Kehidupan macam apa yang sebenarnya ku inginkan? bergelimang harta tapi beban pikiran menyelimuti diri setiap saat, atau hidup sederhana tapi bahagia seperti ketika bersama orangtua dan adik-adikku. Hmmm, tapi benarkah aku bahagia kala itu? Bahagia dengan perut pedih menahan lapar, sepatu usang di bawah tatapan mengejek murid lain di sekolah? apakah aku bahagia? Jangan-jangan aku tak pernah tahu apa rasa bahagia, karena memang tak pernah ku rasakan.
Kara menghembuskan napas panjang seiring pikiran yang melintas dalam benaknya. Dia sedang memandang taman indah di belakang kediaman Garvin tanpa hasrat, sambil meneguk teh perlahan. Secangkir teh yang di dapatkan Kara setelah berdebat dengan pelayan dan Robert setengah jam lalu. Membuat bibirnya melengkung memandang cairan dalam cangkir porselen yang mahal. Setidaknya kata pelayan tak tahu diri tadi.
"Buatkan aku secangkir teh." perintah Kara ketika dia baru selesai mengantar Garvin pergi bekerja. Pelayan berpakaian
Kemewahan adalah sesuatu yang tak mampu dimiliki. Sekarang ketika apa yang di kehendaki bisa dengan mudah ada di tangan, tanpa perlu memikirkan nominal tertera? bisakah itu di sebut mewah? Sebuah pertanyaan hadir kembali tentang arti kemewahan dalam dirinya, lalu dia kembali bertanya dalam hati. Apakah kebebasan sekarang merupakan kemewahan? Kara memandang pantulan dirinya, cermin membalikkan posisi objek yang ada di depannya. Kanan menjadi kiri, kiri menjadi kanan. Dia melirik midi dress yang berada di atas ranjang. Garvin telah memilih apa yang akan digunakannya hari ini. "Ben akan mengantarkanmu untuk bertemu, Feli?" Garvin memasang jas di tubuh ramping atletis miliknya. Dia begitu menawan, Kara masih ingat pembicaraan 'siapa wanita' Garvin di Paraduta Group, selalu menjadi topik favorit yang dibahas sembunyi-sembunyi oleh sebagian besar karyawati. Bisa jadi mereka terjungkal karena shock jika tahu Kara adalah istri Garvin. "Terlalu mencolok jika Ben yang
"Kamu mengirim pengawal untuk mengawasi ku?" Kara menghampiri Garvin di meja kerjanya. Pria itu melirik sebentar, lalu kembali berkutat dengan lembaran kertas kerja dan laptop. Ia mengabaikan keberadaan Kara, seakan dirinya transparan tak terlihat dalam pandangan Garvin. Kara memejam matanya sejenak, lalu membuka kembali. Ia berusaha meredamkan perasaannya yang bercampur aduk, sementara jemari lentik Kara menggapai meraih tangan Garvin. "Aku bertanya padamu, Garvin." Pria itu menyingkirkan tangan Kara, ia menggaruk telinga. Seakan di telinganya kalimat Kara terdengar seperti dengungan nyamuk. "Aku memastikan kamu aman, sayang. Seharusnya ucapan terimakasih yang ku terima." "Kamu tidak perlu melakukan itu. Aku membutuhkan waktu pribadi sendiri. Pengawasan yang kamu lakukan ... menganggu ku." "Menganggu katamu." Suara Garvin terdengar kasar. Ia berdiri melewati tinggi Kara. "Lalu untuk apa menggunakan rambut palsu, kemudian mengunjungi tempat favorit Am
Kara meremas sprei sutra berkali-kali. Mencoba mengartikan tatapan dan senyuman dingin Garvin. Kara tak akan menganggap respon yang diberikan suaminya suatu hal yang janggal. Jika tidak ada kejadian antara ia dan Bastian. Kembali ucapan Garvin kemarin terlintas dalam benak Kara. 'Aku harus membereskan ulahmu'."Kenapa menatap ku terus menerus, Kara. Lebih baik kamu membantu mengancingkan kemeja ku, daripada duduk seperti orang tolol di pinggir ranjang." Garvin menatap Kara dari pantulan di depan cermin.Kara menyeret langkahnya menghampiri Garvin. Ia berusaha bersikap normal memasangkan kancing di lengan kemeja Garvin."Wajahmu pucat? Jangan katakan kamu sedih dengan kematian mantan suami mu.""Tidak ... bukan itu. Ha-nya saja, terasa terlalu kebetulan." Kara menengadah mengumpulkan keberanian yang telah menguap. "Kemarin, kamu mengatakan akan membereskan ulah ku, ketika Bastian menandai akun sosial media ku sebagai pelacur.""Aku tidak tahu
Kara kembali ke salon Natural Beauty. Setelah berganti pakaian, ia menelpon Ben agar menjemputnya. Kehidupan terasa berjalan aneh bagi Kara. Garvin menginginkan ia menjadi istri, tetapi tak sudi memperkenalkan kepada publik. Ia mencukupi kebutuhan Kara, tetapi mengontrol penuh semua tindak-tanduk Kara. Kebaikan yang terasa janggal. Kematian Amara dan Bastian juga masih menjadi tanda-tanya bagi Kara. Apakah aku harus acuh saja. Nikmatin kemewahan yang ada tanpa perlu bekerja keras. Mengabaikan apa yang terjadi di masa lalu dengan Amara. Pertanyaan itu melintas dalam benak Kara. Mobil Ben telah terlihat, Kara memasang wajah datar ketika memasuki mobil. Ia tak mau berbasa-basi dengan Ben. "Langsung pulang, Nyonya Ra?" tanya Ben dari spion mobil. "Iya." Kara memandang keluar jendela. Kebosanan mulai menyentuh hatinya. Ia tak tahu kapan akan berakhir semua ini. Menjadi istri yang hanya bayangan masa lalu orang lain. Ditambah dugaan tentang kema
Kara baru saja terlelap ketika alarm membangunkan tidurnya. Mata Kara mengerjap berkali-kali menahan kantuk yang masih menetap di kelopak matanya. Tidur Kara tak nyenyak, ia kembali mimpi buruk. Sudah lama ia tak merasakannya sekarang hadir kembali.Tangan Kara meraba samping tubuhnya hanya untuk merasakan sprei dingin. Garvin tak pulang, mungkinkah ia menghabiskan malam hangat dalam dekapan tubuh molek Berlian. Bukan mungkin lagi, tapi sudah pasti. Kara membuang napas lalu menghirup udara pagi. ia membuka tirai menyenderkan tubuh di di daun jendela. Tukang kebun sedang memangkas pepohonan yang menghias kediaman Garvin.Terasa seperti cangkang kosong saja berada dalam kediaman Garvin. Tak ada kehidupan yang normal. Kara tak tahu apa yang harus ia khawatirkan selain suaminya ternyata tidak setia. Ada perasaan jijik di hati Kara. Membayangkan Garvin bersama wanita lain, lalu akan kembali lagi melakukan bersamanya. Bagaimana jika ia menularkan penyakit? Kara bergidik nger
Seorang raja membutuhkan ratu, istri sah raja adalah ratu. Sedangkan wanita lain yang tidak dinikahkan adalah gundik. Kara tertawa dalam hati pada pemikirannya sendiri. Nyatanya justru derajat dia lebih rendah dari gundik. Wanita itu bahkan bisa makan malam mewah bersama Garvin, sedangkan Kara tidak pernah di bawa Garvin ke tempat umum.Oh, gundik tetaplah gundik. Apa pun namanya, istilah yang digunakan, tapi arrrggghhh. Kara mengetuk kepala di jendela mobil. Ia hanya istri tak di anggap yang berusaha menghibur diri agar tampak berharga. Paling tidak bagi dirinya sendiri.Kesedihan merayapi hati Kara. Ia memang tidak mencintai Garvin pada awal menikah, hanya bersenang-senang karena bisa mengumpulkan kekayaan dengan cara mudah. Namun bukan berarti Kara sudi diperlakukan seperti ini. Garvin hanya datang ketika dia merindukan Amara, dan menagih seks pada tubuh Kara. Seharusnya ia membeli sex doll, makinya.Aku tidak yakin ini normal. Kara membatin, dia bukan
Garvin berhasil memainkan perasaannya. Ia membuat Kara terombang-ambing dalam kebimbangan. Setelah menghilang berapa hari tanpa kabar. Garvin muncul dengan buket bunga. Mawar merah dengan kuntum yang besar berada dalam genggaman Kara. Cincin berlian pun di lingkari Garvin di jari manis Kara. Membuat ia tersenyum canggung.Perasaan bersalah menyelusup hati Kara karena prasangka buruk terhadap Garvin berapa hari terakhir ini. Ia juga mengkhianati Garvin karena bertemu dengan lelaki lain, tapi tunggu dulu. Bukankah Garvin bersama artis seksi itu."Kamu kemarin kemana bersama Berlian?" tanya Kara dengan suara serak. Sial, padahal aku tak bermaksud tampak memelas seperti ini. Rutuknya dalam hati, ia merasa kesal pada diri sendiri karena tak berhasil kuat di hadapan Garvin."Aku membantu seorang teman lama, sayang.""Membantu? Dengan membawanya ke rumah?""Ada barang ku ketinggalan. Jadi kami mampir sebentar." kemudian Garvin menambahkan dengan nada pela
Jejeran tas dari merek terkenal begitu menawan di walking closet. Begitu pula sepatu cantik, tapi mau dikenakan buat apa? Kegiatan yang Kara lakukan hanya bolak-balik dalam rumah. Melihat para pelayan yang mencuri pandang ke arahnya, atau sekedar berkeliling mengitari rumah. Rutinitas yang membosankan bagi wanita seperti Kara Garvita. Dia tidak punya circle friends, kehidupan sosial, Kara hanya mempunyai dirinya sendiri. Kebosanan dan sepi seakan menjadi teman dalam hidup Kara. Tidak lama kemudian diam-diam ia mengirim pesan kepada Adam dari nomor handphone satu lagi yang tidak di ketahui Garvin. Membahas investasi uang yang ia berikan. Kara meminta Adam menanamkan dalam pembelian saham. Perlahan ia harus menyiapkan diri, membuka peluang mandiri yang tak diketahui suaminya. Iseng Kara membuka televisi hanya untuk mendapatkan kabar tentang Berlian Diatresa dan pengusaha muda, Garvin. Bola mata Kara hampir keluar dari soket. Sungguh menyesakkan mendengar tayangan