“Selamat pagi Miss O’hare.” Suara merdu Hana melayang melintasi etalase kaca, berbaur dengan semerbak lilin beraroma honeysuckle dan manisnya udara pagi.
Wanita tua itu, punggungnya sedikit membungkuk dan dengan rambutnya yang seputih salju, sudah berdiri di ambang pintu, seperti jam weker yang tepat waktu. Kepala Hana miring sedikit saat ia melihat ke tumpukan buket yang sudah terikat rapi di konter. “Biar kutebak… seikat Tulip Kuning?” Hana melanjutkan, senyumnya merekah seperti kelopak di pagi hari. Matanya yang cokelat berkilauan menangkap pantulan cahaya dari vas kaca di depannya. “Kau tahu benar favoritku, Hana-chan.” Ms. O’hare tertawa kecil, suara yang selalu menghangatkan hati Hana. Tangan keriputnya yang dihiasi bintik-bintik penuaan bergerak meraih buket yang sudah disiapkan Hana—lima kuntum tulip kuning yang mekar sempurna, diikat dengan pita rami sederhana. “Bunga-bunga di tokomu adalah yang tercantik di Midtown,” puji wanita lanjut usia itu sambil mengeluarkan dompetnya. “Simpan kembaliannya, Hana-chan.” Ia menyerahkan selembar uang $50. “Ahhh… terima kasih banyak, Ms. O’hare. Semoga harimu penuh kebahagiaan.” Hana, dengan gerakan cepat dan riang, memasukkan lembar uang itu ke dalam mesin kasir yang berdenting ringan. Setelah Ms. O’hare keluar, Hana bersandar sebentar pada konter kayu ek. Toko kecilnya, Aroma Hana, dipenuhi bisikan air di vas dan keheningan yang menenangkan. Hanya lima tahun yang lalu, suara yang didengarnya setiap pagi adalah derap sepatu pantofel di lantai marmer, gerutuan para pengawal, dan bunyi gesekan pena di atas dokumen-dokumen negara. Perubahan itu masih sering terasa nyata, seperti selimut tebal yang tiba-tiba diangkat. Dulu, ia adalah Putri Mahkota Yamashiro, diapit oleh tradisi, protokol, dan beban nama keluarga yang begitu berat. Sekarang, ia hanya Hana. Hana si tukang bunga. Ia mengusap permukaan vas kaca bening, menghilangkan jejak air yang baru saja menetes. Tangan lentiknya, yang dulunya hanya memegang kipas sutra atau pena berharga, kini kasar sedikit karena sentuhan tanah dan duri mawar. Bau parfum mahal telah digantikan oleh aroma manis peony, tajamnya lilac, dan sejuknya daun eucalyptus. Hana selalu mencintai bunga, yang sesuai dengan arti namanya. Maka saat ia memutuskan untuk turun dari tahta dan menikahi kekasihnya yang rakyat biasa, putri mahkota itu memilih menjadi tukang bunga. Ketika ia menyerahkan tahta kepada adiknya, sebuah pengorbanan besar yang menjadi headline berita selama berminggu-minggu, ia tidak mencari kekayaan baru. Ia mencari kebebasan. Toko bunga ini, kecil dan remang-remang di sudut jalan yang ramai namun tidak mencolok, adalah istananya yang sebenarnya. Nama yang dipilihnya untuk toko ini, "Hana", yang berarti bunga dalam bahasa asalnya, adalah simbol sempurna dari hidup barunya. Bunga adalah keindahan tanpa pretensi. Bunga adalah kehangatan yang dibagi tanpa syarat. Di sini, di balik karangan mawar dan baby’s breath, ia merasa dekat dengan rakyat kecil—orang-orang yang datang bukan untuk memohon bantuan politik, tetapi untuk merayakan cinta, berduka, atau hanya untuk mencerahkan hari mereka dengan sepercik warna. Kemarin, seorang wanita muda datang mencari mawar putih untuk ibunya yang sakit. Hana mendengarkan ceritanya, mata mereka bertemu di atas keranjang hydrangea ungu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Hana merasa benar-benar berguna, jauh dari intrik istana yang dingin dan mengikat. Ia berjalan ke bagian belakang, tempat ember-ember berisi air dingin dan gunting tajam berada. Pintu belakang berayun terbuka, memperlihatkan dapur kecil dan ruang tamu minimalis tempat ia dan suaminya, Dr. Akira Takumi, tinggal. Rak buku kayu yang penuh sesak dan bantal-bantal empuk di sofa adalah hal kontras yang menyenangkan dengan keteraturan yang kaku di toko. Di meja makan, segelas kopi yang sudah dingin dan remah-remah roti panggang masih berserakan. Akira pasti sudah pergi. Jadwal hidup mereka berjalan terbalik. Saat Hana mulai memotong batang dan menyusun pesanan, Akira sudah tenggelam dalam semua kegiatan ilmiah di laboratorium. Akira Takumi, dokter dan peneliti yang hebat dan sangat sibuk. Pria berambut gelap yang senyumnya jarang terlihat oleh publik, tetapi hangat dan menenangkan hanya untuk Hana. Hubungan cinta Hana dan Akira, yang tadinya ditentang hampir oleh sebagian warga kerajaannya. Saat Hana pergi tidur, terkadang ia mendengar desahan samar dari ruang kerjanya. Akira sedang bekerja, cahayanya yang dingin menyelinap dari bawah pintu. Tumpukan kertas dan gambar-gambar mikroskopis adalah kekasih pertamanya, namun Hana memahami hal itu. Ia tidak pernah mengeluh. Saat ini Akira sedang meneliti obat anti virus langka, sebuah misi yang mulia dan menguras waktu. Hana mengambil cangkir kopi dingin itu, menghela napas ringan, dan membilasnya di wastafel. Kau akan pulang larut malam lagi, Sayang, batinnya. *** Hari itu berlalu dengan cepat. Hana merangkai boutonnière untuk pernikahan yang akan datang, membantu seorang anak laki-laki memilih daisy untuk gurunya, dan menasihati pasangan tua tentang cara merawat anggrek mereka. Interaksi-interaksi kecil yang memberinya energi. Sore harinya, Toko Bunga Aroma Hana mandi dalam cahaya keemasan. Ia sedang menyapu lantai kayu, setiap sapuan terasa membumi. Ia mengenakan celana jins dan kaus katun yang sudah pudar, pakaian yang tidak akan pernah ia kenakan saat berada di istana. Suara sirine dari jalanan, bunyi klakson yang tidak sabar, dan suara tawa anak-anak yang berlari pulang sekolah, semua bagai simfoni di kehidupan barunya. Pukul enam sore adalah waktunya untuk menutup toko. Ia membalik papan "Terbuka" menjadi "Tertutup", lalu mengunci pintu. Bunyi klik keras dari kunci itu selalu memberinya rasa kepastian. Ia kembali ke ruang tamu, menghidupkan lampu standing yang memancarkan cahaya hangat. Ia menyalakan televisi kecil di sudut ruangan, hanya untuk ditemani suara saat ia menyiapkan makan malam. Ia memotong bawang dan tomat di papan talenan, bunyi yang berirama mengisi keheningan. Suara dari televisi tiba-tiba berubah. Bukan lagi iklan sabun cuci piring atau sitcom yang ia tonton. Nadanya menjadi tajam, tergesa-gesa, suara pembawa berita wanita itu bergetar. Hana berhenti memotong. Pisau itu tertahan di udara. Ia memutar badannya menghadap layar, alisnya berkerut samar. Layar televisi, yang biasanya menayangkan program hiburan, kini dipenuhi gambar-gambar yang kacau. Kepulan asap hitam yang menjulang tinggi di latar belakang, cahaya merah-oranye yang menyala-nyala, dan polisi yang panik mengelilingi daerah itu. Di sudut layar, tanda BREAKING NEWS berkedip dengan warna merah terang. Pembawa berita itu, wajahnya pucat dan matanya melebar, berbicara dengan suara yang tercekik: "...kami baru saja menerima laporan dari Kepolisian Pusat. Telah terjadi serangan teroris di Vila Musim Panas milik Kerajaan Yamashiro. Para pejabat mengonfirmasi bahwa sebuah bom meledak semalam..." Hana menjatuhkan pisau di atas talenan. Bunyi kecil itu terasa memekakkan telinga di tengah keheningan. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah dingin ke seluruh tubuhnya. Dunia yang aman dan tenang yang ia bangun di balik kelopak bunga tiba-tiba retak. Vila Musim Panas Kerajaan. Tempat ayah dan ibu, serta adik-adiknya tinggal selama musim gugur. Vila itu seharusnya sangat aman, Hana ingat benar akan struktur dan detail bangunan vila pribadi keluarga kerajaan. Terbayang wajah Kenji, adiknya, yang penuh air mata dan berusaha tersenyum, saat Hana melepas mahkota dari kepalanya dan menyerahkannya kepada Kenji. “Aku akan menjaga negeri kita, Kakak. Aku berjanji. Aku akan membuatmu bangga” wajah tampan adiknya, semua berkelebat di benaknya. Hana melangkah maju, tubuhnya bersandar ke arah televisi, tangannya yang bergetar hebat menekan dada, seolah ingin menahan rasa mual yang tiba-tiba datang. “...Kondisi Raja dan Ratu, beserta Putra Mahkota dan Putri Reiko bisa dipastikan tewas seketika saat terjadi ledakan yang menghancurkan Vila. Menurut saksi mata, tragedi ini terjadi kurang dari satu jam yang lalu…” Asap hitam pekat itu, lidah api yang menjilat langit senja, kini memenuhi seluruh pandangannya. Kebebasan yang ia cari, kedamaian yang ia genggam, semuanya terasa sia-sia. Wajahnya yang biasanya tenang kini tegang, matanya tidak berkedip. Ia hanya bisa menatap kobaran api di layar TV. Tanpa disadarinya bulir air mata menetes deras dari matanya. Bunyi kunci berputar di pintu depan. Akira masuk, jaket labnya dilipat di tangan, wajahnya lelah namun senyumnya mulai terukir saat melihat Hana. “Sayang, aku tahu aku pulang terlalu cepat, tapi aku berhasil membuat kemajuan besar…” Ia terdiam saat melihat badan Hana yang gemetar hebat dengan wajah pucat penuh linangan air mata. Tanpa sadar Akira kemudian melihat layar televisi. Kobaran api. Asap. Vila Kerajaan. Udara di antara mereka tiba-tiba menjadi berat dan dingin. Malam yang manis dan tenang telah berakhir.“Tanganmu dingin sekali, Ojo-sama. Apakah kau merasa takut?”Profesor Akira meraih tangan istrinya perlahan, menggenggam dengan lembut seolah memberikan sedikit kehangatan. Mereka berada di dalam kabin jet pribadi militer. Jemari Hana yang ramping terasa membeku di telapak tangannya. Matanya yang biasanya memancarkan kecerahan kini terlihat sedikit berkabut.“Ini aneh sekali, bukan?” balas Hana, suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam dengung halus mesin pesawat. “Aku akan pulang ke rumah tempat lahirku, tapi aku merasa bahwa aku akan dihukum mati setiba di sana.”Bahu Hana bergidik perlahan, rasa dingin menjalar ke tengkuknya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan gelap.“Aku mengerti.” Akira menariknya mendekat, memeluk bahunya. “Perasaan itu wajar. Kau kembali sebagai 'Putri terakhir' setelah sekian lama, kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak memori—sekaligus kembali ke dalam sarang masalah. Tapi apa kau lupa?”Akira meraih lembut dagu H
“Aki sayang… apakah kau yakin akan membiarkan aku menjadi Kaisar?” Hana berusaha membaca wajah Akira, sambil menggenggam tangan pria itu. Mereka duduk berdekatan di bangku kecil dalam keheningan toko bunga. Aroma lavender dan jasmine yang seharusnya menenangkan, terasa berat oleh beban keputusan besar. Hana menatap suaminya, mencari kepastian di mata pria yang selalu menjadi jangkar rasionalitasnya. Akira tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan menarik Hana lembut ke dalam pelukannya. Kehangatan tubuhnya, aroma samar buku dan eucalyptus yang selalu melekat pada kulitnya, adalah satu-satunya kenyamanan yang Hana miliki di tengah badai duka dan intrik politik ini. Ia membenamkan wajahnya di dada Akira, membiarkan suaminya mengusap rambutnya. “Hime-chan,” bisik Akira, suaranya dalam dan menenangkan. Ia mencium kening istrinya lama, sebuah janji tanpa kata. “Tentu saja aku yakin. Aku tidak hanya yakin, aku memastikan kau yang mengambil alih tahta.” Hana mendongak, matanya
Dering suara bel di pintu masuk yang bernada nyaring, membelah keheningan yang nyaman, seketika membawa Akira dan Hana kembali dari lembah kenangan mereka. Hana tersentak kecil, air mata yang masih membasahi pipinya belum sepenuhnya mengering. “Biar aku yang melihat ke depan, Hana-chan. Basuhlah wajahmu terlebih dahulu,” ujar Akira dengan lembut. Tangannya terangkat, jari-jarinya yang panjang menyisir lembut anak rambut Hana yang halus. Sentuhan itu menyampaikan kasih sayang yang menenangkan, tetapi mata Akira sudah menunjukkan bayangan kesadaran yang dingin. Hana mengangguk pelan, jemarinya membalas genggaman tangan Akira sejenak sebelum dilepaskan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali ketenangannya, sementara Akira melangkah menuju pintu depan, hatinya diselimuti firasat yang memberat—firasat yang kini telah bertransformasi menjadi kepastian yang tak terhindarkan. Akira mendorong pintu kayu berukir itu. Di ambang pintu, sesosok pria setengah baya berdiri t
“Aki… Ayahanda…” Suara Hana tercekat di tenggorokannya, bagai sebuah gelembung kaca yang kian membesar, yang tak sanggup ia pecahkan. Kata-kata itu lebih merupakan hembusan napas yang menyakitkan untuk dikeluarkan dengan susah payah daripada sebuah panggilan kepada mendiang Ayahnya. Akira, pria yang menghabiskan hidupnya di laboratorium yang tenang, di antara angka-angka dan data ilmiah, kini bergerak secepat yang ia bisa, jauh melampaui kecepatannya saat mengejar hipotesis ilmiah. Ia berlari, menjejak karpet tebal itu dengan terburu-buru, menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba luruh, seolah semua tulang di tubuhnya mendadak menyerah. Sebelum lutut Hana menyentuh lantai kayu yang dingin, lengan Akira sudah mendekapnya. Hana menangis dengan suara tertahan. Sebuah jeritan tanpa suara merobek dadanya, mengoyak pita suaranya, membiarkan gelombang kesedihan yang telah membatu di rongga dadanya kini tumpah ruah. Ia mencengkram kemeja putih bersih Akira, sekuat ia menggenggam sisa-sisa
“Selamat pagi Miss O’hare.” Suara merdu Hana melayang melintasi etalase kaca, berbaur dengan semerbak lilin beraroma honeysuckle dan manisnya udara pagi. Wanita tua itu, punggungnya sedikit membungkuk dan dengan rambutnya yang seputih salju, sudah berdiri di ambang pintu, seperti jam weker yang tepat waktu. Kepala Hana miring sedikit saat ia melihat ke tumpukan buket yang sudah terikat rapi di konter. “Biar kutebak… seikat Tulip Kuning?” Hana melanjutkan, senyumnya merekah seperti kelopak di pagi hari. Matanya yang cokelat berkilauan menangkap pantulan cahaya dari vas kaca di depannya. “Kau tahu benar favoritku, Hana-chan.” Ms. O’hare tertawa kecil, suara yang selalu menghangatkan hati Hana. Tangan keriputnya yang dihiasi bintik-bintik penuaan bergerak meraih buket yang sudah disiapkan Hana—lima kuntum tulip kuning yang mekar sempurna, diikat dengan pita rami sederhana. “Bunga-bunga di tokomu adalah yang tercantik di Midtown,” puji wanita lanjut usia itu sambil mengeluar
“Ayah, kita benar-benar akan berlibur ke Vila Matahari Pagi kan?” Suara Putri Reiko Yamashiro melengking penuh harap, memecah kesunyian yang diselingi gemerisik daun di taman istana. Wajah mungilnya memancarkan cahaya, kedua matanya yang gelap membulat penuh, berkilauan seperti kelereng di bawah sinar pagi. Kakinya yang tak sabar terus melompat-lompat kecil di tempat, membuat pita-pita merah di rambutnya ikut menari. Kegirangan yang membuncah dari diri gadis berusia tujuh tahun itu terasa begitu menular. “Reiko-chan…berhenti meloncat-loncat,” suara lembut Permaisuri Yuriko mengalun, tanpa ada nada ketegasan yang berlebihan, namun cukup untuk menahan gerakan Reiko. Gadis kecil itu memang berhenti, tapi hanya sekejap, bibirnya mengerucut sedikit sebelum ia kembali berlari-lari kecil, langkahnya ringan seolah menginjak udara, sambil bersenandung lirih sebuah lagu rakyat. Kaisar Minamoto terkekeh pelan. Matanya yang tajam melembut saat melihat tingkah laku putri bungsunya. Tawa kec