Hari ini Raya harus pulang dalam keadaan lesu. Mediasi kali ini dirasa gagal. Gagal bagi Raya, sebab harus ada mediasi kedua setelah ini. Nampaknya Raihan benar-benar mempersulit gugatan Raya. Pukul 11.00 siang Raya sudah pulang ke rumah Aditya. Ketika langkahnya mulai masuk ke rumah, Raya mendengar suara tangisan bayi dari dalam. Seketika ia tersentak. Sudah bisa ditebak, tangisan bayi itu pasti milik Fatih.Raya segera mempercepat langkah menuju kamar Fatih. Di dalam kamar bayi itu, ia melihat Anita tengah memberikan ASI melalui dot dari botol susu. Tapi Fatih terlihat menolak sambil terus menangis. "Kenapa dengan Fatih, Tante?" tanya Raya sambil mendekat. Dia menjadi cemas mendengar tangisan Fatih yang tak biasa ditelinganya."Fatih haus, Raya. Dia minta ASI. Tapi menolak melalui dot bayi ini." Anita mengangkat botol yang berisi ASI Raya."Ya ampun." Saya segera menggendong Fatih kepangkuannya. Dipeluknya bayi tampan itu penuh kehangatan, hingga akhirnya Fatih menyudahi tangisann
Namun meskipun Raya terus menolak bantuan dari Aditya, tetap saja dengan sembunyi-sembunyi Aditya meminta bantuan pengacaranya untuk mengurus perceraian Raya.Hari berganti. Jadwal mediasi kedua telah tiba. Berat rasanya Raya meninggalkan Fatih, mengingat tempo lalu Fatih menangis karena terlalu lama Raya tinggalkan.Tapi mau bagaimana lagi, Raya harus tetap memenuhi jadwal mediasi kedua, agar gugatannya segera diterima. Hingga ketika matahari mulai naik ke atas, Raya masih berada di kamar Fatih, menatap bayi tampan itu cukup lama. "Kenapa masih belum berangkat? Bukankah hari ini ada jadwal mediasi?"Tiba-tiba saja Aditya datang menghampiri Raya di kamar Fatih, duda tampan itu bertanya dengan penuh perhatian kepada Raya."Saya bingung, Pak. Berat rasanya jika harus meninggalkan Fatih dalam beberapa jam. Saya sangat khawatir kalau Fatih akan menangis, seperti tempo lalu," jawab Raya terlihat lesu. Aditya yang sudah tahu kalau anaknya memang tidak mau minum ASI melalui dot bayi, hany
Raya melihat tubuh Wati digotong oleh beberapa orang ke pinggir jalan. Wanita berbulu mata lentik itu segera keluar dari kendaraan dan langsung mendekat pada Wati. Ia melangkah melewati beberapa orang yang berkerumun. "Permisi!"Dada Raya bergetar cemas. Debaran jantung terasa berdegup lebih kencang dari biasanya. Tepat di depan mata Raya, Wati tergeletak dengan beberapa luka di sekujur tubuhnya. Bukan hanya mantan mertua, Raya juga melihat Raihan—mantan suami yang turut menjadi korban kecelakaan tunggal pada hari itu. "Saya mengenal mereka, saya akan segera membawa mereka ke rumah sakit." Raya menjadi panik. Ia pun langsung berbicara pada beberapa orang yang berdiri mengelilingi Wati dan Raihan. Melalui sambungan telepon Raya segera menghubungi ambulans untuk membawa Wati dan Raihan ke rumah sakit. "Ma, bertahan ya." Air mata Raya menetes manakala naik mobil ambulans menamani Wati yang tak sadarkan diri. Karena panik dan tergesa-gesa, Raya sampai lupa menitipkan ponsel Aditya
Aditya terlihat kacau. Sang Presdir tak mampu mengendalikan emosinya. Ia juga lupa bahwa wanita yang telah dimarahi adalah ibu susu anaknya. Aditya terduduk sambil memasang wajah sinis dan berpangku tangan. Dia juga memalingkan tatapan ke arah yang lain, enggan untuk membalas tatapan Raya padanya. "Maafkan saya, Pak. Saya memang bersalah." Raya menundukan kepalanya. Dia melihat emosi Aditya persis seperti saat pertama bertemu dahulu.Ucapan maaf Raya tidak mendapat respon. Setelah meletakkan ponsel pintar milik Aditya di atas meja, Raya segera keluar dari ruangan Aditya. "Saya pamit," ucapnya sebelum berlalu. Akan tetapi Aditya masih tertuju dalam pandangan yang sama, seolah tak peduli dengan Raya.Raya sudah keluar dari ruangan Aditya, langkah pelannya sesekali berhenti. Raya menoleh ke arah belakang, tak ada Aditya di sana. Nampaknya sang presdir tak lagi perduli dengan perasaannya hingga tak mau mengejar langkah Raya."Dari mana kamu?" Raya tersentak, tiba-tiba saja Seline sudah
Sampai malam hari, Raya masih tertidur pulas akibat efek dari obat yang tercampur dalam minuman dingin berwarna merah di cafe tadi siang.Obat terlarang yang dimasukkan Selin ke dalam minuman Raya, langsung bereaksi hingga membuat Raya kehilangan akal."Saya harap, Ibu Raya tidak boleh memberikan ASI kepada bayinya. Pengaruh dari obat terlarang yang dikonsumsi dapat membahayakan bayi dan dapat menular melalui ASI." Penjelasan Dokter pribadi yang sengaja dipanggil oleh Anita sangat mengejutkan.Anita dan Aditya nampak terkejut. Keduanya merasa tak percaya jika memang selama ini Raya telah mengkonsumsi obat-obatan terlarang. "Dokter, apa ini serius? Rasanya Raya tidak mungkin mengkonsumsi obat-obatan terlarang." Anita berusaha membantah keadaan."Saya sudah memeriksanya. Semua tanda-tanda yang dialami oleh ibu Raya, adalah bagian dari pengaruh obat-obatan terlarang yang sudah dikonsumsi."Lagi-lagi Anita dibuat tercengang. Nafasnya terasa tersengal di tenggorokan. Ia duduk lesu di so
Satu hari setelah kejadian malam itu, semua orang berkumpul di ruang tengah kediaman Aditya. Di sana ada Anita, Aditya dan juga Raya. Berita mengejutkan itu telah sampai ke telinga Raya yang saat ini sudah sadar dari mabuknya."Tidak, Tante. Saya tidak pernah mengkonsumsi barang haram. Apalagi sebuah pil ekstasi. Melihat jenisnya saja saya tidak pernah. Sungguh saya bersumpah, saya tidak bohong." Raya menautkan kedua telapak tangannya di depan Anita dan Aditya. Dia berusaha membela diri, menepis hasil laboratorium di tangan Aditya. "Tapi kenyataannya kamu telah berbohong, Raya. Kenapa kamu melakukan ini? Apa karena gara-gara Saya marah kemarin kamu berbuat nekat?" Aditya menimpali.Raya pun mengalihkan pandangannya pada Aditya. Dia segera menggelengkan kepala. "Saya tidak pernah berbuat nekat. Saya memang kecewa, kenapa Pak Aditya sempat marah pada saya. Tapi kepala saya masih waras dan tak berpikir ke jalan pintas," bantahnya lagi. Dihadapan Raya, Anita sampai tak mampu untuk berk
Anita segera mengejar langkah Raya yang sudah sampai di pintu utama.Langkah beratnya segera Raya hentikan begitu namanya dipanggil. Dadanya semakin terasa melemah. Raya ingin menoleh, tapi begitu berat."Raya, tetaplah tinggal di sini walau bukan lagi menjadi ibu susu Fatih." Anita meminta. Sebelah tangannya tampak meraih tangan Raya. Hingga membuat Raya harus kembali meneteskan air matanya. Raya menoleh pada Anita, menatap wanita paruh baya itu penuh dengan kasih sayang. "Tidak, Tante. Saya harus tetap pergi. Titip Fatih ya, Tante." Raya memeluk Anita. Terasa berat meninggalkan Fatih, tapi fitnah dari Aditya bagai senapan yang menusuk jantungnya. "Tante mohon, jangan pergi," pinta Anita lagi lirih.Namun Raya tetap memilih untuk pergi dari kediaman Aditya. Dia merasa sudah tak dibutuhkan lagi tanpa ASI. Langkah berat Raya kini telah jauh meninggalkan kediaman Fatih.Di bawah teriknya sinar matahari yang membakar kulit, Raya kini tengah duduk di kursi besi berwarna hitam yang ada
"Biaya perawatan atas nama Nyonya Wati dan Tuan Raihan sudah ditanggung BPJS kesehatan." Keterangan dari pihak kasir membuat Raya menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi Wati berbohong kepadanya, padahal Raya ingin berbaik hati dan berdamai dengan mantan mertuanya. Sebelum Raya berlalu dari rumah sakit, ia kembali ke ruangan Wati. Raya melihat Wati masih menangis di kamarnya, entah tangisan apa yang tengah dikeluarkan oleh Wati. "Kenapa Mama berbohong?" Raya bertanya ketika sudah kembali menghadap Wati.Melihat Raya sudah kembali, Wati pun mendongak terkejut mendengar pertanyaan dari mantan menantunya. "Mama tidak bermaksud membohongi kamu. Jika Mama jujur, kamu tak akan percaya," elak Wati. "Aku sudah menemui pihak kasir. Semua biaya rumah sakit Mama dan Mas Raihan sudah ditanggung BPJS kesehatan." Raut wajah Raya terlihat kecewa. "Maafkan mama, Raya. Mama terpaksa berbohong, agar kamu mau meminjamkan uangmu pada Mama," elak Wati lagi."Sudah, Ma. Tidak apa-apa. Tolong jangan ulan
"Maksudnya untuk apa? Ini terlalu mewah untuk saya, Pak." Raya bertanya lagi. Ia melayangkan tatapannya pada Aditya.Aditya segera meraih sebelah tangan Raya lalu diusapnya dengan lembut. Perlakuan Aditya itu membuat Raya semakin salah tingkah."Saya ingin kamu menjadi ibu pengganti untuk Fatih. Bukan lagi ibu susunya," pinta Aditya, mengutarakan isi hati secara langsung."Apa!" Namun Raya malah terkejut. "Maksudnya?" Dia tercengang."Saya ingin kamu menjadi istri saya," pinta Aditya memperjelas.Seketika Raya menarik tangannya. Melepaskan tangannya dari genggaman Aditya. Dia terkesiap. Ucapan Aditya barusan bisa jadi hanya gurauan saja untuk Raya."Jangan bercanda, Pak. Itu tidak lucu." Raya mengusap pipinya sendiri. Dia menjadi gugup."Saya serius, Raya." Aditya kembali menegaskan. "Maukah kamu menjadi istri saya?"Raya kian terlihat gugup. Keringat dingin seketika membanjiri tubuh. Raya mengusap-usap tangannya sendiri. Gugup tak bisa dikendalikan."Kamu kenapa?" Aditya pun menjad
Pemilik toko bunga tersebut segera memutar rekaman CCTV yang terjadi pada kemarin sore di saat Aditya memesan bunga. Di salah satu ruangan yang hanya beberapa orang saja bisa masuk ke sana, pemilik toko, Aditya dan 3 orang saksi sudah siap menyaksikan hasil rekaman CCTV yang terjadi saat kemarin. Apa yang telah diucapkan pelayan toko, ternyata benar adanya. Dia bekerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan perintah Aditya. Namun keteledoran terjadi ketika Selin datang dan mengubah semuanya. Tetap saja pelayan toko yang disalahkan karena telah teledor sehingga orang lain memanipulasi keadaan. Aditya tampak mengepalkan sebelah tangannya. "Selalu saja Selin! Mengapa dia jadi menyukai kekacauan. Dia selalu saja membuatku geram," desisnya pada diri sendiri. Aditya tidak pernah menyangka kalau kejadian di toko bunga itu adalah ulah Selin. Kalau saja dia tidak menghormati mertua, mungkin Aditya sudah melabrak sang adik ipar dan membuat perhitungan dengannya. Aditya meminta maaf kepada pem
Belum sempat Raya membuka dan membaca tulisan pada secarik kertas itu, tiba-tiba suara Anita terdengar memanggil nama Raya."Raya!" Suara Anita terdengar begitu keras memanggil nama Raya. Raya segera menutup kembali kertas di tangannya itu, lalu dikembalikan pada buket bunganya. "Sebentar, Pak Aditya. Tante Anita memanggil saya, khawatir ada yang penting." Raya segera beranjak dari tempat duduknya. "Bunganya saya bawa ke kamar, nanti tulisannya saya baca di sana ya, Pak," tuturnya, kemudian pergi meninggalkan Aditya dengan membawa buket bunga di tangannya.Aditya hanya mengangguk saja sambil mengulum senyum tipis. Padahal dia sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban Raya. Tapi mau bagaimana lagi, Aditya sudah bisa menebak pasti Fatih menangis meminta digendong oleh Raya.Akhirnya Aditya termenung sendirian di taman belakang di pinggir kolam renang. Hingga satu jam kemudian dia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk ke kamarnya, Aditya terlebih dahulu menengok Fatih.
"Saya pernah jatuh cinta kepada seorang wanita, saya sangat menyayanginya bahkan melebihi apapun. Wanita itu sangat baik, lembut dan penuh dengan perhatian. Tak bisa saya bayangkan hidup tanpanya, terasa takkan ada arti. Tapi, ketika rasa sayang ini yang semakin hari semakin bertambah banyak, wanita itu pergi untuk selamanya. Seketika hati saya remuk, jantung saya seakan berhenti berdegup. Saya hidup namun serasa mati, tapi wanita itu menitipkan saya seorang anak yang pintar dan tampan yakni Fatih. Awalnya saya berpikir lebih baik mati saja mengikuti jejaknya, tapi saya melihat Fatih adalah titipan Tuhan untuk saya melalui wanita yang saya sayangi. Saya berusaha menguatkan diri, berusaha untuk tegar menerima ketentuan-Nya." Aditya memulai ceritanya. Wajahnya seketika terlihat sendu. Dia bercerita apa adanya. Rasa cinta pada almarhum Sarah yang memang tidak pernah pudar hingga detik ini."Apakah wanita itu adalah almarhum ibunya Fatih?" Raya bertanya karena penasaran.Aditya mengangguk
Hari itu di kantor Fadillah group, Aditya terlihat semangat saat menyelesaikan pekerjaannya. Raut wajahnya terlihat berseri-seri. Dalam bayangannya terus saja berseliweran wajah Raya. Nampaknya Aditya memang tengah jatuh cinta.Bahkan ketika ada seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris di kantor, masuk ke ruangan Aditya untuk melaporkan berkas hasil meeting hari ini. "Raya!" Aditya terkejut dengan kedatangan sekretarisnya. Dia sampai mengira sang sekretaris adalah Raya. Nampaknya dia sudah gila dengan rasa cinta yang tengah menggebu di dalam dada. "Maaf, Pak. Saya bukan Raya," bantah wanita itu dengan cepat. Pada tangannya terlihat memegang beberapa file. Diletakkannya segera file itu di atas meja kerja Aditya. "Saya ingin menyerahkan dokumen hasil meeting siang tadi."Aditya segera mengerjapkan kelopak matanya. "Oh ya ampun, maaf saya tengah melamun. Saya akan segera memeriksa dokumen ini," kata Aditya seraya memijat hidungnya. Ah bener-bener sudah gila. Aditya mengetuk kepa
Raya terlihat masih berdiri di depan mata Aditya. Wanita berbulu mata lentik itu mengukir senyuman paling indah dalam pandangan Aditya.Aditya segera bangkit dari tempat tidurnya. Dia kini sudah berhadapan dengan Raya. Keduanya saling memandang satu sama lain. "Aku sangat mencintaimu Pak Aditya." Suara lembut itu berdesis tepat di dekat telinga Aditya. Bibir Raya yang penuh dengan aroma khas, masih berada di dekat telinga Aditya.Aditya seperti terkesima. Ucapan Raya barusan, membuat Aditya membeku. Lidahnya kelu seperti sulit untuk berbicara. Debaran jantungnya bahkan lebih kencang daripada biasanya. Raya sudah berada dekat sekali dengan Aditya, jarak diantara keduanya hanya beberapa sentimeter saja. Suara dag dig dug jantung terdengar semakin kencang saja."Pak Adit kenapa diam saja? Kenapa tidak jawab perasaan saya? Pak Adit tidak cinta sama saya?" Raya bertanya lagi masih dengan suara manja yang meluluhkan hati."Bukan seperti itu. Saya merasa ini seperti mimpi. Apakah ini mimpi
Malam itu sangat terkesan bagi Aditya. Dia pertama kali makan di pinggir jalan tapi dengan sajian yang sungguh lezat layaknya seperti di restoran bintang 5.Bahkan ketika sampai di rumah dan ketika Aditya sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tetap saja tidak bisa tidur. Matanya masih terbuka, menatap ke arah langit-langit kamar. Senyuman yang indah itu masih terbayang di matanya. Senyuman yang tidak bisa dilupakan itu ternyata milik Raya. "Mengapa senyuman Raya sangat mirip sekali dengan Sarah?" Aditya berbicara sendirian penuh tanda tanya. Dia gelisah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari.Aditya memutuskan untuk bangun dari tempat tidurnya. Dia menggaruk kepala yang tak gatal. Matanya enggan untuk terlelap. Padahal besok pagi dia harus pergi ke kantor untuk mengurus pekerjaan yang sempat tertunda. Aditya kemudian keluar dari kamarnya, dia akan pergi ke dapur untuk mengambil air minum guna melegakan tenggorokan. Ketika telah sampai di dapu
Aditya tak jadi makan di restoran itu. Dia lebih memilih menuruti permintaan Raya untuk kembali ke mobilnya."Harusnya kamu jangan diam aja, kalau Selin kembali menghina kamu seperti itu, kamu harus lawan dia," kata Aditya kepada Raya. Dia belum menyalakan mesin mobil dan masih menenangkan hatinya yang masih terasa emosi."Untuk apa dilawan, Pak? Di mata yang membenci, kita akan selalu salah. Bagaimanapun cara kita membela diri. Apalagi kalau sampai saya melawan Non Selin, tentu saya akan semakin buruk di matanya. Biarkan saja Non Selin dengan kebenciannya pada saya, suatu saat ketika hatinya sudah terbuka, Saya yakin Non Selin akan menjadi baik pada saya," tutur Raya dengan begitu tenangnya. Tidak seperti Aditya yang masih terasa emosi akibat kelakuan adik iparnya di depan semua orang.Aditya semakin kagum kepada Raya. Dia menatap Raya begitu dalam. "Kamu memang baik, Raya. Tapi anehnya, mengapa Selin malah tidak menyukaimu," gumamnya. "Lupakan saja, Pak. Yang penting saat ini, kita
"Kenapa tidak menjawab?" Aditya bertanya lagi. Rupanya dia masih menunggu jawaban dari Raya.Raya terlihat mengatur nafasnya terlebih dahulu. "Kalau saya masih mencintai Mas Raihan, untuk apa waktu itu menggugat cerai? Saya hanya turut bersedih atas duka yang tengah dialami Mas Raihan. Bukan apa-apa, biar bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidup saya. Itu saja," jelasnya sambil menurunkan tatapan."Maafkan kalau saya telah lancang bertanya seperti itu pada kamu." Aditya menjadi tidak enak hati."Tidak apa-apa, Pak." Raya masih menunduk.Aditya segera melajukan kendaraan meninggalkan area rumah Wati.Langit terlihat sudah gelap, Raya dan Aditya masih dalam perjalanan pulang. Jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan. Aditya sudah menunjukan pukul sebelas malam. Perutnya terdengar mengaluarkan suara.Kruekkk kruekkk!Raya mendengar suara dari perut Aditya barusan. Dia menoleh. Ternyata perut Presdir setampan Aditya bisa mengeluarkan bunyi laparnya.Aditya tampak