Share

Cinta yang hilang
Cinta yang hilang
Author: Andika

Jatuh Cinta

Dimas benar-benar bingung terhadap keadaan di SMA barunya sekarang. Lantaran ia dimasukkan ke jurusan bahasa, padahal dia memilih jurusan MIPA saat pendaftaran SMA kemarin. Nilai matematikanya juga jauh lebih tinggi dari nilai bahasa Indonesianya. Dia kini harus mengurusi surat pindah jurusannya kepada pihak kesiswaan agar dirinya bisa masuk ke jurusan yang diinginkannya.

"Pagi pak," salam Dimas, pria tinggi berkulit putih dengan rambut sedikit ikal itu. Dia masuk ke ruang kesiswaan dimana sudah ada seorang guru berjenggot lebat dengan kulit tubuh sedikit legam duduk di ruangan tersebut.

"Iya, pagi, silahkan duduk," Pak Drajat yang merupakan guru di bagian kesiswaan itu mempersilahkan Dimas untuk duduk.

"Ada yang bisa saya bantu nak?" tanya dia sopan dengan senyum manis yang sebenarnya gak cocok dengan muka seramnya itu.

"Maaf pak, saya ingin mengajukan surat perpindahan jurusan pak, karena saya sejak awal tidak menginginkan untuk masuk ke jurusan bahasa, namun malah dimasukkan sama pihak sekolah pak," ujar Dimas sembari menyodorkan sebuah kertas yang baru saja ia cetak tadi pagi. Dimas membuat surat itu sendiri dan terkesan asal-asalan. Yang penting keinginannya untuk pindah jurusan sudah tertuang dalam surat itu. Pak Drajat yang membaca surat itu lantas sedikit tertawa. Lantaran suratnya tidak ada formal-formalnya sama sekali.

"Oke, kamu masuk saja ke kelas X MIPA 7, untuk perpindahan jurusan kamu, nanti saya yang urus," ungkap Pak Drajat santai sembari mengembalikan surat asal-asalan milik Dimas. Pak Drajat juga menunjukkan kelas X MIPA tujuh yang terlihat dari kaca ruangan kesiswaan.

"Baik pak, trimakasih atas bantuannya pak, jadi sekarang saya langsung masuk kelas itu ya?" ungkap Dimas seakan membutuhkan kepastian sambil menunjuk kelas tadi menggunakan jempolnya agar terlihat sopan.

"Iya, masuk aja," jawab pak Drajat singkat, dia tetap tersenyum manis kepada Dimas.

"Baik pak, makasih ya pak," Dimas mencium tangan pak Drajat untuk kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Dimas pergi ke gedung yang ditunjuk pak Drajat tadi dan sesampainya di depan gedung itu, Dimas dibuat heran. Ia membaca bahwa nama gedung itu ialah laboratorium Kimia. Namun, kenapa di dalam seperti ruangan kelas dimana ada guru dan murid yang sedang melakukan pembelajaran. Pak Drajat tadi juga mengatakan bahwa ini ruang kelas X MIPA 7.

"Tok.. tok.. tok.. ," Dimas mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka. Sontak Bu Sandra, guru Kimia yang sedang mengajar di kelas itu langsung menghentikan pembicaraannya kepada murid-muridnya. Bu Sandra langsung menoleh ke pintu laboratorium kimia yang sekarang juga menjadi kelas X MIPA 7 itu dimana ada Dimas yang sedang berdiri disitu.

"Permisi Bu, apakah ini benar kelas X MIPA 7?", tanya Dimas kepada Bu Sandra dengan sedikit melirihkan suaranya dan menundukkan kepalanya. Dimas sekarang menjadi pusat perhatian murid-murid di kelas itu. Semua murid menatapnya dan itu membuat Dimas sedikit merasa malu. Bu Sandra langsung menghampiri Dimas. Langkahnya begitu anggun bak model yang berjalan di catwalk. Dilengkapi dengan sepatu hak tingginya dan rok hitam ketatnya memberikan kesan casual pada Bu Sandra.

"Iya, ada apa ya nak?", tanya Bu Sandra setelah menghampiri Dimas. 

"Saya anak pindahan dari kelas bahasa dan disuruh masuk di kelas ini sama Pak Drajat Bu," jawab Dimas kepada Bu Sandra yang rambutnya terikat dengan kacamata berbingkai hitamnya yang juga memberikan kesan casual. Bu Sandra termasuk salah satu guru muda yang sangat menjaga penampilan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kesopanan.

"Oh iya, silahkan masuk, tapi nanti perkenalan dulu ya! soalnya yang lain tadi sudah perkenalan," syarat Bu Sandra. Dimas pun masuk ke kelas dan memperkenalkan dirinya.

"Selamat pagi semuanya, nama saya Dimas Ristian Putra, biasa dipanggil Dimas, saya sebelumnya adalah anak jurusan bahasa, namun hanya sehari kemarin saja, dan sekarang saya pindah ke kelas ini," ucap Dimas mengenalkan dirinya kepada murid-murid di kelas itu yang kini akan menjadi teman kelasnya dan mungkin nanti akan menjadi teman-teman yang berarti bagi hidupnya.

Setelah memperkenalkan dirinya, Dimas pun duduk dipersilahkan oleh Bu Sandra untuk duduk di bangku kosong di kelas itu. Yaitu di barisan kedua dari belakang tepat di depan wanita cantik bermuka bulat dengan kacamata tebalnya.

Entah apa yang terjadi dengan Dimas. Perasaannya menjadi berubah setelah melihat wajah wanita itu. Sepanjang pembelajaran pun Dimas sering mencuri pandang ke wanita yang ada dibelakangnya. Sesekali Dimas menyempatkan untuk menoleh ke belakang hanya untuk melihat wajah wanita itu secara diam-diam.

Hingga pelajaran terakhir yang merupakan salah satu pelajaran kesukaannya, yaitu matematika. Dimas pun masih tetap menyempatkan untuk memanjakan matanya dengan melihat wajah wanita di belakangnya yang baginya wajahnya begitu manis dibalut dengan kerudung putih yang membentuk wajah wanita itu menjadi semakin bulat.

Mengingat pembelajaran matematika akan berakhir, dan sebentar lagi mereka akan pulang. Dimas pun merobek kertas yang ada di bukunya. Dia mengambil bolpoin hitam dengan cetekan di atasnya lalu menuliskan nomor WhatsAppnya di robekan kertas itu.

"Baik anak-anak, pelajaran hari ini selesai, silahkan kemas barang-barang kalian dan kalian boleh pulang," ujar Pak Abed, guru matematika kelas X MIPA 7 yang kebagian mengajar di jam terakhir hari ini. Semua murid mengemasi barang-barangnya. Buku, bolpon, pensil dan alat tulis lainnya satu per satu dimasukkan ke dalam tas.

Namun berbeda dengan Dimas. Ia menyempatkan untuk membalikkan badannya dan memberikan sobekan kertas tadi kepada wanita di belakangnya itu. Si wanita nampak heran, namun tetap menerima sobekan kertas itu. Sobekan kertas itu tidak dilipat ataupun digulung oleh Dimas. Dibiarkan begitu saja sehingga wanita itu langsung tahu apa yang diberikan oleh Dimas. Sebuah angka dengan awalan 0 yang tersusun menjadi sebuah nomer W******p.

"Nanti chat aku ya, ada yang mau aku omongin, penting," ungkap Dimas dengan percaya dirinya setelah memberikan sobekan kertas itu. Setelah itu, Dimas pun langsung membalikkan badan dan bergegas mengemasi bukunya agar tidak ketinggalan oleh teman-temannya.

Seperti sekolah pada umumnya. Sebelum pulang, seisi kelas berdoa bersama yang dipimpin oleh ketua kelas. Namun karena belum ada ketua kelas, Dimas ditunjuk oleh Pak Ubed untuk memimpin doa karena dia yang paling lambat saat kemas-kemas tadi.

"Berdoa mulai!" ucap Dimas singkat diikuti dengan teman-temannya yang mulai berdoa dengan gayanya masing-masing. Ada yang melipatkan tangannya, ada yang memejamkan matanya sambil memegang tas ranselnya, dan Dimas sendiri memangkukan tangannya di atas meja, dan dia menundukkan kepalanya menempel pada kesua tangannya persis seperti gaya murid tidur saat pembelajaran.

"Berdoa selesai!" ucap Dimas beberapa menit kemudian. Satu per satu Siswa mulai meninggalkan kelas dengan mencium tangan pak Abed sebelum keluar dari kelas.

Di sepanjang perjalanan pulang, Dimas nampak gembira. Dia berjalan dengan sangat riang bak seorang anak yang baru saja dibelikan mobil-mobilan oleh ayahnya. Raut mukanya begitu semringah dengan hati yang berbunga-bunga. Sepertinya Dimas sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status