Share

6. Satu Lagi Kesialan

Aku melangkah sempoyongan, keluar dari gedung apartemen yang menjulang tinggi. Dengan heels yang sedari tadi malam membuat pergelangan kakiku sakit, serta gaun kotor yang kini kusembunyikan di balik tuxedo dari lelaki bernama Alex, berjalan terburu mencari taxi di pinggir jalan. 

Begitu sebuah mobil berhenti di depanku, tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke sana.

"Mau diantar kemana mbak?" Tanya supir di kursi kemudi depan.

"Menteng pak, kost dukuh atas." Jawabku langsung.

Detik berikutnya, mobil berwarna abu-abu terang itu melaju, membawaku jauh dari apartemen elit yang terletak di Jakarta Selatan. Melewati jalan lingkar, aku menghabiskan sekitar 15 menit menuju Jakarta pusat tempat tinggalku.

Apa yang telah terjadi, akupun tak mengerti. Segalanya benar-benar tiba-tiba. Perkataan lelaki itu terakhir kali membuat kepalaku kembali pening. Suaranya seolah mengalun tanpa henti di telingaku, ia seperti menanamkan spiker kecil dalam otakku.

"Aku tertarik padamu."

Aku mengacak rambut frustasi, bagaiman ini? Kenapa dia mengusikku. Aku hanya ingin lepas dari cinta seumur hidupku yang kini telah jadi milik orang lain. Tapi lelaki ini malah datang entah darimana, membawa beban tak kasat mata, seolah ingin menyiksaku kembali dengan segala harapan.

"Na, sadar bodoh!" Aku mencoba untuk kembali ke dunia nyata. "Lelaki itu brengsek!" Tekanku berkali-kali.

Meski mendapat lirikan aneh berulang kali dari supir melalui spion depan, aku tak lagi peduli dengan pandangan orang. Aku gila sendirian, berbicara dalam kekosongan.

"Sudah sampai mbak," ujarnya tersenyum ramah.

Aku segera mencari dompet dalam tasku, untuk mengambil beberapa lembar cash.

"Eh?" Tunggu dulu, ada yang hilang!

Tas kecil dengan satu lubang yang hanya menggunakan magnet pada penutup tanpa resleting. Aku tidak bisa menemukan ponselku ketika membukanya, hanya dompet. Aku tidak membawa barang lain, bahkan sepotong tisu. Ponselku menghilang begitu saja.

Aku mulai gusar, mencari benda persegi itu khawatir. Hingga aku tersadar dengan raut wajah tak enak dari supir yang kini melihatku aneh. Mungkin dia akhirnya mengambil kesimpulan. Aku seorang gadis sakit jiwa! Maksudku, dengan gaun kotor, rambut acakan serta sibuk berbicara sendiri sepanjang perjalanan? Siapapun akan berpikir aku kehilangan kewarasan!

"Maaf pak," tersadar dengan semua prasangka yang terbaca dari mata lelaki paruh baya itu, aku segera memberinya uang dengan jumlah yang sesuai.

Aku menutup pintu taxi lemah. Kini aku bukan hanya kehilangan kewarasan, tapi juga ponsel satu-satunya yang kumiliki. Dengan kepala yang terus bergemuruh, aku terus melangkah gontai kearah kost menuju kamarku.

Apakah hari ini akan lebih buruk?

Rasa lelah yang masih menggerogoti tubuh, tanpa tenaga aku memutar kenop pintu. Aku ingin segera merebahkan diri, lalu tidur sepanjang hari.

"Darimana aja kamu?" Ah, sepertinya tuhan tidak berpihak padaku.

"Sejak kapan kamu di sini?" Tanyaku melihat Eva yang kini duduk di kursi meja kerjaku, sambil memasang wajah sangar.

Aku tidak punya tenaga untuk beradu argumen dengannya. Aku ingin meluruskan punggung dalam selimut hangat.

Tanpa peduli dengan raut wajahnya, aku segara melempar tasku ke segala arah, lalu melempar diri ke atas kasur dan membenamkan seluruh wajah di sana.

Wangi vanila.

Aku terbelalak, mengingat sesuatu. Harumnya bukan berasal dari selimut berwarna merah muda milikku. Tapi, ini wangi lelaki itu, Alex. Harum tubuhnya menempel pada tuxedo yang masih kupakai.

"Jawab pertanyaanku Na, kamu darimana aja semalam?" Eva kembali membuat suara, gadis itu terdengar khawatir.

Aku memutuskan untuk bangun, duduk bersila di atas kasur, "aku kan udah bilang, aku ke rumah teman."

"Benarkah?" Ia menyipitkan mata tidak percaya, "jangan bohong."

"Aku gak bohong kok," sayangnya nada suaraku bergetar, takut ketahuan. Semoga saja dia tidak sadar.

"Terus kenapa tadi ponsel kamu diangkat sama cowok?"

"Hah?" Pada akhirnya, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut wajah terkejutku. Lelaki itu benar-benar.

"Dia ngomong apa?" Tanyaku takut-takut.

"Dia nyuruh kamu buat ngambil ponsel kamu sendiri," jelas Eva. "Di tempat kamu meninggalkannya, dia bilang akan menunggu kedatangan kamu." Sambungnya lagi tanpa melepas kecurigaan di wajahnya.

"Oh..., Eum...." Aku benar-benar kehilangan kosa kata, "dia itu...," Siapa Na, pikirkan! "Pacar teman kantorku!" Jawabku terburu.

"Aku tau kamu berbohong, jangan bercanda." Tentu saja, Eva adalah pendeteksi kebohongan yang hebat.

"Aku gak bohong kok," tapi aku tidak mau menyerah. Aku tidak tau alasan apa lagi yang lebih masuk akal dari itu, "kamu percaya aja padaku, aku capek banget Va. Aku lagi patah hati, tolong ngertiin aku sekali ini aja." Memelas adalah pilihan terbaik.

"Baiklah," untuk saat ini, gadis itu menerima, walau terlihat begitu terpaksa. Aku yakin, dia tidak akan melepaskanku begitu saja.

"Terus baju kamu kenapa sampai kotor kayak gitu?" Ia menunjuk gaunku yang dilumuri minuman berwarna merah. "Tuxedu itu punya siapa pula?" Sambungnya lagi.

"Oh ini?" Bolehkah aku kembali berbohong? "Punya pacar temanku." Tentu saja!

"Baik banget tu cowok, teman kamu apa gak cemburu?"

"Ya gak lah," aku memutuskan untuk kembali tidur, mengambil boneka koala untuk kujadikan bantal. "Lagian nanti aku kembalikan kok, sambil ambil ponselku."

"Terserah kamu," ia terlihat lelah dengan semua omong kosong yang kulontarkan. "Nih, coba kamu ngomong sendiri."

Ponsel Eva bergetar, seseorang memanggil dari balik sana. Ia melempar benda persegi itu kearahku. Aku segera bangun dan kembali duduk, mengambil ponsel Eva memeriksa siapa yang menghubunginya.

Diriku sendiri. Artinya, lelaki itu.

"Halo," jawabku langsung.

"Kamu sudah di rumah?" Aku mengerutkan kening.

"Kamu tau siapa aku?" Pasalnya, ini ponsel Eva. Bagaimana caranya lelaki itu mengenali suaraku?

"Tentu saja, aku sangat mengingatnya...," Ia berujar dengan suara rendah. "Suaramu." Lelaki ini, sedang berusaha menggoda.

"Untuk ponselku, bisakah kamu mengirimnya saja?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Kamu ingin aku mengunjungimu?" Dia menyebalkan.

"Kamu tau, di dunia ini ada yang namanya jasa pesan antar." Jelasku geram.

"Aku tau, tapi bukankah lebih baik kita bertemu? Sepertinya kita perlu mendiskusikan apa yang telah terjadi."

"Tidak perlu," aku berucap secepat helaan nafasnya ketika mendengar jawabanku.

"Semua tidak akan berakhir begitu saja, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi. Kau tidak mungkin bisa menghindar seumur hidup."

"Aku tidak menghindar, aku hanya berusaha meminimalisir kemungkinan kita untuk bertemu. Jadi berhentilah berharap!" Tekanku.

"Apa bedanya? Kamu lupa, meski kini Risa dan Farhan telah menikah, mereka tetaplah temanmu." Dia tidak mau menyerah, "melalui Meraka, kita akan kembali dipertemukan. Daripada merasa canggung ketika hari itu datang, bukankah lebih baik kita mulai membangun hubungan yang nyaman."

"Jangan bercanda, aku tidak tertarik dengan semua keinginanmu! Aku juga tidak ingin merasa nyaman bersamamu!" Entah mengapa aku marah. Setelah apa yang terjadi, aku merasa dia memandang rendah diriku.

Lelaki itu terdengar begitu percaya diri, dia seolah yakin bisa menaklukkan siapapun.

"Aku tidak bercanda nona," ia menekankan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. "Aku sangat serius sekarang, datanglah besok ke tempat di mana kamu meninggalkan ponselmu, aku akan menunggu."

"Sudah kubilang, tidak bisakah kamu...,"

"Jika kamu tidak muncul besok, jangan harap benda ini akan kembali ke pemiliknya!"

Tut, Tut, Tut.

Panggilan pun diakhiri begitu saja, dia tidak membiarkanku membalas satu katapun.

"Pacar temanmu?" Ah gawat, aku melupakan seseorang.

"Hah?"

"Dia siapa Hanna?" Mata elang itu kini menatapku tajam, Eva siap memakanku hidup-hidup.

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status