(Bukan) Istri Pilihan
Part 2 Bertahan Sampai Kapan?Kurang sabar apa aku. Sudah empat tahun terlewati tapi tidak ada perubahan sama sekali. Anak itu makin besar, makin tahu caranya membenci.Kadang aku curiga akan kebersamaan Mas Yoshi dan mantan istrinya. Ini bukan sekedar demi anak. Jika mereka masih saling mencintai, untuk apa dulu bercerai."Jangan-jangan mereka selingkuh, Nas." Ruli berkata suatu hari. Saat aku main ke rumahnya."Nggak ada yang mencurigakan dari Mas Yoshi," jawabku menutupi kegundahan sendiri."Biasanya seorang istri itu, adalah orang yang paling terakhir tahu tentang perselingkuhan suaminya."Ruli benar. Karena mamaku mengalami hal itu. Beliau orang terakhir yang tahu tentang pernikahan kedua papa.Apa aku juga akan mengalaminya?Dadaku berdenyut nyeri. Terkoyak oleh pemikiran sendiri. Apa mungkin suamiku setega itu?Aku memang bukan wanita karir yang punya nama besar seperti mama, seperti kedua kakakku, dan seperti mantan istrinya Mas Yoshi. Tapi aku berusaha menjadi istri yang baik dengan cara agama mengajariku. Bahkan aku menolak memiliki ART yang menetap karena ingin mengurus semuanya sendiri. Apa hal seperti ini tidak berarti apa-apa.Sudah lewat tengah hari, Mas Yoshi belum pulang seperti yang ia janjikan tadi. Bolak-balik aku melongok ke depan. Padahal jika ia pulang, suara mobilnya pasti terdengar. Jadi tak perlu aku sibuk menoleh sampai leherku sakit.Dia memang selalu lupa waktu kalau sudah bersama anaknya. Yang bikin betah itu anak apa mantannya?Dadaku makin sakit rasanya. Selama ini aku hanya diam menghadapi semua ini.Empat tahun apa aku kurang cukup bersabar? Sebenarnya aku ini memang sabar atau bodoh seperti yang selalu dibilang oleh mama.Mamaku bilang, lebih baik pintar daripada cantik. Cantik bisa dipoles seperti kedua kakakku. Tapi kalau dasarnya bodoh, ya bodoh saja. Lihatlah betapa glowing kulit Mbak Lidia dan Mbak Shinta yang dulunya sawo matang. Tentu karena perawatan kelas mahal yang membuat penampilannya cetar membahana. Mereka berdua tidak pernah keluar tanpa make up. Busananya harga jutaan.Namun mama juga sering bangga kalau ada rekan sosialita yang memuji kecantikanku. Apalagi kalau mereka bilang aku duplikatnya mama."Ayunya si Anastasya, Jeng. Nggak perlu make up mahal dah cantik. Kalem dan sopan juga anaknya. Biar kuambil mantu aja, Jeng Mega." Ini perkataan salah seorang teman sosialita mama.Namun ucapan itu langsung ditolak oleh mama. "Anas masih mau kuliah dulu, Jeng. Umurnya belum genap dua puluh tahun. Biar dia belajar dulu."Aku tahu alasan mama berkata seperti itu. Karena temannya itu ratu nyinyir. Tentu saja mama tak ingin kedoknya terbongkar dan ketahuan kalau sebenarnya aku ini tidak kuliah, tidak secerdas yang dipamerkannya.Mama lebih senang aku menjadi 'boneka cantik dari India, boleh dilirik tak boleh dibawa'. Hanya jadi pajangan saja.Tapi kenapa mama setuju menjodohkanku dengan Mas Yoshi? Karena mama lelaki itu bestie-nya mama. Tahu luar dalamnya mama. Lagian Mas Yoshi seorang duda dan aku perawan. Tentunya impas bukan? Meski aku tidak cerdas, kata mama. Namun papa selalu merangkulku penuh cinta. Mungkin karena aku yang bisa berhubungan baik dengan wanita keduanya.Andai aku jelek, mama mungkin sudah tidak ingin lagi mengakuiku sebagai anak. Sudah jelek, bodoh pula tuh. Begini saja aku serasa seperti anak tiri. Ada ya seorang ibu bersikap seperti ini? Tentu saja ada. Dialah mamaku. Mega Kartika.Setelah itu aku terlelap. Bangun ketika kurasakan ada kecupan di kening. Samar kulihat seorang laki-laki tersenyum."Kenapa tidur di sofa? Harusnya tidur di kamar, biar badanmu nggak sakit." Dia membantuku duduk. Kulihat jam dinding. Sudah setengah tiga. Dan suamiku ini baru pulang."Maafkan mas, ya. Pulang telat karena Ayun minta dibeliin roti bakar Latanza tadi. Antriannya panjang. Mas juga bawain buat kamu." Mas Yoshi melihat ke atas meja. Meraih dan membukanya. Aroma margarin, selai nanas, dan blueberry yang gurih dan manis menguar ke udara. Dia tahu kesukaanku pada blueberry.Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air di ruang makan. Aku memperhatikan lelaki berpostur tinggi itu membungkuk untuk menunggu gelas penuh dari dispenser. Dan kembali dengan dua gelas di tangannya."Ayo, dimakan, dong. Bukan dilihatin saja," tegurnya sambil mencomot satu potong roti dan menyuapkan ke mulutku.Dia nih tidak tahu kalah aku masih mengumpulkan nyawa setelah kaget karena tiba-tiba dikecup tadi."Bagaimana keadaan Ayun?" tanyaku sambil mengunyah."Panasnya masih naik turun. Tadi tes darah. Ada petugas klinik datang ke rumah, karena Ayun nggak mau diajak ke klinik.""Hasilnya gimana?""Kena gejala typus. Tapi dia nggak mau opname. Cuman kalau malam nanti masih panas tinggi, mas sudah pesen ke Mayang agar menelepon mas dan Ayun harus dibawa ke klinik.""Besok aku akan bikin puding kesukaannya. Boleh kan aku ke sana jenguk Ayun?"Mas Yoshi membelai rambut panjangku. "Nggak usah," jawabnya lembut."Kenapa? Kalau aku selalu dijauhkan, kapan kami bisa dekat?""Nanti kalau dia sudah sembuh."Lagi-lagi aku kecewa. Aku berdiri dan melangkah ke belakang untuk mengambil jemuran. Harusnya dia mengizinkanku bertemu anaknya di saat Ayun sakit begini. Jadi ada bentuk perhatian dariku. Tapi tetap saja tidak diperbolehkan. Ada apa sih sebenarnya?Yang membuatku heran, sudah empat tahun aku menjadi istri papanya. Namun tetap saja Ayun tidak bisa kudekati. Padahal anak kecil begitu biasanya gampang luluh jika diberi perhatian, diberi makanan dan mainan kesukaannya. Namun tidak dengan Ayun. Apa Mbak Mayang tidak pernah memberikan pengertian pada anaknya?Tak terasa ada bulir bening merambat ke pipi. Apa Keputusanku menikah muda salah? Apa aku salah memilih suami? Kalau pun saat itu aku berontak, mama pasti tetap memaksa. Akulah anak yang paling ditakuti akan menjatuhkan harga dirinya."Kenapa melamun di sini!" Mas Yoshi tiba-tiba sudah ada di dekatku sambil membantu mengambil jemuran yang tersisa. Buru-buru aku mengelap air mata menggunakan baju yang kupegang."Maafkan mas. Mas nggak ingin kamu kecewa lagi dengan sambutan Ayun."Aku tak menjawab dan langsung melangkah masuk rumah. Siapa yang salah sekarang? Aku yang terlalu memaksakan bertemu Ayun, atas Mas Yoshi yang berusaha menghindarkanku dari perasaan kecewa. Apa aku terlalu kekanak-kanakan?"Tadi Ruli meneleponku. Dia mengundang kita datang ke rumahnya. Besok ulang tahun anaknya," kataku setelah menaruh jemuran di ruangan yang biasa aku gunakan untuk menyetrika."Kalau mas nggak bisa. Izinkan aku untuk pergi ke sana," lanjutku sebelum Mas Yoshi menjawab. Karena aku tahu, mungkin dia merasa tak layak datang ke pemukiman Ruli. Orang terpandang, pengacara ternama, apa mungkin sudi menemani istrinya ke gang sempit itu. Aku selalu sendirian jika berkunjung ke rumah Ruli. Sebab Mas Yoshi juga sedang bekerja kalau aku ke sana untuk menghilangkan sepi."Besok mas antar," jawabnya.***L***Mataku memejam, tapi aku masih bisa mendengar percakapan Mas Yoshi dan Ayun di seberang sana. Mereka memang melakukan video call. Gadis kecil itu ngotot supaya besok papanya datang lagi membawakan mainan. "Papa, harus datang besok!" teriaknya di akhir kalimat sebelum Mas Yoshi menyudahi panggilan.Setelah meletakkan ponselnya di nakas, Mas Yoshi memeluk dari belakang tanpa bicara apa-apa. Tidak juga memberitahuku kalau anaknya menginginkan papanya datang lagi besok.Sampai kapan kehidupan rumah tanggaku seperti ini. Apa karena aku hanya diam dan diam, jadi mereka merasa aku baik-baik saja. Apa karena di sana ada anak, makanya selalu diprioritaskan meski sudah bercerai?Sebab aku belum bisa memberikan keturunan, harus terus mengalah. Begitu?Kadang merasa sakit begini, aku tetap harus melaksanakan tanggungjawabku disaat ia mulai beraksi tak hanya sekedar memeluk. Apa aku selemah itu, hanya sekali saja untuk berkata 'tidak', aku tak mampu. Tetap meladeni dan dia menganggap aku baik-bai
(Bukan) Istri Pilihan Part 3 Maaf Salahku juga. Aku memaksakan diri memberikan sesuatu yang orang lain tidak mau. Namun, tidakkah Mas Yoshi pun tidak bisa menjaga perasaanku? Andai dia buang puding ini, malah lebih aman bukan? Tidak akan ada yang tahu. Pasti aku mengira, Ayunda bisa menerima pemberianku.Dengan hati yang tercabik, aku membawa Tupp*rware masuk ke dalam rumah. Kulihat puding belum basi dan kumasukkan ke dalam kulkas. Besok aku akan memakannya.Beberapa lauk aku keluarkan dari lemari penyimpan makanan. Kupanaskan sebentar, lalu menyiapkan makan malam.Astaga! Kenapa aku tidak tanya dulu dia sudah makan apa belum. Ini kan sudah malam."Mas, sudah makan?" tanyaku pada suami yang kembali turun beberapa saat kemudian.Mas Yoshi mengangguk dengan tatapan penuh rasa bersalah. Tanpa pikir panjang, segera kukembalikan piring ke dalam lemari makanan."Kamu belum makan?" tanya Mas Yoshi sambil menahan lenganku. "Ayo, mas temani. Mas makan habis maghrib tadi. Yuk, kita makan lag
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi atau bertahan. Kalau pergi alasanku apa. Tak ada bukti perselingkuhan Mas Yoshi. Dia selalu pulang setiap hari meski kadang larut malam. Jika ke luar kota selalu mengajakku ikut serta. Memang ada beberapa kali dia pergi bersama timnya, tanpa aku.Jika alasanku anak, apa itu alasan yang tepat? Aku yang sudah seumur segini kalah sama anak kecil. Apa cemburu, suami kurang perhatian, sudah pantas kujadikan alasan.Mbak Mayang memang sering menelepon Mas Yoshi saat suamiku itu di rumah. Hanya untuk menceritakan tentang putri mereka. Dan aku hanya diam, karena selalu percaya semua itu demi anak. Mereka tetap menjadi orang tua yang baik setelah berpisah.Pagi-pagi sekali tadi perempuan itu juga sudah menelepon. Aku harus maklum karena anak mereka sedang sakit.Apa aku kurang sabar? Kalau seperti ini dikatakan kurang sabar, lalu sabar itu seperti apa?Aku lelah, tapi aku mencintainya.Aku meraih ponsel di minibar. Panggilanku langsung dijawab."Assal
(Bukan) Istri Pilihan- Siap Berperang "Mas," panggilku kaget karena Mas Yoshi tiba-tiba sudah berdiri di sana. Lelaki itu kemudian duduk di kursi depanku."Apa yang membuatmu berubah pikiran?" Aku mengambil piring dan menaruh tiga cup cake untuk kuberikan pada suamiku. Namun dia tidak menyentuhnya."Kita tunda saja.""Apa alasannya? Kenapa nggak kita bicarakan sejak kemarin?""Apa Mas punya waktu kemarin itu?" tanyaku serius. Aku sudah siap berperang kali ini."Maaf, kalau mas sibuk ngurusi Ayun sakit. Mungkin buatmu ini salah.""Nggak apa-apa. Siapa yang bilang ini salah. Aku pun diam saja nggak pernah protes. Mas, ingin menjadi papa yang baik meski nggak tinggal serumah dengan Ayun.""Mas banyak pekerjaan, banyak pikiran, karena ada kasus besar yang sedang kami tangani. Mas minta maaf kalau kurang perhatian akhir-akhir ini."Aku mengangguk. Aku harus selalu mengerti. Dia bilang banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran, tapi waktu untuk mereka selalu ada. Dia memang tidak p
Saat itu menjadi hari-hari yang sulit. Papa dan mama nyaris bercerai. Tak ada kedamaian di rumah. Selalu saja ribut dan ribut. Ah, sebenarnya mama saja yang mengamuk. Papa hanya diam karena merasa bersalah.Pada akhirnya mereka tidak jadi bercerai. Mama memikirkan reputasi yang bakalan hancur lebur. Orang-orang di luar sana menganggap kedua orang tuaku adalah pasangan yang serasi dan harmonis. Demi selalu dianggap sempurna, sampai mama sanggup bertahan dengan sesuatu yang menyakitkan ini. Aku kasihan. Meski mama selalu pilih kasih.Mama mengajukan syarat, bahwa sampai kapanpun tidak akan mau menandatangani surat pernyataan izin poligami. Jadi Bu Eri akan tetap menjadi istri siri dan tidak boleh di akui di depan publik.Namun setelah sekian lama, pasti sebagian relasi, partner bisnis, sudah tahu. Hanya saja mereka diam atau menggunjing di belakang.Dulu saat mama hamil aku, beliau menginginkan anak laki-laki. Supaya ada yang meneruskan tahta perusahaannya. Tapi ternyata lahir perempuan
(Bukan) Istri Pilihan - Keputusan Besar Aku kehilangan jejak. Padahal jarak antara mereka dan aku saat masuk mall tidak lama. Lagian kenapa anak baru sembuh sudah diajak nge-mall. Apa tidak takut typus-nya kambuh lagi.Dadaku bergemuruh. Sungguh ini lebih sakit daripada sebelumnya. Aku terlalu terlena dengan kata 'baik-baik saja' selama ini. Aku yang polos atau aku yang bodoh.Mungkin mereka tengah makan. Aku naik eskalator ke lantai empat. Di mana pusat game dan food court berada.Ternyata benar. Mereka duduk di kedai western food. Karena pengunjung belum seberapa ramai, jadi gampang untuk mencari. Potret keluarga bahagia terpampang di depan mata. Dari balik pilar besar aku melihat mereka. Dipuncak rasa sakit ini, justru aku tidak bisa menangis. Dipuncak rasa kecewa, aku begitu tenang, tidak gemetar seperti biasanya. Walaupun aku sangat bisa merasakan sesakit apa ini. Kulihat Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air mineral buat anaknya. Seorang pelayan datang mencatat pesanan. K
"Ibu nggak bisa memaksamu bertahan atau membenarkanmu berpisah. Ibu tahu kamu akan mengambil keputusan yang terbaik. Empat tahun kamu bertahan seperti ini. Ibu akan selalu berada di belakangmu, Nak. Apapun pilihanmu.""Makasih banyak, Bu.""Lanjutkan niatmu untuk kursus. Ibu dukung. Tadi malam Fauzi sudah cerita ini ke ibu.""Aku akan memulai secepatnya.""Iya.""Gitu aja, Bu. Nanti kukabari lagi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Baru saja kuletakkan ponsel di mini bar, terdengar suara mobil Mas Yoshi memasuki garasi. Aku malas melihatnya. "Maaf, mas harus nganterin Ayun pulang dulu," ucapnya sambil duduk di depanku.Aku tak menjawab. "Nas, maafkan mas. Jangan salah paham."Apa selama menikah aku nggak cukup paham? Bukankah selama ini aku selalu memahami semuanya, bahkan yang menyakitkan sekalipun."Sayang," panggilnya. Untuk kali pertama aku muak dengan panggilan itu. "Maafkan mas. Maafkan Ayun yang berkata seperti tadi.""Siapa yang ngajarin dia bilang seperti itu? Kami hamp
(Bukan) Istri Pilihan - Surprise Ada telepon masuk saat aku keluar dari kamar mandi. Kujangkau benda pipih yang berpendar di atas tempat tidur."Halo, Pa.""Papa sudah transfer uang ke rekeningmu.""Iya. Sebenarnya aku masih punya uang, Pa." Sebab Mas Yoshi selalu tepat waktu memberikan uang tiap bulannya. "Nggak apa-apa. Papa sudah mendapatkan tempat tinggal untukmu. Ada dua pilihan. Di apartemen atau perumahan? Papa lebih setuju kalau kamu tinggal di apartemen. Di sana lebih aman, Sa.""Aku ikut saja pilihan, Papa.""Oke. Nanti papa kabari lagi kalau sudah beres dan kamu bisa pindah. Yoshi ada menghubungimu?""Mengirimkan pesan, tapi nggak kubuka. Jam segini dia belum pulang dari kantor."Terdengar papa menghela nafas panjang di seberang."Ya sudah. Kalau ada apa-apa kabari papa.""Iya."Setelah menutup telepon aku segera Salat Asar. Usai salat aku menyibak gorden jendela.Dari balik jendela kaca, aku menatap langit barat yang merona keemasan. Tampak matahari terlihat indah, bula