Beranda / Rumah Tangga / (Bukan) Istri Pilihan / Part 3 Bertahan Sampai Kapan? 1

Share

Part 3 Bertahan Sampai Kapan? 1

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-21 20:25:40

(Bukan) Istri Pilihan

Part 2 Bertahan Sampai Kapan?

Kurang sabar apa aku. Sudah empat tahun terlewati tapi tidak ada perubahan sama sekali. Anak itu makin besar, makin tahu caranya membenci.

Kadang aku curiga akan kebersamaan Mas Yoshi dan mantan istrinya. Ini bukan sekedar demi anak. Jika mereka masih saling mencintai, untuk apa dulu bercerai.

"Jangan-jangan mereka selingkuh, Nas." Ruli berkata suatu hari. Saat aku main ke rumahnya.

"Nggak ada yang mencurigakan dari Mas Yoshi," jawabku menutupi kegundahan sendiri.

"Biasanya seorang istri itu, adalah orang yang paling terakhir tahu tentang perselingkuhan suaminya."

Ruli benar. Karena mamaku mengalami hal itu. Beliau orang terakhir yang tahu tentang pernikahan kedua papa.

Apa aku juga akan mengalaminya?

Dadaku berdenyut nyeri. Terkoyak oleh pemikiran sendiri. Apa mungkin suamiku setega itu?

Aku memang bukan wanita karir yang punya nama besar seperti mama, seperti kedua kakakku, dan seperti mantan istrinya Mas Yoshi. Tapi aku berusaha menjadi istri yang baik dengan cara agama mengajariku. Bahkan aku menolak memiliki ART yang menetap karena ingin mengurus semuanya sendiri. Apa hal seperti ini tidak berarti apa-apa.

Sudah lewat tengah hari, Mas Yoshi belum pulang seperti yang ia janjikan tadi. Bolak-balik aku melongok ke depan. Padahal jika ia pulang, suara mobilnya pasti terdengar. Jadi tak perlu aku sibuk menoleh sampai leherku sakit.

Dia memang selalu lupa waktu kalau sudah bersama anaknya. Yang bikin betah itu anak apa mantannya?

Dadaku makin sakit rasanya. Selama ini aku hanya diam menghadapi semua ini.

Empat tahun apa aku kurang cukup bersabar? Sebenarnya aku ini memang sabar atau bodoh seperti yang selalu dibilang oleh mama.

Mamaku bilang, lebih baik pintar daripada cantik. Cantik bisa dipoles seperti kedua kakakku. Tapi kalau dasarnya bodoh, ya bodoh saja. Lihatlah betapa glowing kulit Mbak Lidia dan Mbak Shinta yang dulunya sawo matang. Tentu karena perawatan kelas mahal yang membuat penampilannya cetar membahana. Mereka berdua tidak pernah keluar tanpa make up. Busananya harga jutaan.

Namun mama juga sering bangga kalau ada rekan sosialita yang memuji kecantikanku. Apalagi kalau mereka bilang aku duplikatnya mama.

"Ayunya si Anastasya, Jeng. Nggak perlu make up mahal dah cantik. Kalem dan sopan juga anaknya. Biar kuambil mantu aja, Jeng Mega." Ini perkataan salah seorang teman sosialita mama.

Namun ucapan itu langsung ditolak oleh mama. "Anas masih mau kuliah dulu, Jeng. Umurnya belum genap dua puluh tahun. Biar dia belajar dulu."

Aku tahu alasan mama berkata seperti itu. Karena temannya itu ratu nyinyir. Tentu saja mama tak ingin kedoknya terbongkar dan ketahuan kalau sebenarnya aku ini tidak kuliah, tidak secerdas yang dipamerkannya.

Mama lebih senang aku menjadi 'boneka cantik dari India, boleh dilirik tak boleh dibawa'. Hanya jadi pajangan saja.

Tapi kenapa mama setuju menjodohkanku dengan Mas Yoshi? Karena mama lelaki itu bestie-nya mama. Tahu luar dalamnya mama. Lagian Mas Yoshi seorang duda dan aku perawan. Tentunya impas bukan? Meski aku tidak cerdas, kata mama. Namun papa selalu merangkulku penuh cinta. Mungkin karena aku yang bisa berhubungan baik dengan wanita keduanya.

Andai aku jelek, mama mungkin sudah tidak ingin lagi mengakuiku sebagai anak. Sudah jelek, bodoh pula tuh. Begini saja aku serasa seperti anak tiri. Ada ya seorang ibu bersikap seperti ini? Tentu saja ada. Dialah mamaku. Mega Kartika.

Setelah itu aku terlelap. Bangun ketika kurasakan ada kecupan di kening. Samar kulihat seorang laki-laki tersenyum.

"Kenapa tidur di sofa? Harusnya tidur di kamar, biar badanmu nggak sakit." Dia membantuku duduk. Kulihat jam dinding. Sudah setengah tiga. Dan suamiku ini baru pulang.

"Maafkan mas, ya. Pulang telat karena Ayun minta dibeliin roti bakar Latanza tadi. Antriannya panjang. Mas juga bawain buat kamu." Mas Yoshi melihat ke atas meja. Meraih dan membukanya. Aroma margarin, selai nanas, dan blueberry yang gurih dan manis menguar ke udara. Dia tahu kesukaanku pada blueberry.

Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air di ruang makan. Aku memperhatikan lelaki berpostur tinggi itu membungkuk untuk menunggu gelas penuh dari dispenser. Dan kembali dengan dua gelas di tangannya.

"Ayo, dimakan, dong. Bukan dilihatin saja," tegurnya sambil mencomot satu potong roti dan menyuapkan ke mulutku.

Dia nih tidak tahu kalah aku masih mengumpulkan nyawa setelah kaget karena tiba-tiba dikecup tadi.

"Bagaimana keadaan Ayun?" tanyaku sambil mengunyah.

"Panasnya masih naik turun. Tadi tes darah. Ada petugas klinik datang ke rumah, karena Ayun nggak mau diajak ke klinik."

"Hasilnya gimana?"

"Kena gejala typus. Tapi dia nggak mau opname. Cuman kalau malam nanti masih panas tinggi, mas sudah pesen ke Mayang agar menelepon mas dan Ayun harus dibawa ke klinik."

"Besok aku akan bikin puding kesukaannya. Boleh kan aku ke sana jenguk Ayun?"

Mas Yoshi membelai rambut panjangku. "Nggak usah," jawabnya lembut.

"Kenapa? Kalau aku selalu dijauhkan, kapan kami bisa dekat?"

"Nanti kalau dia sudah sembuh."

Lagi-lagi aku kecewa. Aku berdiri dan melangkah ke belakang untuk mengambil jemuran. Harusnya dia mengizinkanku bertemu anaknya di saat Ayun sakit begini. Jadi ada bentuk perhatian dariku. Tapi tetap saja tidak diperbolehkan. Ada apa sih sebenarnya?

Yang membuatku heran, sudah empat tahun aku menjadi istri papanya. Namun tetap saja Ayun tidak bisa kudekati. Padahal anak kecil begitu biasanya gampang luluh jika diberi perhatian, diberi makanan dan mainan kesukaannya. Namun tidak dengan Ayun. Apa Mbak Mayang tidak pernah memberikan pengertian pada anaknya?

Tak terasa ada bulir bening merambat ke pipi. Apa Keputusanku menikah muda salah? Apa aku salah memilih suami? Kalau pun saat itu aku berontak, mama pasti tetap memaksa. Akulah anak yang paling ditakuti akan menjatuhkan harga dirinya.

"Kenapa melamun di sini!" Mas Yoshi tiba-tiba sudah ada di dekatku sambil membantu mengambil jemuran yang tersisa. Buru-buru aku mengelap air mata menggunakan baju yang kupegang.

"Maafkan mas. Mas nggak ingin kamu kecewa lagi dengan sambutan Ayun."

Aku tak menjawab dan langsung melangkah masuk rumah. Siapa yang salah sekarang? Aku yang terlalu memaksakan bertemu Ayun, atas Mas Yoshi yang berusaha menghindarkanku dari perasaan kecewa. Apa aku terlalu kekanak-kanakan?

"Tadi Ruli meneleponku. Dia mengundang kita datang ke rumahnya. Besok ulang tahun anaknya," kataku setelah menaruh jemuran di ruangan yang biasa aku gunakan untuk menyetrika.

"Kalau mas nggak bisa. Izinkan aku untuk pergi ke sana," lanjutku sebelum Mas Yoshi menjawab. Karena aku tahu, mungkin dia merasa tak layak datang ke pemukiman Ruli. Orang terpandang, pengacara ternama, apa mungkin sudi menemani istrinya ke gang sempit itu. Aku selalu sendirian jika berkunjung ke rumah Ruli. Sebab Mas Yoshi juga sedang bekerja kalau aku ke sana untuk menghilangkan sepi.

"Besok mas antar," jawabnya.

***L***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (6)
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Sabar sudah bertahta dihatimu Nas mungkin suatu saat akan tau sendiri kalau memang ada kebohongan diantara kalian
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
masih tanda tanya ...
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
syukurlah kamu nyadar memang bodoh. tapi sayangnya kamu cuma bisa ngebatin dan semakin memperbodoh dirimu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 146 Cinta yang Indah 2

    Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 145 Cinta yang Indah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 144 Akad Nikah 2

    Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 143 Akad Nikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 142 Kita Akan Menikah 2

    "Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 141 Kita Akan Menikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status