Share

Part 3 Bertahan Sampai Kapan? 1

(Bukan) Istri Pilihan

Part 2 Bertahan Sampai Kapan?

Kurang sabar apa aku. Sudah empat tahun terlewati tapi tidak ada perubahan sama sekali. Anak itu makin besar, makin tahu caranya membenci.

Kadang aku curiga akan kebersamaan Mas Yoshi dan mantan istrinya. Ini bukan sekedar demi anak. Jika mereka masih saling mencintai, untuk apa dulu bercerai.

"Jangan-jangan mereka selingkuh, Nas." Ruli berkata suatu hari. Saat aku main ke rumahnya.

"Nggak ada yang mencurigakan dari Mas Yoshi," jawabku menutupi kegundahan sendiri.

"Biasanya seorang istri itu, adalah orang yang paling terakhir tahu tentang perselingkuhan suaminya."

Ruli benar. Karena mamaku mengalami hal itu. Beliau orang terakhir yang tahu tentang pernikahan kedua papa.

Apa aku juga akan mengalaminya?

Dadaku berdenyut nyeri. Terkoyak oleh pemikiran sendiri. Apa mungkin suamiku setega itu?

Aku memang bukan wanita karir yang punya nama besar seperti mama, seperti kedua kakakku, dan seperti mantan istrinya Mas Yoshi. Tapi aku berusaha menjadi istri yang baik dengan cara agama mengajariku. Bahkan aku menolak memiliki ART yang menetap karena ingin mengurus semuanya sendiri. Apa hal seperti ini tidak berarti apa-apa.

Sudah lewat tengah hari, Mas Yoshi belum pulang seperti yang ia janjikan tadi. Bolak-balik aku melongok ke depan. Padahal jika ia pulang, suara mobilnya pasti terdengar. Jadi tak perlu aku sibuk menoleh sampai leherku sakit.

Dia memang selalu lupa waktu kalau sudah bersama anaknya. Yang bikin betah itu anak apa mantannya?

Dadaku makin sakit rasanya. Selama ini aku hanya diam menghadapi semua ini.

Empat tahun apa aku kurang cukup bersabar? Sebenarnya aku ini memang sabar atau bodoh seperti yang selalu dibilang oleh mama.

Mamaku bilang, lebih baik pintar daripada cantik. Cantik bisa dipoles seperti kedua kakakku. Tapi kalau dasarnya bodoh, ya bodoh saja. Lihatlah betapa glowing kulit Mbak Lidia dan Mbak Shinta yang dulunya sawo matang. Tentu karena perawatan kelas mahal yang membuat penampilannya cetar membahana. Mereka berdua tidak pernah keluar tanpa make up. Busananya harga jutaan.

Namun mama juga sering bangga kalau ada rekan sosialita yang memuji kecantikanku. Apalagi kalau mereka bilang aku duplikatnya mama.

"Ayunya si Anastasya, Jeng. Nggak perlu make up mahal dah cantik. Kalem dan sopan juga anaknya. Biar kuambil mantu aja, Jeng Mega." Ini perkataan salah seorang teman sosialita mama.

Namun ucapan itu langsung ditolak oleh mama. "Anas masih mau kuliah dulu, Jeng. Umurnya belum genap dua puluh tahun. Biar dia belajar dulu."

Aku tahu alasan mama berkata seperti itu. Karena temannya itu ratu nyinyir. Tentu saja mama tak ingin kedoknya terbongkar dan ketahuan kalau sebenarnya aku ini tidak kuliah, tidak secerdas yang dipamerkannya.

Mama lebih senang aku menjadi 'boneka cantik dari India, boleh dilirik tak boleh dibawa'. Hanya jadi pajangan saja.

Tapi kenapa mama setuju menjodohkanku dengan Mas Yoshi? Karena mama lelaki itu bestie-nya mama. Tahu luar dalamnya mama. Lagian Mas Yoshi seorang duda dan aku perawan. Tentunya impas bukan? Meski aku tidak cerdas, kata mama. Namun papa selalu merangkulku penuh cinta. Mungkin karena aku yang bisa berhubungan baik dengan wanita keduanya.

Andai aku jelek, mama mungkin sudah tidak ingin lagi mengakuiku sebagai anak. Sudah jelek, bodoh pula tuh. Begini saja aku serasa seperti anak tiri. Ada ya seorang ibu bersikap seperti ini? Tentu saja ada. Dialah mamaku. Mega Kartika.

Setelah itu aku terlelap. Bangun ketika kurasakan ada kecupan di kening. Samar kulihat seorang laki-laki tersenyum.

"Kenapa tidur di sofa? Harusnya tidur di kamar, biar badanmu nggak sakit." Dia membantuku duduk. Kulihat jam dinding. Sudah setengah tiga. Dan suamiku ini baru pulang.

"Maafkan mas, ya. Pulang telat karena Ayun minta dibeliin roti bakar Latanza tadi. Antriannya panjang. Mas juga bawain buat kamu." Mas Yoshi melihat ke atas meja. Meraih dan membukanya. Aroma margarin, selai nanas, dan blueberry yang gurih dan manis menguar ke udara. Dia tahu kesukaanku pada blueberry.

Mas Yoshi berdiri untuk mengambilkan air di ruang makan. Aku memperhatikan lelaki berpostur tinggi itu membungkuk untuk menunggu gelas penuh dari dispenser. Dan kembali dengan dua gelas di tangannya.

"Ayo, dimakan, dong. Bukan dilihatin saja," tegurnya sambil mencomot satu potong roti dan menyuapkan ke mulutku.

Dia nih tidak tahu kalah aku masih mengumpulkan nyawa setelah kaget karena tiba-tiba dikecup tadi.

"Bagaimana keadaan Ayun?" tanyaku sambil mengunyah.

"Panasnya masih naik turun. Tadi tes darah. Ada petugas klinik datang ke rumah, karena Ayun nggak mau diajak ke klinik."

"Hasilnya gimana?"

"Kena gejala typus. Tapi dia nggak mau opname. Cuman kalau malam nanti masih panas tinggi, mas sudah pesen ke Mayang agar menelepon mas dan Ayun harus dibawa ke klinik."

"Besok aku akan bikin puding kesukaannya. Boleh kan aku ke sana jenguk Ayun?"

Mas Yoshi membelai rambut panjangku. "Nggak usah," jawabnya lembut.

"Kenapa? Kalau aku selalu dijauhkan, kapan kami bisa dekat?"

"Nanti kalau dia sudah sembuh."

Lagi-lagi aku kecewa. Aku berdiri dan melangkah ke belakang untuk mengambil jemuran. Harusnya dia mengizinkanku bertemu anaknya di saat Ayun sakit begini. Jadi ada bentuk perhatian dariku. Tapi tetap saja tidak diperbolehkan. Ada apa sih sebenarnya?

Yang membuatku heran, sudah empat tahun aku menjadi istri papanya. Namun tetap saja Ayun tidak bisa kudekati. Padahal anak kecil begitu biasanya gampang luluh jika diberi perhatian, diberi makanan dan mainan kesukaannya. Namun tidak dengan Ayun. Apa Mbak Mayang tidak pernah memberikan pengertian pada anaknya?

Tak terasa ada bulir bening merambat ke pipi. Apa Keputusanku menikah muda salah? Apa aku salah memilih suami? Kalau pun saat itu aku berontak, mama pasti tetap memaksa. Akulah anak yang paling ditakuti akan menjatuhkan harga dirinya.

"Kenapa melamun di sini!" Mas Yoshi tiba-tiba sudah ada di dekatku sambil membantu mengambil jemuran yang tersisa. Buru-buru aku mengelap air mata menggunakan baju yang kupegang.

"Maafkan mas. Mas nggak ingin kamu kecewa lagi dengan sambutan Ayun."

Aku tak menjawab dan langsung melangkah masuk rumah. Siapa yang salah sekarang? Aku yang terlalu memaksakan bertemu Ayun, atas Mas Yoshi yang berusaha menghindarkanku dari perasaan kecewa. Apa aku terlalu kekanak-kanakan?

"Tadi Ruli meneleponku. Dia mengundang kita datang ke rumahnya. Besok ulang tahun anaknya," kataku setelah menaruh jemuran di ruangan yang biasa aku gunakan untuk menyetrika.

"Kalau mas nggak bisa. Izinkan aku untuk pergi ke sana," lanjutku sebelum Mas Yoshi menjawab. Karena aku tahu, mungkin dia merasa tak layak datang ke pemukiman Ruli. Orang terpandang, pengacara ternama, apa mungkin sudi menemani istrinya ke gang sempit itu. Aku selalu sendirian jika berkunjung ke rumah Ruli. Sebab Mas Yoshi juga sedang bekerja kalau aku ke sana untuk menghilangkan sepi.

"Besok mas antar," jawabnya.

***L***

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
masih tanda tanya ...
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
syukurlah kamu nyadar memang bodoh. tapi sayangnya kamu cuma bisa ngebatin dan semakin memperbodoh dirimu.
goodnovel comment avatar
Sasya Sa'adah
nasibmu nas, punya suami mantan duda ga jelas penuh teka teki lagi. Ayo Anastasia cerdas dikit lah jadi istri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status