“Apa dia perempuan yang Mas cintai? Perempuan yang selama ini Mas tunggu untuk dinikahi?”
Mas Afnan terlihat kaget dengan perkataanku barusan. Mungkin dia kaget karena aku tahu soal fakta itu.
“Tolong jawab, Mas!” desakku.
Mas Afnan malah meraup wajah kasar. Dia menatapku dengan tak biasa. “Kenapa kamu seperti ini, Safa? Kita hanya menikah secara kontrak.”
Hatiku mencelos. Kenapa Mas Afnan baru mau membuka suara hanya untuk mengingatkan fakta itu? Aku benar-benar tak habis fikir. Mataku terpejam singkat menahan gemuruh yang semakin bergejolak dalam dada. Sepasang tanganku mengepal.
“Mas tahu kita hanya nikah kontrak, lalu apa arti dari semua sikap baik kamu selama ini, Mas? Cuma sandiwara? Mas sengaja melakukan itu untuk mempermainkan perasaan aku?” cecarku lagi mengeluarkan semua emosi yang terpendam selama ini.
Aku semakin geram karena Mas Afnan tak menjawab apa-apa. Baiklah! Jika benar Mas A
Suara mesin mobil Mas Afnan berhenti di depan rumah membuat detak jantungku bertambah cepat. Aku tahu, malam ini waktunya. Waktu untuk bicara. Waktu untuk memperbaiki batas yang mulai kabur. Tapi juga waktu untuk menyiapkan hati. Entah akan berujung pada pelukan, atau justru diam yang menggantung lagi.Aku bangkit dari duduk dan mengintip dari sela gorden, lalu buru-buru menuju pintu saat melihat mobilnya sudah benar-benar berhenti. Ketika pintu terbuka, kulihat wajah lelah Mas Afnan dan dahi yang mengernyit saat melihatku masih terjaga.“Kenapa belum tidur?” tanyanya lirih.Aku tersenyum tipis dan mencoba tetap tenang, meski gemuruh di dadaku seperti petir yang menunggu meledak. Aku melangkah mendekat, lalu meraih tangannya dan mencium punggungnya dengan penuh takjim. Sehangat itu kulitnya, bahkan saat lelah sekalipun.“Mas pasti capek banget, ya,” kataku pelan. “Aku buatin minum dulu, ya.”“Nggak usah, Sa
Aku baru saja selesai mengenakan jilbab dan memeriksa tas berisi buku-buku hafalan anak-anak TPA, ketika suara langkah kaki terdengar di lorong. Pagi masih segar, semoga hati juga bisa tetap segar hari ini.Namun, langkahku terhenti ketika pintu kamar terbuka dan aku berpapasan dengan Sarah. Ia tampak sibuk merapikan kunciran rambutnya dengan tas selempang tergantung di bahu.“Kak,” ucapnya ringan tanpa sadar menambah beban di pundakku. “Meja yang di deket dapur itu kayaknya menuhin tempat deh. Jadi, aku pindahin aja ke belakang.”Aku langsung menoleh. Keningku otomatis mengerut. “Meja yang mana, Sar?” tanyaku. Suaraku lebih tinggi dari biasanya. “Kenapa kamu nggak bilang-bilang dulu?”Sarah terdiam sejenak. Mungkin dia menyadari perubahan nada suaraku. Ia mengatupkan bibir, lalu menjawab pelan, “Maaf, Kak. Aku pikir kakak juga akan setuju. Lagipula, mejanya juga jarang dipakai, kan?”Aku
Aku terbangun oleh suara pintu yang ditutup pelan. Samar-samar, suara langkah kaki Mas Afnan yang baru saja selesai mengambil wudhu terdengar menembus keheningan malam. Sekilas kulirik jam dinding. Pukul dua lewat sedikit. Dini hari yang sunyi. Tapi tidak untuk hatiku.Aku bangkit setengah duduk. “Mas, mau shalat, ya?”Mas Afnan menoleh. Raut wajahnya sedikit terkejut. Entah karena aku bangun atau karena aku menyapanya. “Iya,” jawabnya pelan. “Kok kamu bangun?”Aku tersenyum tipis dan menjawab, “Aku juga mau shalat. Tungguin, ya.”Dia terdiam sejenak. Tatapan matanya memudar. Ada jarak yang tak kasat mata, tapi terasa sangat nyata. Tapi pada akhirnya dia mengangguk juga.Aku buru-buru menyibak selimut dan melangkah ke kamar mandi. Gemericik air wudhu menyadarkanku sepenuhnya. Rasanya seperti membasuh luka yang sejak beberapa hari ini kupendam. Luka karena rasa canggung yang tak semestinya ada antara s
Pagi ini udara desa terasa lebih sejuk dari biasanya, tapi tidak dengan suasana hati di dalam rumah. Aku yang sedang menyiapkan sarapan di dapur bisa mendengar suara Mas Afnan yang terdengar lebih berat dari ruang tamu. Nada tenangnya tetap terdengar, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan.“Jadi, kenapa kamu harus milih tinggal di sini, Sar?” tanya Mas Afnan.Aku menahan gerakan tanganku sejenak, mencuri dengar tanpa benar-benar berniat menguping. Namun, percakapan itu terlalu dekat untuk diabaikan.“Padahal, nggak jauh dari sini juga ada penginapan kecil yang aman dan cukup dikenal orang,” lanjutnya.Suara Sarah terdengar pelan dan ragu. “Aku nggak nyaman, Kak. Di tempat yang nggak aku kenal siapa-siapa.”Ada jeda. Tak lama kemudian, suara helaan nafas panjang Mas Afnan menyusul. “Papa sama Mama tahu kamu nginep di sini?” tanyanya kali ini lebih tegas.Aku bisa membayangkan Sarah menunduk. S
Mentari siang mulai condong ke barat saat aku menutup lembar hafalan anak-anak, menandai berakhirnya sesi mengajar hari ini. Suasana TPA mulai lengang. Beberapa anak sudah dijemput orang tuanya. Sebagian lagi duduk di pojokan sambil menunggu waktu pulang.Aku menghela nafas panjang dan mengusap keringat tipis di pelipis. Hari ini cukup melelahkan, tapi ada rasa lega yang mengalir saat melihat semangat anak-anak menghafal ayat demi ayat. Belum sempat kubereskan semuanya, ponselku bergetar. Kubuka layar dan sebaris pesan masuk membuat dahiku langsung berkerut. Dari Sarah.“Aku udah di rumah Kakak. Aku tunggu ya.”Aku mematung sejenak. Sarah di rumahku? Kenapa dia bisa ada di sana? Dan buat apa?Perasaan tidak nyaman langsung menyusup ke dada. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa kutahan, tapi tak juga bisa kutemukan jawabannya.“Safa, mau langsung pulang?” suara Nilam membuyarkan lamunanku.Aku menoleh, buru
Udara pagi di desa memang selalu membawa damai yang aneh. Angin semilir menyapu hijabku saat motornya berhenti di depan gerbang TPA. Aku menoleh dan melihat wajahnya yang masih tampak segar meski pasti kurang tidur.“Kayaknya hari ini Mas bakal pulang telat deh,” ucapnya tiba-tiba.Aku mengerutkan dahi. “Jam berapa, Mas?”“Mungkin agak maleman,” jawabnya sambil menurunkan standar motor. “Soalnya harus ngatur acara juga. Banyak yang belum beres.”Aku mengangguk pelan. “Oh, iya. Paham.”Mas Afnan menoleh padaku lagi. “Nanti kalau lewat Isya Mas belum pulang, kamu langsung tidur aja ya.”“Emang selama itu?” ucapku cepat dan sedikit kaget.Dia tertawa kecil. Nada suaranya genit. “Kenapa? Takut kangen ya?”Aku mendengus dan berpaling ke arah gerbang. “Nggak juga.”Tapi pipiku malah panas. Aku tahu wajahku memerah, dan M