Dari sore Ghina sudah bersiap dan tampil cantik, selain menutupi bekas lukanya dengan foundation tebal, wanita memakai poni hingga menutupi keningnya menyamarkan. Baru kali ini dia menggunting rambut dan membuatnya poni, terlihat tambah manis dan imut tanpa mengurangi seksi dari tatapan mata dan bibirnya.Dengan pakaian sedikit formil namun masih seksi, Ghina menunggu mobil yang katanya akan tiba dalam waktu 5 menit untuk menjemputnya di lobby apartement.Tin!Klakson semua mobil mewah berbunyi mengisyaratkan kalau mobil itu datang menjemput Ghina.Dengan kaca hitam yang terbuka sedikit Ghina dapat melihat siapa yang duduk di dalam. Mr.Jansen jauh lebih tampan aslinya dibandingkan pada foto yang mami berikan."Selamat malam," salam Ghina setelah dia masuk ke dalam mobil itu."Selamat malam juga, Ghina. Kamu ternyata sangat cantik," puji Jansen."Terima kasih, Anda juga terlihat tampan," balas Ghina dengan senyum terbaiknya.Sepanjang jalan Ghina hanya terdiam karena Jansen sibuk denga
"Kamu tunggu di mobil aja, Bar. Saya tidak lama," titah Zalman pada sang supir pribadi."Siap, Tuan." Sudah biasa baginya menurunkan sang majikan di pintu utama sebuah gedung kemudian dia memarkir mobil di area parkir dan menunggu hingga Zalman menghubunginya kembali untuk minta jemput.Zalman masuk ke dalam rumah sakit dengan membawa bingkisan buah yang dia beli saat perjalanan tadi.***Betapa terkejutnya Zalman saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap Ghina, tapi ternyata ruangan itu kosong hanya ada ranjang yang sudah rapih.Pria itu kembali keluar kamar dan menghampiri meja jaga khusus suster dan dokter berada."Sus, pasien di kamar VIP atas nama Ghina kemana ya?" tanya Zalman pada salah satu suster jaga di sana."Mba Ghina sudah pulang, Pak. Setengah jam yang lalu setelah kunjungan dokter, beliau memaksa pulang," jawab suster bernama May di nametag-nya.Zalman mengeraskan rahang.'Kenapa dia tidak memberi kabar padaku.' Bathinnya."Apa dia meninggalkan nomer telpon yang bisa di h
"Waalaikumsalam, Vin. Kamu di mana sekarang?" balas Zalman sekaligus menanyakan keberadaan sang putra."Aku di kantin kampus, Pa. Baru selesai makan siang dan mau kembali ke kelas." Di sana Calvin menunjukan suasana keramain kantin kampus dengan kamera ponselnya sambil merapihkan topi dan jaket tebalnya."Makan siang sama siapa?""Sama teman-teman, kenapa?""Belajar yang benar, Calvin! Jangan pacaran terus," nasehat Zalman."Wahhh si kembar cerita apa, Pa?" Calvin langsung paham kemana arah pembicaraan papanya. Pasti adik sepupunya yang kembar lah yang mengadu kalau dia memiliki pacar baru. Pasalnya tadi pagi keduanya melakukan panggilan dengan video saat Calvin baru tiba di kampus untuk kuliah bersama seorang gadis dan gadis itu berbeda dari gadis yang biasanya."Si kembar tidak cerita apa-apa, kami sedang makan malam, sudah ya, take care, Assalamualaikum," pamit Zalman."Awas ya kalian kalau mengadu yang tidak-tidak sama papa, aku pulang ke Indonesia nanti ku jitak!" teriak Calvin s
Ponsel Zalman berbunyi, Ghina langsung terdiam dan menatap Zalman yang tengah berjalan menuju meja dan mengambil ponselnya yang tergeletak di sana."Assalamualaikum," sapa Zalman lebih dahulu saat menjawab panggilan dari sang putri."Waalaikumsalam. Papa di mana? Kok belum pulang?" suara nyaring Kila sampai terdengar oleh Ghina walau tidak di speaker. Hingga membuat wanita berparas manis itu tersenyum getir merasa tidak enak karena Zalman menunggunya di rumah sakit padahal dia tengah di tunggu oleh anak-anaknya di rumah bahkan istrinya juga. Ya, istrinya. Kenapa Ghina bisa melupakan kalau pria itu sudah menikah, memiliki istri dan anak di rumah. Ghina merutuki dirinya yang malah sempat bahagia karena ada Zalman di sana menemaninya."Papa masih di rumah sakit, Sayang. Apa kamu sudah pulanng sekolah?" balas Zalman sambil menatap Ghina yang tengah menunduk."Iya aku sudah pulang sekolah tapi papa gak ada di rumah," protes Kila di seberang sana.Zalman menghela napas panjang dengan memij
"Kenapa Anda panggil saya dengan sebutan 'Tuan', heum?""Soalnya Pak Akbar tadi-""Dia itu karyawan saya, sedangkan Anda bukan, rasanya canggung sekali, bukan? Bagaimana kalau panggil nama saja? Zalman atau Alman?"Kepala Ghina menggeleng, "Tidak sopan rasanya memanggil orang yang lebih di atas saya usianya, terlebih orang tersebut sudah berjasa menolong saya," kelit Ghina. "Bagaimana ... Heum, kalau saya panggil Mas Alman?""Itu lebih baik, Mba Ghina, saya suka kamu memanggil saya dengan sebutan 'Mas' dari pada 'Tuan' seperti tadi," ucap Zalman.Seperti Ghina yang merubah panggilannya, Zalman juga merubah panggilannya dari 'Anda' menjadi 'Kamu' untuk Ghina."So, mau yang mana?" tanya Zalman.Ghina belum menjawab dia bimbang memilih antara makanan rumah sakit dan makan siang milik Zalman.Baru saja Ghina hendak membuka mulut untuk bicara."Kamu makan ini, biar saya makan makanan rumah sakit ini, terlihat lezat." Pria itu mengambil nampan milik Ghina dan kemudian mendekatkan makan sian
Ghina baru menyadari yang di maksud Akbar adalah Zalman, pria yang sudah menolongnya semalam. Kenapa seketika dia menjadi lambat dalam berpikir, mungkin ini karena benturan di kepalanya, pikir Ghina.Ghina terpaku saat melihat penampilan Zalman tampak segar dan lebih santai dengan celana panjang berbahan denim dan kaos berwarna putih, rambut yang masih sedikit basah membuat pesonanya bertambah di mata Ghina.Seketika Ghina menggeleng cepat dan melempar asal tatapannya saat Kedua matanya bertemu dengan mata Zalman. Pipinya merona seperti tomat karena tertangkap sedang menatap Zalman dengan intens."Oh, i-iya. Maaf saya lupa, kepala saya-""Sakit ya, Bu? Saya panggilkan dokter ya," potong Akbar cepat yang langsung keluar tanpa mengindahkan penolakan Ghina."Kamu sudah bangun?" tanya Zalman, pria itu melangkah ke arah sofa dan memasukan pakaian kotornya ke dalam paperbag yang kosong. Begitu juga dengan handuk yang di pakai untuk mengeringkan kepalanya.Kepala Ghina mengangguk saja memben