Share

Cinta yang hilang
Cinta yang hilang
Author: Andika

Jatuh Cinta

Author: Andika
last update Last Updated: 2021-09-05 09:32:14

Dimas benar-benar bingung terhadap keadaan di SMA barunya sekarang. Lantaran ia dimasukkan ke jurusan bahasa, padahal dia memilih jurusan MIPA saat pendaftaran SMA kemarin. Nilai matematikanya juga jauh lebih tinggi dari nilai bahasa Indonesianya. Dia kini harus mengurusi surat pindah jurusannya kepada pihak kesiswaan agar dirinya bisa masuk ke jurusan yang diinginkannya.

"Pagi pak," salam Dimas, pria tinggi berkulit putih dengan rambut sedikit ikal itu. Dia masuk ke ruang kesiswaan dimana sudah ada seorang guru berjenggot lebat dengan kulit tubuh sedikit legam duduk di ruangan tersebut.

"Iya, pagi, silahkan duduk," Pak Drajat yang merupakan guru di bagian kesiswaan itu mempersilahkan Dimas untuk duduk.

"Ada yang bisa saya bantu nak?" tanya dia sopan dengan senyum manis yang sebenarnya gak cocok dengan muka seramnya itu.

"Maaf pak, saya ingin mengajukan surat perpindahan jurusan pak, karena saya sejak awal tidak menginginkan untuk masuk ke jurusan bahasa, namun malah dimasukkan sama pihak sekolah pak," ujar Dimas sembari menyodorkan sebuah kertas yang baru saja ia cetak tadi pagi. Dimas membuat surat itu sendiri dan terkesan asal-asalan. Yang penting keinginannya untuk pindah jurusan sudah tertuang dalam surat itu. Pak Drajat yang membaca surat itu lantas sedikit tertawa. Lantaran suratnya tidak ada formal-formalnya sama sekali.

"Oke, kamu masuk saja ke kelas X MIPA 7, untuk perpindahan jurusan kamu, nanti saya yang urus," ungkap Pak Drajat santai sembari mengembalikan surat asal-asalan milik Dimas. Pak Drajat juga menunjukkan kelas X MIPA tujuh yang terlihat dari kaca ruangan kesiswaan.

"Baik pak, trimakasih atas bantuannya pak, jadi sekarang saya langsung masuk kelas itu ya?" ungkap Dimas seakan membutuhkan kepastian sambil menunjuk kelas tadi menggunakan jempolnya agar terlihat sopan.

"Iya, masuk aja," jawab pak Drajat singkat, dia tetap tersenyum manis kepada Dimas.

"Baik pak, makasih ya pak," Dimas mencium tangan pak Drajat untuk kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Dimas pergi ke gedung yang ditunjuk pak Drajat tadi dan sesampainya di depan gedung itu, Dimas dibuat heran. Ia membaca bahwa nama gedung itu ialah laboratorium Kimia. Namun, kenapa di dalam seperti ruangan kelas dimana ada guru dan murid yang sedang melakukan pembelajaran. Pak Drajat tadi juga mengatakan bahwa ini ruang kelas X MIPA 7.

"Tok.. tok.. tok.. ," Dimas mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka. Sontak Bu Sandra, guru Kimia yang sedang mengajar di kelas itu langsung menghentikan pembicaraannya kepada murid-muridnya. Bu Sandra langsung menoleh ke pintu laboratorium kimia yang sekarang juga menjadi kelas X MIPA 7 itu dimana ada Dimas yang sedang berdiri disitu.

"Permisi Bu, apakah ini benar kelas X MIPA 7?", tanya Dimas kepada Bu Sandra dengan sedikit melirihkan suaranya dan menundukkan kepalanya. Dimas sekarang menjadi pusat perhatian murid-murid di kelas itu. Semua murid menatapnya dan itu membuat Dimas sedikit merasa malu. Bu Sandra langsung menghampiri Dimas. Langkahnya begitu anggun bak model yang berjalan di catwalk. Dilengkapi dengan sepatu hak tingginya dan rok hitam ketatnya memberikan kesan casual pada Bu Sandra.

"Iya, ada apa ya nak?", tanya Bu Sandra setelah menghampiri Dimas. 

"Saya anak pindahan dari kelas bahasa dan disuruh masuk di kelas ini sama Pak Drajat Bu," jawab Dimas kepada Bu Sandra yang rambutnya terikat dengan kacamata berbingkai hitamnya yang juga memberikan kesan casual. Bu Sandra termasuk salah satu guru muda yang sangat menjaga penampilan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kesopanan.

"Oh iya, silahkan masuk, tapi nanti perkenalan dulu ya! soalnya yang lain tadi sudah perkenalan," syarat Bu Sandra. Dimas pun masuk ke kelas dan memperkenalkan dirinya.

"Selamat pagi semuanya, nama saya Dimas Ristian Putra, biasa dipanggil Dimas, saya sebelumnya adalah anak jurusan bahasa, namun hanya sehari kemarin saja, dan sekarang saya pindah ke kelas ini," ucap Dimas mengenalkan dirinya kepada murid-murid di kelas itu yang kini akan menjadi teman kelasnya dan mungkin nanti akan menjadi teman-teman yang berarti bagi hidupnya.

Setelah memperkenalkan dirinya, Dimas pun duduk dipersilahkan oleh Bu Sandra untuk duduk di bangku kosong di kelas itu. Yaitu di barisan kedua dari belakang tepat di depan wanita cantik bermuka bulat dengan kacamata tebalnya.

Entah apa yang terjadi dengan Dimas. Perasaannya menjadi berubah setelah melihat wajah wanita itu. Sepanjang pembelajaran pun Dimas sering mencuri pandang ke wanita yang ada dibelakangnya. Sesekali Dimas menyempatkan untuk menoleh ke belakang hanya untuk melihat wajah wanita itu secara diam-diam.

Hingga pelajaran terakhir yang merupakan salah satu pelajaran kesukaannya, yaitu matematika. Dimas pun masih tetap menyempatkan untuk memanjakan matanya dengan melihat wajah wanita di belakangnya yang baginya wajahnya begitu manis dibalut dengan kerudung putih yang membentuk wajah wanita itu menjadi semakin bulat.

Mengingat pembelajaran matematika akan berakhir, dan sebentar lagi mereka akan pulang. Dimas pun merobek kertas yang ada di bukunya. Dia mengambil bolpoin hitam dengan cetekan di atasnya lalu menuliskan nomor WhatsAppnya di robekan kertas itu.

"Baik anak-anak, pelajaran hari ini selesai, silahkan kemas barang-barang kalian dan kalian boleh pulang," ujar Pak Abed, guru matematika kelas X MIPA 7 yang kebagian mengajar di jam terakhir hari ini. Semua murid mengemasi barang-barangnya. Buku, bolpon, pensil dan alat tulis lainnya satu per satu dimasukkan ke dalam tas.

Namun berbeda dengan Dimas. Ia menyempatkan untuk membalikkan badannya dan memberikan sobekan kertas tadi kepada wanita di belakangnya itu. Si wanita nampak heran, namun tetap menerima sobekan kertas itu. Sobekan kertas itu tidak dilipat ataupun digulung oleh Dimas. Dibiarkan begitu saja sehingga wanita itu langsung tahu apa yang diberikan oleh Dimas. Sebuah angka dengan awalan 0 yang tersusun menjadi sebuah nomer W******p.

"Nanti chat aku ya, ada yang mau aku omongin, penting," ungkap Dimas dengan percaya dirinya setelah memberikan sobekan kertas itu. Setelah itu, Dimas pun langsung membalikkan badan dan bergegas mengemasi bukunya agar tidak ketinggalan oleh teman-temannya.

Seperti sekolah pada umumnya. Sebelum pulang, seisi kelas berdoa bersama yang dipimpin oleh ketua kelas. Namun karena belum ada ketua kelas, Dimas ditunjuk oleh Pak Ubed untuk memimpin doa karena dia yang paling lambat saat kemas-kemas tadi.

"Berdoa mulai!" ucap Dimas singkat diikuti dengan teman-temannya yang mulai berdoa dengan gayanya masing-masing. Ada yang melipatkan tangannya, ada yang memejamkan matanya sambil memegang tas ranselnya, dan Dimas sendiri memangkukan tangannya di atas meja, dan dia menundukkan kepalanya menempel pada kesua tangannya persis seperti gaya murid tidur saat pembelajaran.

"Berdoa selesai!" ucap Dimas beberapa menit kemudian. Satu per satu Siswa mulai meninggalkan kelas dengan mencium tangan pak Abed sebelum keluar dari kelas.

Di sepanjang perjalanan pulang, Dimas nampak gembira. Dia berjalan dengan sangat riang bak seorang anak yang baru saja dibelikan mobil-mobilan oleh ayahnya. Raut mukanya begitu semringah dengan hati yang berbunga-bunga. Sepertinya Dimas sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta yang hilang   Obrolan dengan Mita

    "Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau

  • Cinta yang hilang   Kesepian

    "Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias

  • Cinta yang hilang   Kemampuan Melukis Rusli

    "Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga

  • Cinta yang hilang   Pameran

    "ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin

  • Cinta yang hilang   Harga yang Terlalu Mahal

    "Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa

  • Cinta yang hilang   Gadis Cantik yang Menyebalkan

    "Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima

  • Cinta yang hilang   Ruko Baru

    "Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk

  • Cinta yang hilang   Harapan Baru

    "Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua

  • Cinta yang hilang   Jatuh Tempo

    "Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status