kosong, melainkan tajam, memancarkan tekad yang baru lahir di balik duka yang mendalam.

​Ia bukan lagi Hana, pemilik toko bunga. Ia adalah Josei-tenno, sang Kaisar. Ia adalah satu-satunya yang tersisa. Dan ia harus melindungi pondasi yang tersisa.

​Ia menatap Akira, tatapannya kini sejelas kristal yang membeku, tanpa perlu kata-kata.

​“Aku tidak bisa lari dari ini, bukan?” tanyanya, suaranya kini mantap, meskipun parau.

​Akira, terkejut dengan perubahan mendadak ini, namun tersenyum bangga. “Sayangnya memang tidak bisa, Ojo-sama. Tapi aku akan selalu ada disampingmu serta membantumu untuk mencari kebenaran.”

​Hana mengangguk. Ia merasakan mahkota yang tak terlihat kini diletakkan di kepalanya, dingin dan berat.

​“Aku ingin tahu siapa yang telah merenggut keluargaku, Aki-kun. Aku ingin tahu siapa yang mengubah tempat paling aman di dunia menjadi abu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   BAB 6

    ​“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”​Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.​“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”​Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.​“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”​Akira meraih lembut dagu H

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 5

    ​“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. ​Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. ​Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. ​“Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” ​Hana mendongak, matanya

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 4

    ​Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. ​“Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. ​Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. ​Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 3

    ​“Aki… Ayahanda…” Suara Hana tercekat di tenggorokannya, bagai sebuah gelembung kaca yang kian membesar, yang tak sanggup ia pecahkan. Kata-kata itu lebih merupakan hembusan napas yang menyakitkan untuk dikeluarkan dengan susah payah daripada sebuah panggilan kepada mendiang Ayahnya. ​Akira, pria yang menghabiskan hidupnya di laboratorium yang tenang, di antara angka-angka dan data ilmiah, kini bergerak secepat yang ia bisa, jauh melampaui kecepatannya saat mengejar hipotesis ilmiah. Ia berlari, menjejak karpet tebal itu dengan terburu-buru, menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba luruh, seolah semua tulang di tubuhnya mendadak menyerah. Sebelum lutut Hana menyentuh lantai kayu yang dingin, lengan Akira sudah mendekapnya. ​Hana menangis dengan suara tertahan. Sebuah jeritan tanpa suara merobek dadanya, mengoyak pita suaranya, membiarkan gelombang kesedihan yang telah membatu di rongga dadanya kini tumpah ruah. Ia mencengkram kemeja putih bersih Akira, sekuat ia menggenggam sisa-sisa

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 2

    ​​“Selamat pagi Miss O’hare.” Suara merdu Hana melayang melintasi etalase kaca, berbaur dengan semerbak lilin beraroma honeysuckle dan manisnya udara pagi. ​Wanita tua itu, punggungnya sedikit membungkuk dan dengan rambutnya yang seputih salju, sudah berdiri di ambang pintu, seperti jam weker yang tepat waktu. Kepala Hana miring sedikit saat ia melihat ke tumpukan buket yang sudah terikat rapi di konter. ​“Biar kutebak… seikat Tulip Kuning?” Hana melanjutkan, senyumnya merekah seperti kelopak di pagi hari. Matanya yang cokelat berkilauan menangkap pantulan cahaya dari vas kaca di depannya. ​“Kau tahu benar favoritku, Hana-chan.” Ms. O’hare tertawa kecil, suara yang selalu menghangatkan hati Hana. Tangan keriputnya yang dihiasi bintik-bintik penuaan bergerak meraih buket yang sudah disiapkan Hana—lima kuntum tulip kuning yang mekar sempurna, diikat dengan pita rami sederhana. ​“Bunga-bunga di tokomu adalah yang tercantik di Midtown,” puji wanita lanjut usia itu sambil mengeluar

  • Bangkitnya Sang Kaisar Wanita   Bab 1

    ​“Ayah, kita benar-benar akan berlibur ke Vila Matahari Pagi kan?” ​Suara Putri Reiko Yamashiro melengking penuh harap, memecah kesunyian yang diselingi gemerisik daun di taman istana. Wajah mungilnya memancarkan cahaya, kedua matanya yang gelap membulat penuh, berkilauan seperti kelereng di bawah sinar pagi. Kakinya yang tak sabar terus melompat-lompat kecil di tempat, membuat pita-pita merah di rambutnya ikut menari. Kegirangan yang membuncah dari diri gadis berusia tujuh tahun itu terasa begitu menular. ​“Reiko-chan…berhenti meloncat-loncat,” suara lembut Permaisuri Yuriko mengalun, tanpa ada nada ketegasan yang berlebihan, namun cukup untuk menahan gerakan Reiko. Gadis kecil itu memang berhenti, tapi hanya sekejap, bibirnya mengerucut sedikit sebelum ia kembali berlari-lari kecil, langkahnya ringan seolah menginjak udara, sambil bersenandung lirih sebuah lagu rakyat. ​Kaisar Minamoto terkekeh pelan. Matanya yang tajam melembut saat melihat tingkah laku putri bungsunya. Tawa kec

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status