Home / Romansa / Crush Sang Kapten Basket / Hari Libur dan Ketenangan yang Terusik

Share

Hari Libur dan Ketenangan yang Terusik

Author: Singacala ID
last update Last Updated: 2025-08-03 06:27:58

Hari libur pertama setelah pengumuman hasil nilai semester. Kota terasa lebih tenang dari biasanya. Suara kendaraan berkurang, hanya sesekali terdengar tawa anak-anak yang bermain di gang kecil, atau suara pedagang es keliling yang lewat dengan nyanyian khasnya.

Di dalam rumah mungil bernuansa cokelat pastel itu, Alina duduk di lantai kamarnya bersandar pada rak buku. Rambutnya digelung seadanya, kaos longgar dan celana pendek menjadi pakaian harian andalannya. Di tangannya sebuah novel terbitan lama yang sudah mulai menguning di pinggirannya. Ia tampak tenang. Damai. Momen seperti ini adalah hal yang ia rindukan setelah masa-masa sulit selama satu semester terakhir.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

TIIIN… TIIIINNN!!!

Tiba-tiba suara klakson motor terdengar nyaring dari halaman depan rumah. Alina mengernyit, mendongak. Ia meletakkan buku di dadanya dan bangkit pelan, mendekat ke jendela kamar yang menghadap ke depan rumah.

Ketika tirai disingkap sedikit…

"Astaga…"

Jantungnya langsung berdegup tak karuan.

Di depan gerbang rumahnya, berdiri seorang cowok dengan jaket biru dongker dan helm yang sudah dibuka tampak rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Motor matik hitam kebanggaannya terparkir rapi. Wajah itu, tidak asing. Bahkan terlalu akrab untuk dilupakan.

Kevin.

Cowok itu menengadah, menatap langsung ke arah jendela kamar Alina seolah tahu gadis itu pasti mengintip. Senyumnya samar, hampir canggung.

Alina buru-buru menutup tirai.

“Ngapain dia ke sini? Apa dia gila?”

Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar dengan jantung berdebar. Tangannya mengepal gugup

Tak lama kemudian terdengar suara ayahnya memanggil dari bawah.

“Lin… Ada yang nyari kamu tuh. Teman sekolah, namanya Kevin…”

Alina menutup mukanya dengan tangan, mengeluh pelan.

“Duh… Kenapa sih nggak kapok-kapok juga…”

Ia akhirnya menarik napas panjang dan berjalan ke bawah. Ia membuka pintu depan perlahan, dan Kevin sudah berdiri menunggunya, tersenyum canggung dengan satu kantong kertas di tangannya.

“Hai…” katanya pelan.

Alina menyilangkan tangan di dada, berdiri di ambang pintu.

“Kamu ngapain ke sini?”

“Aku… pengin ngomong. Tapi kalau kamu nggak mau ketemu, aku bisa pergi.”

Alina terdiam.

“Ini…” Kevin menyerahkan kantong kertas itu. “Sebuah buku. Aku tahu kamu suka baca, dan aku lihat ini di toko. Entah kenapa jadi ingat kamu.”

Alina menerimanya dengan ragu. Ia membuka kantong itu. Di dalamnya, sebuah novel populer edisi terbaru yang sempat ia incar tapi belum sempat ia beli.

“Aku nggak minta ini.”

“Aku tahu. Tapi aku juga nggak minta kamu maafin aku waktu itu, dan kamu tetap lakuin itu. Jadi ini cuma bentuk kecil dari rasa terima kasihku.”

Alina menatap Kevin beberapa saat. Ada banyak perasaan berseliweran di dadanya ;  marah, sedih, dan juga perasaan yang belum bisa ia beri nama.

“Kenapa kamu selalu datang pas aku udah mulai tenang?” tanyanya datar.

Kevin terdiam.

“Kenapa kamu nggak datang waktu aku butuh penjelasan, waktu aku nangis sendirian, waktu semua orang anggap aku murahan?”

“Karena aku bodoh, Lin. Dan aku nyesel banget. Aku nggak minta kita balik kayak dulu. Aku tahu itu nggak gampang. Tapi aku pengin jadi temen kamu lagi. Teman yang bener. Yang support kamu. Bukan yang nyakitin.”

Alina menghela napas. Ia menatap novel di tangannya, lalu kembali menatap Kevin.

“Aku nggak tahu bisa percaya kamu lagi atau nggak.”

“Nggak apa-apa. Tapi kasih aku waktu buat buktiin. Aku nggak akan maksa.”

Setelah beberapa saat hening, Alina akhirnya berkata,

“Makasih bukunya. Tapi kalau cuma itu, kamu bisa pulang.”

Kevin mengangguk pelan, tak sakit hati. Ia bahkan tersenyum.

“Oke. Sampai ketemu di sekolah, ya.”

Ia kemudian melangkah ke motornya dan pergi, meninggalkan Alina di depan pintu rumahnya dengan sejuta pikiran.

Alina kembali ke kamar, meletakkan novel itu di meja. Ia menatapnya sejenak. Ada stiker kecil tertempel di sampul belakangnya. Sebuah tulisan tangan Kevin yang rapi:

“Kamu berhak bahagia, Lin. Bahkan kalau aku bukan alasan di balik senyum kamu lagi.”

Alina duduk, menatap keluar jendela yang kini kosong. Hanya angin sore yang berhembus pelan, seolah membawa sedikit kehangatan yang dulu pernah hilang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crush Sang Kapten Basket   Libur Yang Usai dan Hati Yang Hancur

    Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Bersama Siapa

    Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na

  • Crush Sang Kapten Basket   Liburan Ke Puncak

    Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Semakin Dekat Dengan Keluarga Alina

    Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun

  • Crush Sang Kapten Basket   Menonton Langsung Kevin Bertanding

    Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin dan Tentang Masalahnya

    Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status