Revina sadar jika kali ini pun dia masih melukai perasaan sahabat masa kecilnya itu, dia pasti sangat mengecewakan hingga Aryan pasrah karena sangat putus asa. Sebenarnya bukan tanpa sebab Ervina bersikap bodoh seperti ini, dia terlanjur malu semalu-malunya dengan Aryan, dia memilih menjauh dan juga teguh pada pendiriannya akan Rizal.“Hmp, baiklah Ar. Kalau gitu… aku pamit pulang ya, terima kasih untuk hari ini.” Ucap Ervina sambil berdiri dari duduknya.Aryan terlihat tak merespon secara berlebihan, pria itu hanya mengangguk seakan tak peduli dengan kepergian Ervina. Setelah wanita itu pergi, Feri yang dari tadi menyelinap menunggu kepergian Ervina segera masuk ke dalam kantor.“Apa dia percaya?” tanyanya amat penasaran.“Hey! Aryan, apa yang kalian bicarakan barusan?” tanyanya lagi karena Aryan tampak termenung tak menggubris pertanyaannya.Aryan tersadar, lalu menatap ke arah Feri yang terlihat khawatir juga penasaran.“Seperti yang kamu lihat, dia tak peduli_”“Wah!” potong Feri
Ervina menghela napas panjang, “kita bicara disini saja.”Raut wajah Rizal seketika berubah keruh, “ayolah… apa kita mau bertengkar diluar? biar seluruh komplek tahu? gitu?” tanyanya.Ervina membalas raut wajah keruh itu dengan tatapan bingung, “lagipula siapa yang mau bertengkar? memangnya kamu salah apa?” balasnya.Rizal terdiam, gerak geriknya mendadak kikuk, tidak biasanya Ervina bersikap setenang ini. Jika keadaan berbalik begini, diancam gak jadi nikah pun sepertinya perempuan itu tak akan mempan.“Aku capek, aku mau istirahat. Sebaiknya Mas pulang aja,” sambung Ervin seakan mengusir.Rizal semakin kikuk, lalu dia mengelus-elus rambutnya. “Jadi… apa kamu tidak marah?” tanyanya.Ervina mengedikkan bahunya, “marah? kenapa aku harus marah? bukannya kamu yang bilang kalau itu perintah atasanmu?” balasnya bertanya.“Ayolah… maafkan aku Sayang, aku janji__”“Janji? janjimu itu hanya untuk kamu ingkari, Mas.” Potong Ervina.Rizal terdiam, bingung harus mengeluarkan jurus apa lagi kalau
“Kalau gitu… apa yang kita harus lakukan sekarang?” tanya Rizal.“Sabar… tunggu hari esok saja,” balas ibunya.“Bu… takutnya kalau dibesokin, dia gak aktifin ponselnya.” Rengek Rizal.Ibunya tampak menghela napas kesal, “tidak salah kau selalu kehilangan sesuatu yang berharga.” Dengusnya.Rizal menatap nyalang, “maksud ibu?” tanyanya.Ibunya kembali menghela napas kesal, “karena kau gak sabaran… tenang aja, ada ibu.” Katanya memastikan sesuatu hal yang belum pasti.“Cih!” bibir Rizal monyong hingga lima senti.“Eh, kau ini ya. Gak percaya ama kemampuan ibu?” tanyanya.Rizal membalas dengan mengedikkan kedua bahunya, tampak seakan menyepelekan juga senang saat ibunya itu terlihat kesal.“Haha… maaf, Bu… iya… Rizal tau kok kalau Ibu the best.” Lanjutnya sambil tertawa.Ibunya menggeplak bahu putra kesayangannya itu, begitulah dia hingga ibunya itu sangat membanggakannya meskipun anaknya itu belum ada sesuatu yang patut untuk dibanggakan, kecuali ketampanannya.“Ibu yakin, kalau rencana
“Ngapain kau?” tanya Raya, kembali melayangkan telapak tangannya ke kepala Rizal.“Aduh… Mbak. sakit tau! kira-kira lah kalau mukul,” rengek Rizal.“Malas, aku. Nanti biar ibu aja yang jelasin, keburu ilfeel.” Lanjutnya sambil berdiri dan segera pergi masuk ke dalam kamarnya.Ibunya sampai geleng-geleng kepala dengan wajah tak terima anak bungsunya ditindas kakaknya seperti begitu.“Kau itu ya Ray, sudah besar, sudah berumur, sikap kau kasar begitu mana ada yang mau ngawinin.” Dengus sang ibu.“Halah, ibu ini. Mengganggu kesenangan saja, jadi… ayo cerita padaku Bu, apa yang sedang kalian rencanakan?” balas Raya, lanjut bertanya.Ibu Raya menghela napas, lalu menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi Rizal yang ketahuan berselingkuh, Rizal tampak menyesal dan takut kehilangan Ervina, makanya dia meminta bantuannya.Raya mengangguk paham setelah dia menyimak perkataan ibunya tersebut.“Kalau gitu… sepertinya aku juga harus bantu kalian.” Desah Raya.Ibunya sampai melirik tak percay
Kedua mata Ervina sampai membelalak saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut Rizal si pria paling gila kerja dan paling takut kehilangan pekerjaan itu.“Kenapa Sayang?” tanya Rizal sambil melangkah maju, hingga tubuhnya dan tubuh Ervina hampir merapat.“Hus! jangan bicara sembarangan.” Balas Ervina sambil mendorong tubuh Rizal yang terlalu merapat hingga dua gunung miliknya hampir menempel.Melihat wajah Ervina yang terlihat malu dan tak sejudes kemarin, Rizal yakin jika wanita itu akan luluh lagi olehnya jika terus dia rayu, dengan begini saja sepertinya Rizal tak membutuhkan bantuan kakak maupun ibunya lagi.Rizal kembali maju, kali ini Ervina yang terus mundur hingga mereka masuk kembali ke dalam rumah.“Apa yang kamu lakukan, Mas?” tanya Ervina sambil berusaha mendorong dada Rizal.Rizal tak mempedulikannya, pria itu terus mendesak tubuh Ervina hingga gadis itu tak berdaya dan tak ada lagi tempat untuknya menghindar karena tubuhnya kini sudah berada di belakang tembok rumah, E
Tanpa Ervina sadari karena gadis itu tengah bergulat dengan pikiran-pikiran semrawutnya, jari jemari Rizal sudah membuka beberapa kancing kemeja kerjanya, lalu menciumi dua gunungnya, saat bibir itu terasa menempel pada kulitnya, barulah Ervina sadar kalau ini bukan mimpi melainkan kenyataan yang sedang dialaminya.“TIDAK!” seru Ervina sambil menendang kemaluan Rizal hingga pria itu mengaduh kesakitan.Rizal mendadak berdiri dan menjauh dari dekat Ervina, kedua tangannya memegang kemaluannya sambil meringis.“MAAF!” seru Ervina lagi, dengan gelagapan dan kebingungan harus berbuat apa pada sesuatu yang ditendangnya barusan. Dia segera bangun dan menutup rapat kembali kemejanya serta tak lupa merapikan kembali hijabnya yang mungkin saja berantakan juga.“Shit! aduh…” desah Rizal sambil merapatkan kedua kakinya untuk menahan rasa sakitnya.Ervina sampai ikut meringis melihat Rizal bertingkah seperti itu, “salah sendiri.” Gumamnya.“Tadinya aku pikir… tidak masalah, karena kita akan seger
Ervina tersenyum malu-malu, tentu saja gadis itu merasa tersanjung meskipun pujian seuprit yang sebenarnya tak berarti itu.‘Wanita bodoh!’ batin Rizal.Sepasang sejoli yang baru saja berbaikan kembali dan saling memaafkan itu akhirnya pergi bersama untuk menemui orang tua yang dari awal sudah sekongkol dengan anak laki-lakinya itu, selama dalam perjalanan Rizal tak hentinya menggenggam tangan Ervina serta menciuminya penuh kasih sayang, tentu saja wanita seperti Ervina yang gampang luluh dan mudah memaafkan itu bak seorang wanita yang hanya dicintai juga dikagumi oleh satu pria saja, hingga dia semakin yakin kalau Rizal memang pilihannya yang terbaik.Beberapa saat kemudian mobil yang Rizal kendarai tiba di sebuah rumah sakit, dia membukakan pintu untuk Ervina, menyanjung wanita itu sedemikian rupa setidaknya sampai mereka menikah dan Rizal puas dengan wanita itu.“Ayo masuk.” Ajak Rizal sesampainya di depan ruang pasien.Keduanya masuk ke dalam ruangan.“Ibu, aku bawa mantumu.” Kata
"Sebaiknya kamu pergi dari rumah ini dan bawa serta anak itu, lagipula itu bukan anak aku." Perkataan itu bagaikan pisau tajam yang menusuk hati Revina, wanita muda yang baru melahirkan anak pertamanya itu tidak menyangka jika suaminya akan mengucapkan kata-kata sekejam itu. Dia bahkan tega membawa seorang wanita ke dalam rumah dan memperkenalkannya sebagai calon istri muda, padahal pria itu masih berstatus sebagai suami sahnya."Mas, ini kan rumah aku. Hasil jerih payah aku selama masih lajang, kenapa aku yang harus pergi dari rumah ini? Harusnya kalian." Tanya Revi, seperti biasa perempuan baik itu hanya bisa berbicara lirih dan lemah lembut meskipun dalam keadaan sedang emosi.Rizal terlihat duduk tenang, perempuan disampingnya juga hanya terdiam karena pria itu menyuruhnya menurut saja padanya dan dia yang akan menyelesaikan permasalahan antara dia dan istrinya."Ya sudah, kalau kamu tidak mau menerima aku menikah dengan Nana maka itulah pilihan yang bisa aku berikan pada kamu."