Share

Kencan

Penulis: Andika
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-08 23:15:53

"Sudah rapi banget, malem malem gini mau kemana?" tanya Sonya pada Dimas yang dandannya tampak rapi dengan kemeja panjang berwarna biru yang memiliki motif kotak kotak dan celana jeans warna biru lengkap dengan sepatu sneaker yang juga berwarna biru. Dimas nampak tampan sekali dengan rambut klimis yang sedikit diolesi Pomade.

"Mau kerja kelompok Bu," jawab Dimas kepada ibunya sambil mengenakan tas punggungnya. Dimas mencoba mengeles kepada ibunya, tak memberitahukan apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Dimas.

"Nggak papa kan Bu kali kerja kelompoknya malem malem begini?" tanya Dimas mencoba meminta ijin kepada Sonya. Sonya yang sedang menonton televisi dan mengistirahatkan tubuhnya di kursi Sofanya waktu itu pun mulai berdiri dan menghampiri Dimas yang sedang berdiri di samping sofa depan tv itu.

"Iya boleh kok, tapi kalo bisa pulangnya di bawah jam 10 malam ya, kalo ngerjain tugasnya jangan lama-lama, jangan sambil ghibah, gak selesai-selesai nanti," Sonya pun mengijinkan Dimas untuk kerja kelompok. Ya, Sonya nggak mau ambil ribet untuk ngelarang-ngelarang Dimas. Dimas juga anak cowok yang sudah bisa jaga dirinya sendiri kalo keluar jam 7 an segini. Tapi pesan dari Sonya nampak tahu bagaimana seluk beluk kerja kelompok itu.

Sonya pun pernah muda dan pernah kerja kelompok untuk nyelesaiin tugas sekolahnya. Ia benar-benar tahu kalo sebenarnya ngerjakan tugas kelompok itu nggak lama. Cuman ya gitu, tugas kelompok itu lamanya ya di ngobrol, ghibah, atau beli jajan dulu untuk dimakan bareng-bareng.

"Iya Bu, makasih ya Bu, Dimas kan anak pinter, pasti bakal cepet nanti ngerjakannya Bu," begitu ucap Dimas mencoba meyakinkan Sonya. Dimas pun berpamitan kepada ibunya, ia mencium tangan ibunya dan pergi meninggalkan rumah dengan motor matic miliknya.

***

"Hai Refita, sudah nunggu lama ya? Maaf loh ya kalo aku telat," ucap Dimas yang baru saja sampai di sebuah kafe kekinian dan sudah ada Refita duduk di salah satu meja disana, tepatnya di meja nomer 7. Dimas pun juga langsung duduk dan mencoba meminta maaf kepada Refita karena dia datang tidak sesuai janji, yaitu sedikit melewati jam 7 malam.

"Nggak papa kok, aku juga baru sebentar sampai sini, ini aja aku belum pesen," ucap Refita yang sekarang tampil modis dengan kerudung pink-nya ia pun menggunakan dress berwarna pink yang memberikan kesan anggun pada Refita. Kini mereka berdua nampak seperti dua orang remaja yang sama-sama memiliki penampilan yang keren bahkan sudah hampir menyamai penampilan Bu Sandra.

"Oh iya, kamu mau pesen apa?" Dimas mengambil menu yang sedari tadi sudah di meja, ia melihat daftar makanan dan minuman disitu.

"Kali ini aku traktir ya, udah kamu tinggal pesen aja, nanti aku yang bayar," lanjut Dimas setelah melihat harga-harga menu disitu yang masih dalam jangkauan uang di dompetnya.

"Nggak usah, bayar sendiri-sendiri aja," sanggah Refita yang mencoba menolak tawaran Dimas. Refita merasa tidak enak jika dia harus ditraktir oleh Dimas. Mereka juga hanya teman dekat dan tidak memiliki hubungan khusus lainnya. Jadi nggak usah lah pake acara traktiran traktiran segala. Toh Dimas juga nggak ulang tahun hari ini.

"Udah, nggak papa," Dimas mencoba menaikkan nada suaranya, mencoba meyakinkan Refita. Ia memegang tangan Refita yang sedang tergeletak di meja. Tatapan Dimas pun cukup tajam melihat mata Refita yang dilindungi kacamata itu.

"Hm, iya iya," Refita pun mengiyakan tawaran Dimas. Dia sedikit tersenyum dan menunduk malu. Selalu saja, dikit-dikit senyum, dikit-dikit menunduk. Dasar Refita si pemalu.

Singkat cerita mereka pun memesan minuman kepada pelayan di kafe tersebut. Refita memesan makanan dan minuman yang sama dengan Dimas. Apa yang dipilih oleh Dimas, itulah yang dipilih oleh Refita. Alhasil mereka berdua memlih pesanan yakni nasi goreng India dengan minuman lemon tea.

"Ishh, kamu mesennya tiru-tiru aku," kata Dimas setelah memberikan daftar minumannya ke pelayan kafe itu. Kafe itu tampak begitu klasik dengan konsep kafe vintage, dimana kursi dan mejanya terbuat dari kayu yang dipoles halus sehingga terlihat mengkilap dilengkapi lampu berwarna kuning sehingga cahaya yang dikeluarkan nampak remang-remang.

"Kan kamu calon imanku, jadi aku harus mencontoh kamu lah," jawab Refita sedikit menggombal kepada kepada Dimas. Sontak Dimas pun tersenyum lebar dengan sedikit ketawa.

"Bisa aja kamu," ucap Dimas memberikan reaksi terhadap gombalan Refita. Yah, ini adalah pertama kali mereka bertemu di kafe. Mungkin ini yang disebut dengan kencan dimana dua orang duduk saling berhadapan tanpa ada seorang pun yang mengganggu. Terkecuali pelayan kafe.

"Permisi, ini makanan dan minumannya mas," ucap pelayan kafe, satu-satunya pengganggu untuk kencan mereka. Tapi, tanpa pelayan ya mereka nggak bisa makan dong. Pelayan itu pun meletakkan nasi goreng India dan lemon tea itu ke atas meja dengan sangat sopan.

"Terimakasih ya," ucap Dimas kepada pelayan itu setelah makanan dan minuman pesanannya telah tersaji di mejanya itu.

"Makan Ref," ajak Dimas yang sudah terlebih dahulu memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Refita pun mengangguk dan mulai makan nasi goreng India yang nggak ada India indianya itu. Mereka pun makan tanpa sepatah kata yang terucap kembali. Mereka hanya saling berpandangan, memanjakan mata mereka yang kini sedang banyak mendapatkan vitamin A. Bukan dari nasi goreng India itu, tapi dari muka rupawan dengan penampilan mereka yang keren dan sangatlah menawan.

"Hmm, nggak mau nambah lagi Ref?" tanya Dimas setelah menghabiskan nasi gorengnya. Padahal Refita waktu itu belum menghabiskan makanannya, bahkan masih habis setengah. Eh, udah ditanyain mau nambah lagi. Habis satu piring aja boro-boro, kok masih mau nambah satu piring lagi.

"Hmm, nggak," jawab Refita setelah menelan makanannya dengan sedikit memejamkan mata dan mengernyitkan dahinnya. Tangan kirinya pun terangkat dan melambai kepada Dimas yang menandakan bahwa ia menolak tawaran Dimas.

"Iya iya, itu habiskan aja dulu, nanti nambah kalo udah habis," godha Dimas yang selanjutnya meneguk lemon tea dengan potongan lemon yang terpasang di gelas sebagai penghias minuman segar itu.

Singkat cerita makanan dan minuman mereka pun habis. Cukup sedikit kata yang terucap, namun suasana waktu itu begitu hangat.

"Eh, sudah jam setengah sembilan ini, ayo pulang Ref, nanti dimarahin mama lo kalo pulang malam malam," ajak Dimas setelah melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan jam setengah sembilan.

"Eh iya, aku nggak boleh keluar malem malem soalnya," Refita pun mengiyakan ajakan Dimas. 

"Kamu mau tak anterin a?" Dimas mencoba menawari Refita untuk mengantarkannya pulang.

"Ugh ugh, nggak nggak," jawab Refita sedikit tersedak saat menghabiskan minumannya. Tangan kirinya juga melambai memberikan isyarat tolakan terhadap tawaran Dimas.

"Aku ngojek aja," lanjut Refita. Dimas pun mengiyakan dan mencoba memahami keadaan Refita. Sepertinya Refita malah dimarahi oleh orang tuanya jika melihat Refita pulang dibonceng oleh cowok. Pastinya orangtuanya akan khawatir jika melihat tingkah anaknya yang sudah kayak gitu, padahal masih berstatus pelajar.

Mereka pun pulang masing-masing. Dimas naik motor maticnya dan Refita naik ojek online yang sudah dipesannya. Dimas pun pulang dengan perasaan bahagia karena telah berhasil kencan dengan Refita, wanita manis yang merupakan wanita pujaannya itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta yang hilang   Obrolan dengan Mita

    "Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau

  • Cinta yang hilang   Kesepian

    "Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias

  • Cinta yang hilang   Kemampuan Melukis Rusli

    "Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga

  • Cinta yang hilang   Pameran

    "ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin

  • Cinta yang hilang   Harga yang Terlalu Mahal

    "Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa

  • Cinta yang hilang   Gadis Cantik yang Menyebalkan

    "Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima

  • Cinta yang hilang   Ruko Baru

    "Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk

  • Cinta yang hilang   Harapan Baru

    "Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua

  • Cinta yang hilang   Jatuh Tempo

    "Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status