"Bundo, aku mau berhenti kerja." kuutarakan rencanaku pada Bundo untuk melihat bagaimana reaksi ibuku.
"Apa Keanu yang meminta?"Aku menghela napas panjang. Bingung bagaimana menjelaskan pada Bundo tentang kandasnya hubunganku dengan pria itu. Saat ini aku belum siap mengatakannya pada kedua orangtuaku, karena belum menemukan alasan selain perselingkuhan yang dilakukan Keanu.Aku memilih untuk menyimpannya untuk saat ini, lalu mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya nanti."Mei?" Panggilan Bundo menyadarkanku bahwa panggilan masih tersambung."Bukan. Aku sudah merasa capek kerja tak tentu waktu seperti ini."Kenapa, Bun?" Kali ini suara ayah yang terdengar di samping Bundo."Mei mau berhenti kerja." Terdengar Bundo menyahut."Mei, apa rencanamu setelah berhenti kerja?" Ayah mengambil alih percakapan."Untuk saat ini mau menikmati dulu jadi pengangguran, Yah." Aku terkekeh setelah mengatakan hal itu."PulangAku baru sampai di apartemen ketika bundo menelpon. Buru-buru kuterima panggilan bundo sambil merebahkan diri di sofa. "Mei, apa benar kamu putus sama Keanu?" cecar Bundo begitu panggilan tersambung. Sontak aku menegakkan tubuh dengan memijat pelipis. Suara bundo terdengar kurang bersahabat. Tak biasanya seperti itu. "Bundo tau dari siapa?" tanyaku takut-takut. "Tadi ayah menelpon Om Danu, katanya kalian enggak jadi ngelanjutin hubungan kalian." Suara bundo kali ini terdengar agak tertekan. Aku menelan ludah. Bingung bagaimana cara memulai untuk menceritakannya. "Iya, Bun ... sebenarnya awal tahun, aku kebagian jadwal ke London ...." Lalu cerita tentang berakhirnya hubunganku dengan Keanu, kuceritakan secara jujur pada bundo. Tak ada yang kututupi. Aku tidak ingin mereka mengira nanti Adrian yang menjadi penyebab rusaknya hubunganku ketika aku mengenalkan pria itu kepada mereka. "Apa bukan salah paham saja? Kamu kadang suka memutuskan sesuatu secar
Adrian datang ke apartemenku tepat waktu. "Lagi ada masalah apa?" tanyanya begitu melihatku. Laki-laki itu terkadang seperti cenayang, ia bisa membaca pikiranku hanya dalam sekali lihat. Namun, aku tak serta merta mengutarakan apa yang mengusik pikiranku sedari tadi. "Nggak ada apa-apa," tepisku sambil lalu, ke pantry hendak menyiapkan minuman hangat untuknya. Adrian duduk di bangku pantry, menopang dagunya dengan tangan. Menatapku yang sibuk mengambil teh dan gula dari kabinet. "Tapi itu kerutan di jidat makin keliatan." Adrian terkekeh. "Ah! Kenapa selalu ketauan gini sih!" Aku ikut tertawa, menyadari bahwa aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari lelaki itu. Apa memang dia bisa membaca pikiranku? Adrian masih saja menatapku lekat. "Ada apa? Mau cerita?"Aku menghentikan kegiatanku menyeduh teh. Berbalik menatap Adrian. Lelaki itu tampak dengan sabar menungguku membuka suara. "Aku sekelas baking sama Rani." Aku menjeda, menunggu reaksi darinya.
Pertemuan kedua kelas baking, aku maupun Rani masih tak bertegur sapa. Rasanya sangat aneh, saat orang yang biasa menjadi tempatmu berbagi cerita selama ini, kini terasa bagai orang asing. Kali ini aku duduk berjauhan dengan Rani. Beruntung salah seorang teman kelas bakingku mengajak diskusi mengenai praktek kami hari ini. Sehingga pikiranku tak terlalu fokus pada masalah dengan Rani. Hari ini materi praktek kami adalah membuat adonan puff pastry. Adonan yang pengerjaannya memakan tenaga dan waktu ekstra saat melipat dan menggilas adonannya. "Lemes amat kayaknya, Mbak," ledek Daniel terkekeh-kekeh saat melihatku berkali-kali mengusap keringat dengan punggung tangan. "Hati-hati jangan terlalu dekat, udah punya orang, Nil!" celetuk Rani tiba-tiba. Kulihat sekilas Danil mengernyit. "Ya elah, cuma becanda gitu doang, Mbak," balas Danil. Sementara aku memilih diam, tak menanggapi kalimat yang dilontarkan Rani tersebut, meskipun dalam hati kesal juga. Entah bebera
Tidak pernah aku merasa setakut ini melihat Dendra. Tatapannya begitu mengintimidasi. Mengingatkanku pada sorot mata serigala yang hendak menerkam mangsa. Aku sudah pernah merasakan pengalaman antara hidup dan mati, tetapi berhadapan dengan Dendra seperti ini, membuat rasa takut saat menghadapi Nisya beberapa waktu lalu terasa tak ada apa-apanya.Kali ini tak terlihat peluang untuk melarikan diri karena Dendra memblokir jalan keluar. Aku beringsut mundur dengan tatapan terus waspada. Sialnya gerakanku tertahan karena mukena yang kupakai. Sekali lagi aku bermaksud berteriak minta tolong, tetapi lagi-lagi tak ada suara yang keluar. Bahkan suara jantungku lah yang terdengar lebih keras dari suaraku sendiri. "Kalau aku nggak bisa miliki kamu, yang lain juga nggak bisa," geram Dendra. Kali ini kemarahan terjejak di wajahnya. Sekonyong-konyong tubuh jangkungnya menerjang. Mengunci tubuhku di bawah tubuhnya. Aku memalingkan wajah saat wajahnya mendekat. "Kamu nggak ingat si
Pagi ini aku terbangun dengan tubuh yang terasa linu semua. Meskipun semalam aku sempat tertidur, tak lebih karena fisikku sudah terlalu lelah menjalani hari kemarin. Lalu tiba-tiba saja aku teringat Rani. Dengan emosi yang mendadak kembali muncul, aku mengambil ponsel dan mengetikkan pesan pada mantan sahabatku itu. [Makasih ya, Ran. Karena lo sukses menghancurkan hidup gue dan keluarga Dendra. Ntar gue kirimin deh lo tiket VIP ke neraka.]Nomor Rani kublokir setelahnya. Masih belum percaya, persahabatan yang sudah terjalin belasan tahun hancur begitu saja. Aku masih belum mengerti apa alasan Rani bisa berbuat setega itu padaku. Ketukan pelan di pintu, memutus nelangsa yang kurasa. "Mei, udah shalat?" Terdengar suara Adrian di luar kamar, teredam oleh pintu. Segera bangkit dari duduk, melupakan sejenak rasa sakit hati dikhianati sahabat yang begitu kupercaya semenjak dulu. "Belum," jawabku begitu membuka pintu dan mendapati lelaki itu berdiri di depan s
"Mei ...." Aku membuka mata tatkala suara berat itu memanggil. Kulihat wajah teduh itu menatapku khawatir. "Kamu mimpi apa?"Aku mengerjap, mengusap wajah yang basah oleh keringat bercampur airmata. Memindai ke seluruh ruangan, tak ada siapapun selain aku dan Adrian. Tangisku kembali pecah saat mengingat betapa nyatanya mimpi barusan. Bahkan aku seakan merasakan embusan napas Dendra di kulitku. Adrian memelukku, berusaha menenangkan. Namun, rasa takut itu seakan enyah pergi. "It's okay, I'm here." Berkali-kali ia mengucapkan kalimat itu, hingga terdengar seperti mantra. Perlahan tangisku mereda. Sedalam itu rasa trauma yang kudapat akibat perlakuan Dendra. Malam ini aku memaksa Adrian untuk mengantarku pulang ke apartemen. Ingin mengemasi barang-barang yang akan kubawa pulang ke kampung, menjadi alasan. "Beres packing, kita balik ke sini lagi ya!" pungkas Adrian memberikan jalan tengah. "Aku khawatir kamu malah mimpi seperti tadi lagi," imbuhnya. Se
Kalimat "Safe flight." Dan sebuah kecupan ringan di sisi kepala, melepas kepergianku kali ini. Adrian melipat bibir dan melambaikan tangannya saat aku berbalik dan menarik koper ke pintu keberangkatan. Ada rasa berat yang kurasakan kali ini. Biasanya setiap hendak pulang menemui kedua orangtuaku, aku selalu bersemangat. Lagi, aku menoleh ke belakang, di mana Adrian tadi kutinggalkan. Lelaki itu masih di sana, berdiri menatap ke arahku. Dia kembali melambai saat aku menoleh, dan aku hanya membalas dengan anggukan pelan dan senyum tipis, kemudian kembali berbalik, kali ini dengan langkah cepat. Kurasakan seperti ada yang berdenyut nyeri begitu mengingat wajah Adrian saat melepasku tadi. Kembali aku menoleh ke belakang, lelaki itu masih di sana, memperhatikanku seperti saat tadi aku melangkah masuk, dan senyum itu masih terpatri di bibirnya. Bukan senyum yang biasa ia tunjukkan saat menyambut kedatanganku, tetapi senyum yang dipaksakan. Jika boleh sedikit berbesar kepala, aku meng
Setelah menempuh perjalanan yang berbelok dan menanjak cukup tajam, melewati jalanan dengan pemandangan seolah berada di atas awan, akhirnya Uda Roni memarkirkan mobilnya di sebuah lahan parkir yang dikelilingi pohon pinus. Tempatnya tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mobil yang terparkir di sana. "Uda mau ikut?" tanyaku sekedar berbasa-basi. "Indak usah, Uni. Awak¹ tunggu di sini saja. Takutnya ada kenalan yang lihat, malah salah paham," sahut Uda Roni dengan sopan. "Nanti duduk kepisah aja, daripada nunggu di sini," tawarku sekali lagi. Aku merasa sungkan membiarkan orang lain menunggu, walaupun memang jasanya sudah kubayar. "Nanti saya pesan kopi buat diminum di sini saja." Sekali lagi Uda Roni menolak tawaranku. "Oh, ok!" Aku menyerah. Jangan sampai lelaki itu malah salah paham, mengira aku menggodanya. Akhirnya aku meninggalkan Uda Roni sendirian di parkiran, berjalan ke arah bangunan kafe yang terbuat dari bahan-bahan dari alam. Bangunan berd