MasukDari balik jendela besar ruang kerjanya, Drazhan menatap lampu-lampu kota yang berkelip di kejauhan seperti ribuan mata yang mengintainya. Hujan baru saja reda, menyisakan genangan air di jalanan dan udara dingin yang menusuk. Di tangannya, segelas bourbon belum tersentuh. Es di dalamnya sudah mencair, tapi pikirannya masih sama, panas, bergejolak, dan tak bisa dijinakkan.
Suara langkah kaki mendekat. Rafael masuk dengan hormat, membungkuk tipis. “Anda memanggil saya, Tuan?” Drazhan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap kaca besar di depannya, pantulan wajahnya terlihat samar, berdampingan dengan bayangan Rafael di belakang. “Kamu sudah lama di rumah ini,” katanya pelan, nada suaranya berat dan dalam. “Kamu tahu setiap sudut, setiap rahasia. Aku menghargainya.” Rafael diam, menunggu. Drazhan berbalik. Tatapannya tajam, seperti pisau yang baru diasah. “Aku punya misi untukmu.” Rafael mengangguk. “Perintah apa, Tuan?” “Pergilah ke Odessa. Ada pengiriman senjata yang harus diamankan. Seseorang mencoba mengambil alih jalur distribusi kita di pelabuhan timur.” Drazhan mendekat, matanya menatap lurus ke arah bawahannya itu. “Kamu orang yang paling kupercaya.” Rafael sedikit ragu. “Perjalanan itu akan memakan waktu lama, Tuan. Apakah tidak ada orang lain yang bisa....” “Tidak,” potong Drazhan tajam. “Aku ingin kamu sendiri yang menanganinya.” Rafael menunduk. Ia tahu, dalam dunia ini, terlalu banyak alasan yang tidak diucapkan secara langsung tapi dari tatapan Drazhan, ia bisa membaca sesuatu yang berbeda, bukan sekadar perintah bisnis, melainkan keinginan untuk menjauhkan seseorang. “Baik, Tuan. Saya akan berangkat besok pagi.” Drazhan tidak menjawab. Ia berjalan menuju meja kerjanya, menyalakan cerutu dan menarik napas panjang. Asap pekat memenuhi udara, bercampur aroma bourbon dan kayu mahoni. “Pastikan tidak ada yang tahu kamu pergi atas perintahku. Katakan ini hanya urusan pribadi.” Rafael menatap Drazhan sejenak sebelum membungkuk lagi. “Saya mengerti.” Saat Rafael melangkah keluar, Drazhan berdiri diam. Tatapannya mengikuti bayangan pria itu hingga menghilang di balik pintu. Ia menarik napas dalam, menahan gelombang perasaan yang semakin sulit dikendalikan. Ia tahu apa yang ia lakukan. Ia tahu mengapa ia melakukannya. Ia ingin Alessia sendiri. Ia ingin tahu, apakah jika kesepian, gadis itu akan datang padanya, akan mencarinya, atau sekadar menyebut namanya? Tapi di sudut hatinya yang gelap, ia juga tahu bahwa semua itu hanya alasan untuk menutupi kenyataan lain, ia takut pada perasaannya sendiri. *** Keesokan paginya, rumah terasa berbeda. Udara yang biasanya tenang kini kental dengan kesunyian. Rafael sudah pergi sejak fajar. Alessia baru tahu saat pelayan membawakan sarapan dengan ekspresi kaku. “Rafael ke Odessa?” tanyanya pelan. “Kenapa tidak pamit padaku?” Pelayan itu menunduk. “Maaf, Nyonya. Tuan Drazhan yang memberi perintah langsung.” Alessia menatap ke luar jendela. Embun masih menempel di kaca, tapi udara pagi ini terasa aneh, lebih dingin, lebih menyesakkan. Ia menggenggam sendok, tapi tangannya bergetar tanpa alasan yang jelas. Sejak malam sebelumnya, ia belum bertemu Drazhan, tidak juga mendengar langkah-langkah berat pria itu di lorong. Namun, entah mengapa, kehadirannya terasa di setiap sudut rumah, menyelinap seperti bayangan yang mengintai dari balik tirai. "Jika Anda sudah selesai makan, pencet bel saja, Nyonya. Saya akan bereskan semuanya." "Bereskan sekarang." "Sarapan Anda belum habis." "Aku sudah tidak lapar, aku ke ruang baca dulu." "Baik." Pelayan itu hanya menundukkan kepala dan tidak berani membantah sedikit pun. Alessia tidak nafsu makan, ia memilih duduk di ruang baca, mengenakan sweater tipis, matanya menatap jendela berkabut. Ia membuka buku, tapi pikirannya melayang. Rumah rasanya terlalu sepi tanpa Rafael. Tak ada lagi suara langkah yang tenang, tak ada percakapan ringan yang menenangkan. Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari arah pintu. Alessia menegakkan tubuhnya spontan. Drazhan berdiri di ambang pintu. Dia tampak baru pulang, mantel hitamnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit berantakan, dan aura dingin memancar dari seluruh tubuhnya. Ia menatap Alessia lama, seolah memastikan sesuatu yang tak bisa diucapkan. “Kenapa kamu duduk di sini sendirian?” tanyanya datar. Alessia berusaha tenang. “Hanya membaca. Rumah ini terlalu sepi tanpa Rafael.” Seketika mata Drazhan berubah. “Rafael?” nada suaranya menegang, seperti tali yang siap putus. “Apa dia begitu penting bagimu sampai kamu merasa kesepian hanya karena dia tidak ada?” Alessia terdiam. “Bukan begitu, aku hanya....” “Sudahlah.” Drazhan melangkah masuk, suaranya dingin. “Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun padaku.” Ia berjalan melewati Alessia, tapi langkahnya melambat, seolah tubuhnya menolak meninggalkan gadis itu. Ia berhenti di belakangnya, menatap bahu rapuh yang dibungkus kain lembut itu. “Tapi aku ingin kamu ingat satu hal, Alessia,” katanya perlahan, suaranya nyaris seperti desisan. “Di rumah ini, kamu tidak membutuhkan siapa pun kecuali aku.” Alessia menoleh pelan, matanya membulat oleh ketakutan dan kebingungan. “Apa maksudmu?” Drazhan menatapnya lama, lalu menghela napas, menunduk pelan. “Tidak ada, lupakan.” Ia menatap buku di pangkuan Alessia. “Apa yang kamu baca?” “Puisi,” jawab Alessia pelan. “Tentang seseorang yang menunggu tapi tidak pernah benar-benar dicintai.” Drazhan menatap bibir gadis itu bergerak dan entah kenapa, kata “tidak pernah dicintai” menampar sesuatu dalam dirinya. Ia mundur setapak, menahan napas. “Jangan terlalu dalam membaca hal-hal seperti itu,” ujarnya dingin, menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menyeruak. “Puisi bisa membuatmu bodoh.” Alessia menunduk. “Mungkin memang aku sudah bodoh sejak awal.” Drazhan membeku. Kalimat itu sederhana tapi suaranya menggetarkan udara di antara mereka. Ia ingin mendekat. Ingin menangkup wajah gadis itu, menatap matanya lebih dalam, mencari tahu apa yang tersembunyi di balik ketakutannya tapi bayangan Seraphine melintas di kepalanya, tatapan tajam wanita itu, kata-katanya yang dingin saat malam kesepakatan dibuat. “Kau boleh memiliki tubuhnya tapi jangan sentuh hatinya. Itu bagian dari rencanaku.” Drazhan untuk pertama kalinya, takut pada godaan yang datang dari hatinya sendiri. Ia menatap Alessia, jemarinya hampir terulur ke pipinya tapi pada detik terakhir, ia menarik tangannya dan memalingkan wajah. “Pergilah berjalan-jalan,” katanya cepat. “Kamu harus terlihat sempurna.” Ia berbalik, melangkah ke luar ruangan tanpa menatap lagi tapi begitu pintu tertutup di belakangnya, Drazhan bersandar pada dinding, memejamkan mata, napasnya berat dan kacau. “Apa yang kamu lakukan padaku, Alessia?” bisiknya lagi, sama seperti malam sebelumnya. “Jika kesepian membuatmu datang padaku,” ujarnya lirih, “maka aku akan membiarkan dunia ini hancur demi melihatmu memintaku untuk tetap tinggal.” Dan di luar sana, petir menyambar. Lampu redup dan bergetar, seperti menandai awal dari sesuatu yang tak bisa lagi dihentikan.Lima menit setelah kejadian di balkon, seluruh komplek mansion berubah menjadi benteng perang. Lampu sorot dinyalakan, alarm keamanan tersembunyi aktif dan puluhan anak buah Drazhan diposisikan di sudut-sudut strategis. Senjata berat muncul dari ruang bawah tanah seperti hewan buas yang dibangunkan.Drazhan duduk di tepi ranjang Alessia, mengusap perlahan pipi istrinya yang masih berdarah. Luka tipis, tapi cukup untuk membuat amarahnya melonjak melewati batas manusia.Dokter pribadi Drazhan mengobati luka Alessia tapi tangan Drazhan tidak pernah sekali pun melepaskan pinggangnya. Tubuh Alessia masih gemetar, ekspresinya pucat dan itu saja cukup untuk menyalakan neraka di dada Drazhan.Ketika dokter selesai, Drazhan berdiri dalam diam yang mematikan.Rafael tahu tanda itu. Semua orang di ruangan tahu. Drazhan bukan hanya marah. Dia berubah menjadi sesuatu yang tidak boleh dibangunkan.“Rafael,” vokalnya rendah bagai racun.“Ya, Tuan?”“Siapkan mobil lapis baja. Bawa orang-orang yang se
Malam itu sunyi, terlalu sunyi. Tidak ada burung malam, tidak ada angin yang menerpa pepohonan. Seolah dunia menahan napas.Alessia berdiri di balkon kamarnya, memandang lampu-lampu taman sendirian. Drazhan sedang berada di ruang rapat bawah, mengatur serangan selanjutnya untuk memburu Seraphine san anehnya, Alessia merasa ada sesuatu di udara yang tidak bisa ia jelaskan. Rasa dingin yang bukan berasal dari hujan. Ia memeluk dirinya, hendak masuk kembali ke kamarSaat Alessia berjalan satu langkah, ia mendengar suara kecil. Suara yang tak wajar. Ia segera menoleh dan mendapati sebuah batu kecil memantul di lantai balkon. Terikat pada seutas tali tipis warna hitam.Alessia mendekat perlahan. Jantungnya mulai berdegup aneh ketika ia meraih benda itu..Batu itu diikatkan pada sebilah gigi manusia.Darahnya langsung membeku. Tangannya bergetar, hampir menjatuhkan benda mengerikan itu. Sebelum Alessia bisa bergerak, sesuatu berdesing cepat dari bawah. Suara tembakan cukup keras dan kaca bal
Rumah besar milik Alexei dipenuhi ketegangan yang menajamkan udara malam. Pintu ruang kerja terbanting ketika Alexei masuk, wajahnya gelap, sorot matanya tajam seperti bilah yang baru diasah. “Dia kabur,” desisnya, suaranya rendah namun penuh ledakan yang tertahan. Viktor yang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. “Seraphine tidak punya cukup orang untuk melakukan itu. Siapa pun yang membawanya keluar pasti bukan kelompok kecil.” Alexei menghantam meja kayu dengan tinjunya..“Dia tidak bisa menghilang begitu saja! Dia tidak cukup pintar untuk merencanakan pelarian bersih.” “Kami dapat laporan dari lapangan.” Mikhail meletakkan beberapa berkas dan foto di meja. “Orang yang membawa Seraphine kabur menghancurkan semua CCTV tapi ada satu hal, satu kesalahan kecil.” Alexei mendekat dengan langkah besar, meraih foto buram yang dicetak dari rekaman terakhir CCTV sebelum kamera dihancurkan. Gambar itu menunjukkan seorang pria berjas gelap keluar dari mobil van. Hanya sebagian wajah
Van hitam itu berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Udara di dalam pengap, bau besi karat dan bahan bakar memenuhi ruangan. Seraphine terseret keluar oleh dua pria bersenjata, lalu diseret ke sebuah ruangan luas yang diterangi satu lampu gantung berayun pelan. “Lepaskan dia!” Suara itu berat, dalam, dan mengandung wibawa dingin yang langsung membuat seluruh penjaga menunduk. Seraphine mendongak pelan, pandangannya kabur tapi tajam. Di hadapannya berdiri seorang pria berusia sekitar lima puluhan, mengenakan mantel hitam panjang, dengan mata tajam yang mirip dengan mata milik Drazhan, namun lebih tua, lebih licik. Pipi kirinya menyimpan luka lama yang membentuk garis miring dari tulang pipi hingga rahang. “Sergei,” desis Seraphine pelan. “Aku pikir kamu sudah mati beberapa tahun lalu, bahkan aku sempat menghadiri pemakamanmu.” Pria itu tersenyum miring. “Dunia hanya tahu apa yang kuizinkan mereka tahu.” Seraphine menatapnya lekat-lekat, lalu tertawa lirih. “Jadi, paman
Langit sore di atas gedung pengadilan tampak berat, seakan ikut menindih setiap napas yang keluar dari dada Seraphine. Ia duduk di kursi terdakwa dengan borgol di pergelangan tangan, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan senyum tipis yang selama ini menjadi senjata paling mematikan kini tak lagi mampu menyembunyikan kehancurannya.Ruang sidang dipenuhi wartawan dan pejabat tinggi. Mikrofon-mikrofon diarahkan padanya, kilatan lampu kamera menyambar tanpa henti. Di meja depan, jaksa membacakan tuntutan dengan suara lantang, setiap kata mengiris seperti belati.“Terdakwa Nona Seraphine dijatuhi dakwaan berlapis, penculikan, penyiksaan berat, percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Alessia Drazhan, serta pembunuhan berencana terhadap dua korban lain. Semua bukti telah dinyatakan sah dan tak terbantahkan.”Seraphine mendengar dakwaan untuknya tanpa berkedip. Semua urat-uratnya terasa menegang, ia belum siap dengan semua ini. Ia ingin memohon pada Drazhan yang hadir paling depan tapi pria
Udara di dalam sel itu lembap, bau karat bercampur keringat dan sabun murahan menyesakkan dada. Seraphine duduk bersandar pada dinding dingin di pojok ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Matanya menatap kosong pada bayangan dirinya yang terpantul samar di lantai semen yang basah.Tak ada cermin besar di sini.Tak ada cahaya kamera.Tak ada tepuk tangan, make-up, atau baju mahal yang dulu membuatnya tampak seperti dewi.Hanya wajah pucat dengan mata sembab dan rambut yang kusut, lepek oleh keringat dan air mata.Hari pertama ia masih menjerit, memaki sipir dan semua orang yang lewat di koridor. Hari kedua, ia mulai diam. Hari ketiga, semua teriakannya berubah menjadi bisikan.“Aku bukan penjahat.”“Aku hanya mencintainya.”Namun bisikan itu tak menggema ke mana pun. Dinding penjara hanya memantulkan kejujuran yang selama ini ia tutupi di balik glamor.Seraphine memejamkan mata. Dalam pikirannya, wajah Drazhan kembali muncul. Tegas, dingin. Namun dulu, ia pernah melihat senyum di wa







