Share

Bab 2. Rencana Licik

Esoknya Gina kembali ke cafe, bukan untuk bertemu dengan pria selingkuhannya melainkan mencari sosok yang semalam menabraknya. Gadis yang wajahnya mirip dengannya.

"Zara!" panggil seorang pria bertubuh tinggi besar.

Gina memekik ketika seseorang mencekal tangannya.

"Akh! Sakit tau!" bentaknya.

"Aku sudah bayar kamu mahal tapi kamu malah kabur!" 

"Aku? Kabur?" cicit Gina.

"Ck! Tidak usah pura-pura lupa, Zara!"

Gina langsung paham, pria yang saat ini marah padanya mungkin mengira Gina adalah Zara gadis yang kemarin menabraknya.

"Nama Anda siapa?" tanya Gina.

"Kamu salah makan atau kepala kamu terbentur sesuat, hah?!" bentak Demian.

"Baiklah, saya akan ingatkan kamu. Saya Demian, salah satu penggemar berat kamu. Saya suka suara kamu, semalam saya meminta manager cafe agar kamu menemani saya karaoke, tapi kamu malah kabur, sudah ingat sekarang?" sambungnya.

"Maafkan saya, kemarin mendadak ada urusan makanya saya pergi." Gina mencoba memainkan perannya menjadi Zara, pria di depannya mengira begitu bukan?

Malam ini Gina tidak bertemu dengan Zara melainkan dia harus menemani Demian, karaoke sampai pria itu merasa puas.

Orang-orang di cafe mengira Gina adalah Zara. Padahal Zara sendiri saat ini sedang berada di rumahnya bersama nenek tercinta yang telah merawatnya dari dia bayi karena kedua orang tua Zara sudah meninggal sejak dia bayi.

***

Sudah dua malam ini Gina datang ke cafe tapi dia tidak menemukan gadis yang wajahnya mirip dengannya. Ini malam ketiga dia hanya bisa berharap bertemu dengan gadis itu.

Senyum Gina mengembang sempurna ketika dia melihat Zara keluar dari taxi hendak masuk ke dalam  cafe. Gina langsung keluar dari dalam mobil dan mencekal tangan Zara.

Kedua bola mata Zara membola ketika melihat siapa yang menahannya. Bagai bercermin, wajah gadis yang di depannya sangatlah mirip dengannya. Saat ini hanya potongan rambut yang membedakan tapi siapa yang akan notice, toh rambut bisa saja di akali dengan memakai wig?

"Masuk, ada yang mau saya bicarakan," titah Gina sedikit memaksa Zara masuk ke dalam mobilnya.

Zara menurut karena dia masih mengingat pernah menabrak Gina, dia duduk di depan dan Gina duduk di kursi kemudi.

"Saya Gina," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Zara membalasnya, "Saya Zara."

"Saya sudah tahu, karena sudah dua malam ini saya mencari kamu di cafe ini, dan semua orang mengira saya adalah kamu," terang Guna, terkekeh pelan.

"Bagaimana bisa wajah kita sama?" Zara penasaran.

"Entahlah, yang aku ketahui di dunia ini memang ada beberapa orang yang mirip," jawab Gina dengan menggedikan pundaknya.

"Begini, Zara. Maksud saya meminta kamu masuk ke sini karena ada hal yang penting."

Gina menarik napasnya dalam-dalam sebelum dia melanjutkan kalimatnya.

"Seminggu lagi saya akan menikah dengan seorang duda beranak satu, sementara itu saya tidak mencintainya, saya punya kekasih."

"Saya ingin kamu menggantikan saya menikah dengan mas Arham," sambung Gina. 

Rahang Zara jatuh, bagaimana bisa dia menggantikan posisi wanita lain menjadi istri seorang pria yang dia belum kenal sama sekali, Mas Arham? Siapa dia? Berapa usianya?

"Aku akan bayar kamu mahal untuk ini," bujuk Gina. 

Kepala Zara jelas menggeleng. Dia menolak rencana Gina mentah-mentah.

"Please ...," mohon Gina.

Sekali tidak tetap tidak jawabannya.

"Kamu sudah tidak waras, Mba!" cicit Zara. Dia langsung keluar dari mobil sedan berwarna putih itu dan masuk ke dalam Cafe.

Gina mengcengram setir mobil dengan kuat. Rahangnya mengeras. Matanya menatap tajam Zara sampai gadis itu menghilang di balik pintu cafe.

Tangan Gina menarih ponsel pintarnya dan menghubungi seseorang. Tidak lama tapi obrolan tersebut singkat dan jelas.

Gina mendengus kasar setelah mengakhiri sambungan telponnya.

"Aku akan buat kamu menerima tawaranku, Zara!" Gina menyeringai.

***

Sedang asik menghibur pengunjung Cafe dengan suaranya tiba-tiba manager cafe tersebut meminta Zara menemuinya segera setelah lagu yang dia  nyanyikan berakhir.

"Ada apa, Pak?" tanya Zara penasaran.

"Tadi ada telpon dari tetangga kamu, katanya rumah kamu kebakaran dan nenek kamu di matikan ke rumah sakit terdekat, kamu harus segera pulang, Zara."

"E-eyang ...." Zara kehilangan kata-kata, dia tidak menyangka musibah itu menimpa neneknya tercinta. Keluarga satu-satunya yang hidup bersamanya.

Tanpa banyak bicara Zara langsung pergi dari sana. Menuju rumah sakit terdekat.

Sesampainya di rumah sakit Zara langsung ke IGD tapi ternyata sang nenek sudah dipindahkan ke ruang ICU karena luka bakar yang hampir 50% mengenai tubuh bagian bawahnya membuat si nenek tidak sadarkan diri karena faktor usia dan adanya penyakit lain.

Zara menangis ketika dia masuk ke dalam ruang ICU dengan pakaian khusus itu pun dia hanya bisa melihat dari balik kaca saja. 

"Apa yang terjadi, Eyang? Kenapa sampai seperti ini?" ucapnya di tengah isak tangis lirih.

"Permisi, Mba. Apa Anda keluarga pasien?" Seorang Suster menyapa Zara dengan ramah.

"Iya, Sus, wanita  yang di dalam adalah nenek saya," jawab Zara, mengusap air matanya.

"Bisa ikut saya? Karena sejak tadi dokter Kevin mencari Anda," ajak Suster tersebut.

Zara menurut, mengikuti langkah suster itu ke ruang praktek yang dia sebut dokter Kevin.

"Selamat malam, Dok. Ini keluarga  pasien Ibu Ajeng." 

Setelah suster memperkenalkan, Zara duduk di depan dokter Kevin.

"Selamat malam, Mba, saya dokter Kevin yang menangani -"

"Nenek saya, Dok," sela Zara.

Dokter itu mengangguk paham.

"Saya menerima nenek Anda dalam kondisi kritis saat di bawa kemari. Luka bakar lumayan besar di bagian bawah tubuhnya, dan kemungkinan karena faktor usia beliau shock sampai tidak sadarkan diri maka dari itu kami masukan ke ICU," terang dokter itu.

"Maaf, Dok, untuk biaya bagaimana ya?" 

Pertanyaan yang paling sering di tanya oleh keluarga pasien lainnya, Zara pun menanyakan hal yang serupa.

"Anda punya asuransi?"

***

Langkah kaki Zara gontai, menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran yang rumit. Bagaimana tidak rumit, biaya yang dokter sebutkan sangat fantastis jika tidak memiliki asuransi maka Zara harus menyiapkan dana minimum 100 Juta Rupiah untuk pengobatan dan perawatan neneknya. Dari mana dia mendapat uang itu? 

Zara berlari setelah mengingat kemana dia bisa meminta bantuan. Dengan motor matic pinjaman dari temannya dia kembali ke tempat kerjanya.

Cafe.

Dia berharap pihaknya bekerja bisa meminjamkan dana untuknya.

"Tolong saya, Pak. Anda bisa potong gaji nyanyi saya nanti."

"Maaf, Zara. Kami ikut simpati atas musibah yang terjadi dengan nenek kamu. Tapi, kami tidak bisa meminjamkan dana sebesar itu," ucap pemilik Cafe ketika Zara mengajukan pinjaman dana.

Pundak Zara jatuh, pupus sudah harapannya. Memohonpun percuma. Dia pergi dengan air mana mengalir karena pihak Cafe tidak bisa membantunya. Kemana lagi dia harus meminjam?

Bruk!

Zara menabrak seseorang.

"Kamu?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status