Share

Pulang Terlambat.

Aku sedang menikmati makan malam ku. Tentu menu yang sama dengan tadi siang, meski tumis kangkungnya baru aku masak lagi. Setiap hari aku masak sekali makan, sore masak baru meski sayuran yang sama.

Saat sedang menikmati makanan aku dengar suara motor khas milik Mas Bayu. Tak lama dia masuk dan melihatku sedang menikmati makanan yang ada di meja makan.

"Baru makan, Ris. Kenapa tidak dari tadi sih makannya? Kalau terlambat makan kau akan semakin kurus seperti orang kurang makan."

Aku hampir tersedak mendengar ucapan mas Bayu. Apa dia tidak tau atau pura-pura tidak tau, bagaimana bentuk makanan yang aku nikmati setiap harinya.

"Mas terlambat pulang pasti sudah makan di rumah ibu. Masak apa dia hari ini? pasti enak kan apalagi kumpul keluarga besar."

Aku berkata sinis beginilah sebagai menantu yang di sayangi mertua. Aku tidak wajib datang pertemuan, cukup menerima hasil musyawarah mereka saja.

"Hanya masak ayam goreng, opor ayam dan gulai nangka ditambah sambal belacan."

Aku menghela napas saat mendengar suamiku bilang hanya, untuk makanan yang setahun sekali baru bisa aku nikmati di setiap hari raya.

"Pasti ramai yang datang, kenapa kau tidak menjemput atau memberitahuku jika akan kerumah ibumu?"

Mas Bayu tidak menjawab dia mengambil sebuah kartu dari dalam dompetnya. Lalu dengan santai menyerahkan kepadaku seolah uang itu teramat aku inginkan.

"Soal kerumah ibu tidak usah kau pikirkan. Ibu hanya tidak mau kau repot dan kecapekan, tak ada yang penting hanya membahas tentang pernikahan Nina bulan depan."

"Tak ada yang penting dia bilang. Setelah itu aku yang akan mengahadapi pria-pria berwajah datar tanpa senyum dan salam."

Aku kembali menikmati makanan yang tak lagi nikmat. Kali ini rasanya seperti menelan duri yang terasa di tenggorokan. Aku segera membawa piring kotor ke tempat cuci piring, tidak melanjutkan makan Karena sudah tidak terasa enak lagi.

Menyelesaikan pekerjaan mencuci piring dan peralatan dapur yang tadi aku gunakan untuk masak. Meski akhirnya suamiku pulang tanpa menyentuh masakanku karena sudah makan di luar.

"Sampai kapan kau bertahan, Ris. Apa menunggu sampai punya anak dulu, agar otakmu sedikit terbuka untuk berpikir."

Ucapan Citra yang selalu kesal setiap kali melihat wajahku yang terlihat gusar di setiap awal bulan. Karena masih awal bulan juga aku sudah klimpungan cari uang makan.

Citra satu-satunya temanku. Karena sejak menikah dengan mas Bayu aku tidak punya waktu untuk kumpul dengan tetangga, karena jika kumpul yang dibahas aib tetangga melulu.

Di Butik miliknya aku bisa menyalurkan hobby menggambar pola baju. Tentu saja bayaranku cukup besar darinya tapi tetap aku masukkan ke rekening bapak meski kartunya ada padaku.

Seandainya mas Bayu atau ibunya tau berapa banyak uang yang ada di ATM yang diberi bapak. Mungkin secepatnya aku akan di lempar dari kartu keluarga mereka.

Yah begitulah namanya juga kesayangan mertua. Jika tidak ada alasan untuk di sayangi, pastinya ditendang pergi.

Saat sedang melamun mas Bayu memanggilku dari dalam kamar. Aku lihat dia tengah membongkar lemari, baju yang baru tadi aku setrika dan lipat sudah berantakan lagi.

"Mas cari apa sih? Sudah aku bilang kalau cari apa-apa bilang, atau tanya jangan begini. Aku bisa gila kau perlakukan terus sepeti ini."

Mas Bayu hanya diam tidak menjawab. Tapi dia menatapku tajam, seolah ingin menerkam ku hidup-hidup.

"Apa kau bilang gila? Sadar diri dong aku yang kerja seharian, sedang kau hanya di rumah. Akhir bulan terima gaji, kau masih bisa bilang gila seharusnya aku yang gila, kerja siang dan malam Tidak bisa menikmati uang hasil kerjaku."

Mas Bayu memukul pintu lemari, sesaat aku sempat terkejut melihat ungkapan hatinya. Jadi selama ini dia menganggap aku enak-enakkan dirumah, untuk menikmati hasil kerjanya. Luar biasa sepertinya dia mulai lupa mungkin karena semua aku yang bayar ya.

"Ini ATM mu kau tau pasti jumlahnya. Aku belum menyentuh sepeserpun, kalau kau anggap aku terlalu menikmati uangmu. Ambil dan pergunakan dengan baik agar kau tau, berapa saldo yang tersisa dua hari kedepan."

Aku meletakkan benda itu di atas tempat tidur. Lalu aku bergegas kembali keluar mencari udara segar, setidaknya dengan menjauh akan membuatku sedikit lebih baik untuk berpikir.

Saat sedang memejamkan mata dan menikmati udara malam. Terasakan seseorang duduk disampingku, tentu saja dari aroma tubuhnya aku tau mas Bayu tengah menatap wajahku.

"Maafkan mas karena sempat emosi tadi. Kerjaan dikantor terlalu banyak sehingga membuat sakit kepala, ambil lagi ATM ini sudah jadi hak dan kewajibanmu untuk mengunakannya dengan baik."

Aku tersenyum tepatnya mengejek ucapannya. Mengunakan dengan baik dia bilang, kurang baik apa selama ini aku gunakan uangnya yang hanya bertahan dua hari. Setelah itu aromanya pun tak tertinggal lagi di dompetku.

"Seandainya kita berpisah kira-kira siapa yang akan senang ya, Mas?"

Sengaja aku bertanya seperti itu berharap pria disampingku ini akan mengerti jawabannya sehingga dia tidak asal bicara lagi di hadapanku.

"Jangan bicara seperti itu, mas sudah minta maaf ingat ucapan adalah doa. Jangan asal bicara lagi."

Dia berdiri dan masuk kerumah setelah menyerahkan kembali kartu miliknya yang di anggap sakti itu. Uang delapan juta dia kira sudah begitu besar, sedangkan selama ini aku mengunakan uang dari bapak untuk menutupi semuanya.

Mungkin itu juga yang menjadikan aku jadi menantu kesayangan, bisa mengolah uang delapan juta masih bisa memberi ibu uang seratus ribu plus beras lima kilo lagi.

"Dek masuk sudah malam nanti kamu sakit . Ingat sebentar lagi adikku pesta kau tidak boleh sakit."

Sebuah ucapan mengandung rasa khawatir, tapi dia bukan khawatir kepadaku, tepatnya kelancaran acara keluarganya.

"Tenang mas aku kuat kok. Menghadapi hidup yang keras saja aku sanggup, apalagi menghadapi angin malam."

Ucapku sambil melangkah masuk kerumah langsung menuju kekamar. Menghela napas saat melihat pintu lemari yang tidak tertutup, bagaimana mau tertutup sedangkan kain menyumpal membuat tidak bisa di tutup.

Segera aku masukkan asal semua kain yang tadi di bongkar mas Bayu. Selanjutnya memaksa agar pintu lemari bisa tertutup. Agar mataku tidak terganggu dengan pemamdangan yang menyakitkan itu.

"Kok ditutup, mas belum menemukan map berisi surat tanah rumah ibu yang jadi warisanku."

Ternyata dia membongkar lemari hanya untuk mencari map berisi sertifikat tanah itu. Kalau tanya kan dia bisa langsung tau dimana sertifikat itu berada kini.

"Buat apa mas cari sertifikat itu, jangan bilang kamu hendak mengunakan untuk sesuatu lagi, mas?"

Aku menatap mas Bayu dari raut wajahnya yang salah tingkah aku tau dia menyembunyikan sesuatu. Tapi dia mencoba mengelak dari pertanyaanku barusan.

"Bukan, begitu lama mas tidak melihatnya takut hilang saja."

Aku tersenyum pura-pura percaya dengan apa yang dia katakan, tapi maaf aku sedang mencurigai dirinya.

"Mas tidak usah risau aku sudah meletakkan ditempat yang aman. Bahkan tikus dan semut pun tidak akan bisa menyentuhnya."

Aku tersenyum sinis lalu menuju ketempat tidur, lelah pikiran jangan sampai lelah juga tubuhku. Maka tidur adalah jalan terbaik yang harus dilakukan.

"Kau juga harus tidur agar besok tenang pikiranmu saat kerja. Soal sertifikat tidak usah kau pikirkan lagi, tenang barang itu bersamaku."

Tanpa suara mas Bayu ikut merebahkan tubuhnya. Aku tau dia tidak langsung tidur, karena yakin dia sedang memikirkan dimana aku menyimpan sertifikat itu. Aku merasakan dia membolak balik tubuhnya terlihat resah.

Kecurigaanku benar pasti ada sesuatu yang dia rencanakan dengan sertifikat itu. Tapi kali ini aku tidak mau dibodohi lagi sertifikat harus aku amankan. Terserah kalau besok atau lusa namaku akan buruk karena merampas harta suamiku sendiri.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
utk apa si dungu tetap bertahan tapi mengeluh dan membacot terus.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status