Share

Bab 4. Tidak Dianggap

Mosa kemudian tertidur dengan kepala pusing. 

Esok harinya, Mosa sudah bersiap untuk sholat subuh tetapi dia malah merasa pusing kembali. 

Mosa mencoba mengatakan kepada Roni, "Mas, kepalaku pusing," ucapnya. 

"Terus? Urus dirimulah. Kamu guru masa gitu saja nggak bisa nangani. Aku sibuk, kata ibu aku juga harus tetap menjaga diri, karena ibuku selalu bisa mensupport aku," sahut Roni. 

"Aku pusing, Mas. Aku cuma mengatakan ini setidaknya kamu mengerti atau membantuku melakukan sesuatu,"

"Lakukan saja sendiri, aku mau ke rumah ibu karena ada keperluan,"

"Kamu keterlaluan, Mas. Aku tahu anak laki-laki harus selalu patuh sama ibunya… " belum selesai Mosa mengatakan sudah dipotong Roni. 

"Kamu tahu, jadi jangan halangi aku untuk berbakti kepada orangtua. Karena tanpa mereka aku bukan siapa-siapa. Lagian cuma pusing saja kamu sudah ribet, gimana kamu sakit yang lebih parah. Aku saja selalu diberi semangat ibu dan akhirnya aku bisa melalui semua. Ibu adalah orang yang terbaik untukku,"

Mendengar penjelasan Roni, hati Mosa cukup sakit. Dia selalu membela ibunya daripada istrinya. Bahkan istrinya seperti tidak dianggap siapa-siapa.

"Aku mau pulang," celetuk Mosa. 

"Oh, kamu mau pulang silakan saja! Aku tidak melarang justru bagus. Aku bisa terus fokus sama orangtuaku. Karena kehadiranmu di sini membuat aku sedikit muak," sahut Roni. 

Air mata Mosa mengalir deras, dia sudah mengira jika Roni tidak akan menghalangi niatnya untuk pulang. Tetapi alasan untuk mengizinkan Mosa pulang makin membuat nya sakit hati. 

"Baiklah, aku mau pulang. Mungkin tidak kembali. Aku merasa tidak dianggap di sini. Aku hanya ingin membuat kamu bahagia, walaupun tanpa kehadiranku yang menurut kamu, aku adalah penghalang untuk kamu dan orangtuamu."

"Ya silakan. Uang yang aku kasih ke kamu masih cukuplah untuk ongkos kamu pulang." 

Mosa tidak menjawab pertanyaan Roni. Dia menuju kamar untuk mengemas barang-barangnya. Tidak lama kemudian Mosa pun keluar kamar dan membawa tas ransel.

"Aku pamit, Assalamualaikum," ucap Mosa. 

"Walaikumsalam, kamu pamit sama orangtuaku juga!" sahut Roni. 

Mosa kemudian menuju rumah mertuanya dan berpamitan. 

"Kamu mau kemana?" tanya Sarni. 

"Saya mau pulang, Bu," jawab Mosa menunduk. 

"Kamu baru nikah udah bikin masalah saja, pantesan anakku nggak suka sama kamu. Pemikiran guru kok nggak dewasa. Harusnya kamu bersyukur bisa nikah sama anakku, karena dia sudah memiliki rumah penghasilannya pun banyak. Kamu tinggal menikmatinya saja pakai sok-sokan. Gaji kamu jadi guru mana ada apa-apannya sama gaji Roni, dia pengusaha, kalau pulang, pulang saja sana! Jangan kembali. Dasar anak nggak tahu diuntung. Anak gobl*k, kalau tahu kamu seperti ini bikin malu keluarga saja," makian Sarni kepada Mosa. 

"Maaf, saya hanya ingin berpamitan," sahut Mosa dengan masih berderai air mata. Dia tidak menyangka kalimat yang dilontarkan mertuanya, padahal selama ini meskipun dalam keluarga yang broken home dirinya tidak pernah dikatakan seperti itu. 

Hati Mosa benar-benar hancur, Roni justru melihat tanpa membela sedikit pun istrinya. Roni juga takut jika ibunya akan marah kepadanya. 

Sesaat kemudian Mosa pun telah pergi, tiggal Sarni dan juga Roni. 

"Istrimu kayak orang nggak berpendidikan saja, kamu menikah malah dibikin malu. Belum juga sepasar kamu nikah udah ditinggal pulang. Kamu jangan susul dia, lebih baik dia pergi dan kamu cari perempuan lain yang bisa mengerti kamu! Jangan seperti dia. Kalau saja Bapakmu bisa lebih memilih perempuan yang baik, pasti kejadiannya tidak akan seperti ini," tutur Sarni. 

"Iya, Bu. Aku juga menyesal telah menikah sama dia. Bapak dan Ibu udah bela-belain mau nikahin aku sama dia, eh dianya kurang ajar," sahut Roni. 

Roni tidak menyadari jika kesalahan ada pada dirinya. Padahal sebagai suami harus bisa menjaga nama baik pasangan. Apalagi Mosa sudah dijatuhkan harga dirinya di depannya dan juga ibunya. 

Roni tidak memikirkan bagaimana menjadi seorang suami. Padahal dirinya sering sholat di masjid dan mengikuti kegiatan keagamaan tetapi dia tidak paham bagaimana memperlakukan istri dengan baik. 

Roni hanya terus mendengar perkataan ibunya, entah benar entah salah yang menjadi panutan adalah ibunya kedua adalah bapaknya. 

Tentu hal ini tidak dibenarkan. Mosa seharusnya bisa nyaman dengan suami yang bisa mengayomi serta melindunginya justru mendapatkan perlakuan yang tidak baik. 

Roni kemudian bersantai di rumah Sarni dengan tidak memikirkan Mosa. Dia justru melupakan kejadian tadi.

Saat ini Mosa sudah sampai di rumahnya. Karena memang jarak rumah Mosa dan Roni tidak terlalu jauh, hanya cukup mengendarai angkot dalam waktu beberapa menit.

Mosa langsung masuk ke rumah. Di rumah keadaan cukup sepi karena hanya ada Mina. 

"Assalamualaikum," ucap Mosa memasuki rumah dengan berlinang air mata.

"Walaikumsalam," sahut Mina yang duduk di depan televisi. "Kamu kenapa pulang, nak? Menangis begini. Kamu kenapa?" tanyanya. 

"Aku pergi dari sana, di sana aku tidak dianggap. Aku hanya dimaki-maki, Mas Roni hanya mengikuti perkataan ibunya. Tidak pernah sekalipun membela aku. Walaupun aku sudah bersikap baik dan mencoba menerima mereka, tetapi mereka hanya memandang aku sebelah mata, bahkan sejak aku menginjakkan kaki di sana. Maaf, Bu, aku membuat Ibu pasti sedih. Aku kemarin sempat berbohong kalau di sana aku baik-baik saja, padahal aku di sana sangatlah tersiksa. Mas Roni sama sekali tidak menganggap aku istri, dia hanya mengajak aku berbicara ketika aku bertanya, selain itu dia tidak pernah mengajak aku berbicara," Mosa menjelaskan, dia sebenarnya masih merasa pusing tetapi karena masalah yang dia hadapi menjadikan pusingnya terabaikan dan tiba-tiba dia jatuh pingsan. 

Brug. 

"Ya Allah, Mosa. Kenapa sampai begini?" Mina kemudian mengambil minyak angin dan memberikan kepada Mosa di beberapa bagian tubuhnya. 

Beberapa saat kemudian Mosa terbangun. 

"Alhamdulilah, kamu sudah sadar," ucap Mina. 

Mosa kembali menangis, seakan dia tidak bisa melupakan kejadian yang baru saja terjadi. 

"Kamu yang sabar. Kamu sebaiknya di sini untuk menenangkan pikiranmu, Ibu kemarin merasa perasaan ibu tak enak karena memikirkan kamu makanya Ibu nelpon, tapi kamu bilang kamu baik-baik saja. Jujur Ibu tidak langsung percaya, karena perasaan Ibu tidak bisa dibohongi meskipun ada kebohongan. Mungkin kamu berusaha menutupi itu semua dari Ibu agar tidak membuat Ibu kepikiran. Tapi Ibu pernah mengandung kamu, dan merawat kamu sampai besar. Perasaan Ibu cukup peka ketika anak Ibu sedang ada masalah, meskipun Ibu juga tidak tahu masalah apa." 

"Tetapi yakinlah, Ibu akan selalu ada untuk kamu. Mungkin Ibu Mertuamu juga merasakan hal yang sama. Tetapi dari cerita didikannya yang kurang tepat. Harusnya Roni bisa diarahkan agar bisa menghargai istrinya dan memperlakukan istrinya dengan baik."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
bagus sekali ceritanya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status