Dimas benar-benar bingung terhadap keadaan di SMA barunya sekarang. Lantaran ia dimasukkan ke jurusan bahasa, padahal dia memilih jurusan MIPA saat pendaftaran SMA kemarin. Nilai matematikanya juga jauh lebih tinggi dari nilai bahasa Indonesianya. Dia kini harus mengurusi surat pindah jurusannya kepada pihak kesiswaan agar dirinya bisa masuk ke jurusan yang diinginkannya.
"Pagi pak," salam Dimas, pria tinggi berkulit putih dengan rambut sedikit ikal itu. Dia masuk ke ruang kesiswaan dimana sudah ada seorang guru berjenggot lebat dengan kulit tubuh sedikit legam duduk di ruangan tersebut.
"Iya, pagi, silahkan duduk," Pak Drajat yang merupakan guru di bagian kesiswaan itu mempersilahkan Dimas untuk duduk.
"Ada yang bisa saya bantu nak?" tanya dia sopan dengan senyum manis yang sebenarnya gak cocok dengan muka seramnya itu.
"Maaf pak, saya ingin mengajukan surat perpindahan jurusan pak, karena saya sejak awal tidak menginginkan untuk masuk ke jurusan bahasa, namun malah dimasukkan sama pihak sekolah pak," ujar Dimas sembari menyodorkan sebuah kertas yang baru saja ia cetak tadi pagi. Dimas membuat surat itu sendiri dan terkesan asal-asalan. Yang penting keinginannya untuk pindah jurusan sudah tertuang dalam surat itu. Pak Drajat yang membaca surat itu lantas sedikit tertawa. Lantaran suratnya tidak ada formal-formalnya sama sekali.
"Oke, kamu masuk saja ke kelas X MIPA 7, untuk perpindahan jurusan kamu, nanti saya yang urus," ungkap Pak Drajat santai sembari mengembalikan surat asal-asalan milik Dimas. Pak Drajat juga menunjukkan kelas X MIPA tujuh yang terlihat dari kaca ruangan kesiswaan.
"Baik pak, trimakasih atas bantuannya pak, jadi sekarang saya langsung masuk kelas itu ya?" ungkap Dimas seakan membutuhkan kepastian sambil menunjuk kelas tadi menggunakan jempolnya agar terlihat sopan.
"Iya, masuk aja," jawab pak Drajat singkat, dia tetap tersenyum manis kepada Dimas.
"Baik pak, makasih ya pak," Dimas mencium tangan pak Drajat untuk kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Dimas pergi ke gedung yang ditunjuk pak Drajat tadi dan sesampainya di depan gedung itu, Dimas dibuat heran. Ia membaca bahwa nama gedung itu ialah laboratorium Kimia. Namun, kenapa di dalam seperti ruangan kelas dimana ada guru dan murid yang sedang melakukan pembelajaran. Pak Drajat tadi juga mengatakan bahwa ini ruang kelas X MIPA 7.
"Tok.. tok.. tok.. ," Dimas mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka. Sontak Bu Sandra, guru Kimia yang sedang mengajar di kelas itu langsung menghentikan pembicaraannya kepada murid-muridnya. Bu Sandra langsung menoleh ke pintu laboratorium kimia yang sekarang juga menjadi kelas X MIPA 7 itu dimana ada Dimas yang sedang berdiri disitu.
"Permisi Bu, apakah ini benar kelas X MIPA 7?", tanya Dimas kepada Bu Sandra dengan sedikit melirihkan suaranya dan menundukkan kepalanya. Dimas sekarang menjadi pusat perhatian murid-murid di kelas itu. Semua murid menatapnya dan itu membuat Dimas sedikit merasa malu. Bu Sandra langsung menghampiri Dimas. Langkahnya begitu anggun bak model yang berjalan di catwalk. Dilengkapi dengan sepatu hak tingginya dan rok hitam ketatnya memberikan kesan casual pada Bu Sandra.
"Iya, ada apa ya nak?", tanya Bu Sandra setelah menghampiri Dimas.
"Saya anak pindahan dari kelas bahasa dan disuruh masuk di kelas ini sama Pak Drajat Bu," jawab Dimas kepada Bu Sandra yang rambutnya terikat dengan kacamata berbingkai hitamnya yang juga memberikan kesan casual. Bu Sandra termasuk salah satu guru muda yang sangat menjaga penampilan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kesopanan.
"Oh iya, silahkan masuk, tapi nanti perkenalan dulu ya! soalnya yang lain tadi sudah perkenalan," syarat Bu Sandra. Dimas pun masuk ke kelas dan memperkenalkan dirinya.
"Selamat pagi semuanya, nama saya Dimas Ristian Putra, biasa dipanggil Dimas, saya sebelumnya adalah anak jurusan bahasa, namun hanya sehari kemarin saja, dan sekarang saya pindah ke kelas ini," ucap Dimas mengenalkan dirinya kepada murid-murid di kelas itu yang kini akan menjadi teman kelasnya dan mungkin nanti akan menjadi teman-teman yang berarti bagi hidupnya.
Setelah memperkenalkan dirinya, Dimas pun duduk dipersilahkan oleh Bu Sandra untuk duduk di bangku kosong di kelas itu. Yaitu di barisan kedua dari belakang tepat di depan wanita cantik bermuka bulat dengan kacamata tebalnya.
Entah apa yang terjadi dengan Dimas. Perasaannya menjadi berubah setelah melihat wajah wanita itu. Sepanjang pembelajaran pun Dimas sering mencuri pandang ke wanita yang ada dibelakangnya. Sesekali Dimas menyempatkan untuk menoleh ke belakang hanya untuk melihat wajah wanita itu secara diam-diam.
Hingga pelajaran terakhir yang merupakan salah satu pelajaran kesukaannya, yaitu matematika. Dimas pun masih tetap menyempatkan untuk memanjakan matanya dengan melihat wajah wanita di belakangnya yang baginya wajahnya begitu manis dibalut dengan kerudung putih yang membentuk wajah wanita itu menjadi semakin bulat.
Mengingat pembelajaran matematika akan berakhir, dan sebentar lagi mereka akan pulang. Dimas pun merobek kertas yang ada di bukunya. Dia mengambil bolpoin hitam dengan cetekan di atasnya lalu menuliskan nomor WhatsAppnya di robekan kertas itu.
"Baik anak-anak, pelajaran hari ini selesai, silahkan kemas barang-barang kalian dan kalian boleh pulang," ujar Pak Abed, guru matematika kelas X MIPA 7 yang kebagian mengajar di jam terakhir hari ini. Semua murid mengemasi barang-barangnya. Buku, bolpon, pensil dan alat tulis lainnya satu per satu dimasukkan ke dalam tas.
Namun berbeda dengan Dimas. Ia menyempatkan untuk membalikkan badannya dan memberikan sobekan kertas tadi kepada wanita di belakangnya itu. Si wanita nampak heran, namun tetap menerima sobekan kertas itu. Sobekan kertas itu tidak dilipat ataupun digulung oleh Dimas. Dibiarkan begitu saja sehingga wanita itu langsung tahu apa yang diberikan oleh Dimas. Sebuah angka dengan awalan 0 yang tersusun menjadi sebuah nomer W******p.
"Nanti chat aku ya, ada yang mau aku omongin, penting," ungkap Dimas dengan percaya dirinya setelah memberikan sobekan kertas itu. Setelah itu, Dimas pun langsung membalikkan badan dan bergegas mengemasi bukunya agar tidak ketinggalan oleh teman-temannya.
Seperti sekolah pada umumnya. Sebelum pulang, seisi kelas berdoa bersama yang dipimpin oleh ketua kelas. Namun karena belum ada ketua kelas, Dimas ditunjuk oleh Pak Ubed untuk memimpin doa karena dia yang paling lambat saat kemas-kemas tadi.
"Berdoa mulai!" ucap Dimas singkat diikuti dengan teman-temannya yang mulai berdoa dengan gayanya masing-masing. Ada yang melipatkan tangannya, ada yang memejamkan matanya sambil memegang tas ranselnya, dan Dimas sendiri memangkukan tangannya di atas meja, dan dia menundukkan kepalanya menempel pada kesua tangannya persis seperti gaya murid tidur saat pembelajaran.
"Berdoa selesai!" ucap Dimas beberapa menit kemudian. Satu per satu Siswa mulai meninggalkan kelas dengan mencium tangan pak Abed sebelum keluar dari kelas.
Di sepanjang perjalanan pulang, Dimas nampak gembira. Dia berjalan dengan sangat riang bak seorang anak yang baru saja dibelikan mobil-mobilan oleh ayahnya. Raut mukanya begitu semringah dengan hati yang berbunga-bunga. Sepertinya Dimas sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Hai Dimas Ristian Putra, aku Refita I Ismiliasari, teman kelasmu yang tadi kamu kasih nomer wa ini," sebuah pesan WhatsApp dari nomer yang tidak dikenali oleh Dimas. Dimas tahu bahwa yang memberikan pesan chat itu adalah wanita cantik pujaannya itu. Akhirnya sekarang dia tahu bahwa namanya Refita I Ismiliasari. Tapi kok aneh ya namanya?"Hai juga, kok namamu Refita I Ismiliasari, I nya itu apa ya?" balas Dimas dalam chat nya dengan lanjut menanyakan keanehan nama I dalam nama lengkap Refita."Iya namaku seperti itu, di kartu keluarga dan di akta kelahiranku juga I namanya," jawab Refita yang menjelaskan memang namanya seperti itu, aneh tapi memang begitu."Oh iya, kamu mau ngomong penting apa?" lanjutnya menanyakan perihal omongan Dimas saat di kelas tadi."Oh yang tadi itu ya, aduh maaf aku lupa mau ngomong apa," Jawab Dimas mencoba mengeles. Dia sebenarnya bukan lupa dengan apa yang mau diomongin, tapi memang gak ada yang mau diomongin. Dimas cuma ingi
"Pagi ref," Dimas menyapa Refita yang sudah datang ke sekolah lebih awal dan telah duduk di bangkunya. Dimas pun menurunkan tas nya dan duduk di bangkunya yang berada di depan bangku Refita."Pagi," jawabnya singkat dengan senyuman dekiknya nan manis itu. Tidak seperti di chat WhatsApp kemarin. Kini Dimas dan Refita sama-sama diam, sepi tak ada obrolan. Mereka lebih memilih membuka bukunya masing-masing dan menunggu jam pelajaran dimulai."Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Sandra, guru mata pelajaran kimia yang sekaligus menjadi walikelas X MIPA 7. Tampilannya kini hampir sama seperti kemarin namun roknya berwarna sedikit kecoklatan dengan baju batik dengan corak simple dan designnya yang kekinian."Pagi hari ini kita akan menentukan siapa ketua, sekretaris dan bendahara di kelas ini," jelas Bu Sandra. Seisi kelas langsung terdiam, mereka saling tatap satu dengan yang lain. Seperti mencari siapa yang akan dijadikan korban untuk memimpin kelas X MIPA 7 ini.
"Hai Refita," Dimas mencoba menghubungi Refita melalui pesan di WhatsApp. Sudah dua Minggu ini mereka tidak saling chating. Ya, itu semua karena Dimas yang seenaknya menunjuk Refita menjadi sekretarisnya. Rencana ngerjain tugas bareng pun juga gagal karena Refita yang selalu bergegas pulang ketika jam pelajaran berakhir. Hubungan mereka mulai renggang, namun di kelas mereka masih tetap menjalankan tugasnya sebagai ketua dan sekretaris dengan baik.Refita tak kunjung membalas, membacanya pun tidak. Sepertinya Dimas harus ngobrolin hal serius agar Refita mau menanggapi. Tapi sepertinya Dimas kehabisan ide. Ia pun lebih memilih meletakkan HP nya dan memulai untuk melukis di canvas yang sudah ia persiapkan di kamarnya."Hai pak ketua, kamu jadi bikin lukisan untuk pameran kelas?" sebuah pesan WhatsApp yang sedikit mengagetkan Dimas. Ia mengira bahwa Refita membalas pesannya. Eh, ternyata pesan itu dari Roni, teman satu kelasnya yang akhir-akhir ini sering main ke rumah Dim
"Bagaimana teman-teman, sudah bawa karyanya masing-masing kan?" tanya Dimas yang sekarang sedang di depan kelas dengan lagaknya sebagai ketua kelas. Semua murid X MIPA 7 sudah mempersiapkan karya terbaiknya untuk dipamerkan termasuk Dimas. Dirinya membawa sebuah lukisan yang masih ditutup oleh kain putih sehingga tidak ada yang tahu apa yang ditulisnya. "Sudah Dim, eh kamu ngelukis apa itu dim?" tanya Roni yang sudah sangat penasaran dengan lukisan Dimas. Pasalnya ia yang sering ke rumah Dimas saja tidak pernah diberitahu perihal lukisan tersebut. Lukisan itu selalu disembunyikan Dimas ketika Roni datang ke rumahnya. Dan kali ini pun juga masih di rahasiakan, padahal pameran sudah sebantar lagi. "Oke, sekarang kita punya waktu satu jam untuk mendesain ruang kelas kita agar menarik sebagai ajang pameran seni nantinya," ucap Dimas sambil membawa kain batik yang besar. Ia ingin menutupi sekeliling dinding kelasnya dengan kain batik yang didominasi dengan warna hitam dan
"Ref, nanti sepulang sekolah, jangan langsung pulang dulu ya, ada yang mau aku berikan kepadamu," ucap Dimas kepada Refita saat pelajaran terakhir akan dimulai. Kini hubungan mereka sudah membaik kembali. Refita pun juga sudah membalas pesan dari Dimas tempo hari. Mereka sudah cukup akrab dan sering bersama di sekolah sebagai ketua dan sekretaris."Iya," Refita mengiyakan perkataan Dimas. Pastinya dilengkapi dengan senyum manisnya itu.Pelajaran terakhir pun dimulai dengan Pak Abed sebagai guru matematika yang sangatlah jenaka dalam mengajar. Ia sangat sukai oleh murid-murid di kelas termasuk Dimas yang cukup menyukai pelajaran matematika."Baik anak-anak, pelajaran hari ini selesai," begitu ucap Pak Ubed saat jam menunjukkan hampir jam 1 siang. Ucapan itu juga menjadi ucapan yang ditunggu-tunggu oleh Dimas. Lantaran Dimas ingin memberikan sebuah kado terindah untuk Refita, wanita yang saat ini cukup dekat dengannya.Seperti biasa, pelajaran diakhiri deng
"Sudah rapi banget, malem malem gini mau kemana?" tanya Sonya pada Dimas yang dandannya tampak rapi dengan kemeja panjang berwarna biru yang memiliki motif kotak kotak dan celana jeans warna biru lengkap dengan sepatu sneaker yang juga berwarna biru. Dimas nampak tampan sekali dengan rambut klimis yang sedikit diolesi Pomade. "Mau kerja kelompok Bu," jawab Dimas kepada ibunya sambil mengenakan tas punggungnya. Dimas mencoba mengeles kepada ibunya, tak memberitahukan apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Dimas. "Nggak papa kan Bu kali kerja kelompoknya malem malem begini?" tanya Dimas mencoba meminta ijin kepada Sonya. Sonya yang sedang menonton televisi dan mengistirahatkan tubuhnya di kursi Sofanya waktu itu pun mulai berdiri dan menghampiri Dimas yang sedang berdiri di samping sofa depan tv itu. "Iya boleh kok, tapi kalo bisa pulangnya di bawah jam 10 malam ya, kalo ngerjain tugasnya jangan lama-lama, jangan sambil ghibah, gak selesai-selesai nanti," Son
"Hai Ref, ada surat nih," ujar Cherry kepada Refita sambil memberikan sebuah amplop berwarna merah, mirip seperti angpao Imlek. Dimas pun melihat hal itu, dia nampak penasaran dan secara diam-diam menguping pembicaraan Cherry dan Refita. "Dari siapa ini Cher?" tanya Refita yang nampak terkejut dengan surat beramplop merah itu. Dia penasaran siapa yang memberikan amplop itu. Jika Dimas kan pasti akan memberikannya secara langsung, nggak lewat perantara kayak gini. "Dari cowok pokoknya, aku nggak tau siapa dia, tapi dia anak kelas XI pokoknya," jawab Cherry yang juga masih belum mengenali siapa pria yang menitipkan surat padanya. Cherry waktu itu hanya asal terima aja karena yang menitipkan surat itu adalah pria kelas XI, kakak kelasnya. Jadi, tidak mungkin jika Cherry menolak titipan kakak kelasnya itu. "Lah, kamu kok terima terima aja sih?" tanya Refita yang sedikit sebel sama tindakan Cherry yang nggak mau menolak titipan itu. "Udah, buka aja, siapa
"Tumben kamu tadi ke kantin?" chat Dimas kepada Refita yang menanyakan keheranannya terhadap tingkah Refita tadi. Sebenarnya Dimas sudah tahu apa yang Refita lakukan sebenarnya. Namun, sepertinya Dimas hanya ingin mengetahui kejujuran Refita."Eh iya, aku tadi lupa bawa bekal," jawab Refita membalas pesan Dimas. Memang benar tadi Refita tadi lupa membawa bekal. Tapi Refita biasanya juga gak akan ke kantin meskipun nggak bawa bekal."Bukannya kamu juga nggak akan ke kantin jika lupa bawa bekal?" tanya Dimas yang sudah cukup dekat dengan Refita. Dia sudah tahu gimana Refita dan hal hal apa saja yang sering dilakukan Refita."Aku tadi laper banget Dim, jadi ya terpaksa aku ke kantin," begitulah jawab Refita yang masih juga belum ngaku apa yang sebenarnya terjadi. Dimas melihat sekeliling tembok kamarnya, jam dindingnya menunjukkan jam 2 siang. Kamarnya nampak begitu sepi tanpa kehadiran teman dekatnya, Roni. Hari ini Roni nggak bisa ke rumah Dimas karena harus ikut