Hari itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Tapi bagi Alina, hari itu terasa seperti lembar baru. Setelah percakapan singkat di kantin bersama Kevin, pikirannya tidak berhenti memutar ulang tiap detik momen itu. Senyum Kevin sang kapten basket. Tatapan dan cara dia bilang: Kalau ada yang ganggu kamu, bilang aja…
Seruni sampai geleng-geleng melihat sahabat barunya yang terus melamun di kelas. “Lin, kamu senyum-senyum sendiri kayak orang jatuh cinta sama karakter anime.” Alina hanya menatap Seruni dengan ekspresi dreamy. “Gimana ya, Seruni dia tuh sangat berbeda.” Seruni bersedekap. “Ya iyalah beda. Dia Kevin, bukan guru matematika kita yang ngasih PR kayak neraka.” Alina tertawa. Tapi di balik tawa itu, muncul ide nekat di kepalanya. Sebuah cara untuk mengenal Kevin lebih dekat, tanpa terkesan terlalu mengejar. Sore Hari, Ruang OSIS dan Papan Ekstrakurikuler Setelah jam pelajaran selesai, Alina dan Seruni sengaja mampir ke papan pengumuman ekskul yang terletak di lorong menuju aula kecil. Di sana, daftar panjang kegiatan tertempel rapi: KIR, Teater, Paskibra, Pramuka, Tari Tradisional, Komunitas Membaca dan tentu saja Basket. “Udah niat banget nih kamu?” goda Seruni sambil menunjuk tulisan ‘Basket Open Recruitment’. “Aku nggak bisa main basket, Seruni.” bisik Alina. “Tapi aku bisa bantu-bantu jadi tim dokumentasi atau pengurus alat.” Ucap nya. Seruni terkekeh. “Ohh, jadi strategi mendekat dengan si kapten dari jalur logistik ya?” Alina menepuk pelan bahu Seruni. “Doakan aku kuat mental kalau lihat dia tiap sore.” Mereka berjalan dan baru beberapa meter Alina terdiam dan berbalik arah kembali ke papan pengumuman. "Aku rasa ikut ekskul Basket terlalu mencolok bagiku, aku mau ganti Ekskul aja." ucap nya. "Kamu ini hmmm..." Seruni mengikuti Alina kembali. Alina dan Seruni kembali berdiri di depan papan pengumuman ekskul, tapi kali ini dengan tujuan berbeda. “Jadi sekarang kamu serius nggak jadi ikut dokumentasi basket?” tanya Seruni heran. Alina tersenyum. “Aku pikir-pikir lagi. Aku mau tetap dekat sama Kevin, tapi bukan berarti aku harus ‘mengubah’ diriku.” Seruni mengangguk pelan. “Pilih yang kamu suka, bukan yang cuma demi suka.” “Exactly,” balas Alina mantap. Pandangan Alina tertuju pada sebuah kertas kecil di pojok bawah papan. Di situ tertulis: Komunitas Pecinta Perpustakaan Untuk kamu yang mencintai kata, buku, dan ketengan. “Ini dia,” kata Alina sambil menunjuk tulisan itu. “Ini tempatku.” Seruni membaca cepat. “Latihannya tiap Selasa dan Kamis sore jam tiga sampai lima… eh, sama kayak jadwal basket, Lin!” Alina mengangguk. “Yup. Jadi aku bisa baca buku dan tetap bisa lihat Kevin, dari balik jendela perpustakaan.” Seruni mendecak pelan. “Strategi silent killer. Aku suka!” Perpustakaan Sekolah – Sore Hari Perpustakaan sekolah itu tenang. Dindingnya tinggi, dipenuhi rak-rak kayu tua dan aroma buku bekas yang khas. Di salah satu sudut ruangan, terdapat jendela besar yang menghadap langsung ke lapangan basket luar ruangan. Alina duduk di pojok ruangan, tepat di dekat jendela itu. Di hadapannya terhampar buku tebal: “To Kill a Mockingbird” karya Harper Lee novel favoritnya sejak SMP. Seorang siswi berambut pendek duduk di sampingnya, sambil membuka laptop kecil. “Hai, kamu anggota baru ya?” Tanya nya. “Iya. Aku Alina.” Jawab Alina. “Aku Dita ketua komunitas ini. Kamu suka baca novel klasik?” “Suka banget,” jawab Alina cepat. “Aku suka kata-kata, dunia yang tenang. Tapi juga yang begitu dalam.” Dita tersenyum. “Welcome to the club. Di sini kita bisa baca, berdiskusi, bahkan bikin resensi. Tapi syaratnya satu.” “Apa?” “Jangan lupa pakai ‘telinga ketiga’.” Alina mengerutkan kening. “Itu apaan?” “Telinga buat dengar isi hati sendiri,” ujar Dita sambil tersenyum bijak. “Karena di dunia ini, kadang suara hati lebih jujur dari suara orang lain.” Alina tertawa kecil. “Wah kamu kayak guru filsafat.” Jam Bergulir, Mata Menyapu Lapangan Sambil membaca, sesekali Alina melirik ke luar jendela. Di sana, Kevin sedang memimpin latihan dengan penuh semangat. Teriakannya terdengar samar, gerakannya cepat, sigap, dan ekspresinya serius. Kevin bukan cuma kapten. Ia seperti komandan pasukan yang semua orang percaya. “Dia memang keren ya?” tanya Dita pelan, melihat Alina menatap ke lapangan. Alina kaget. “Hah? Siapa?” Dita tertawa. “Tenang aja. Semua cewek juga suka lihat Kevin latihan dari jendela ini. Kamu bukan yang pertama.” Alina tersenyum malu. “Aku cuma emm... ya, sekedar kagum aja. Hanya dari jauh.” “Kagum itu bagus. Tapi jangan sampai bikin kamu lupa sama buku,” ucap Dita sambil menyerahkan buku baru. “Coba kamu baca ini, dan bikin resensinya minggu depan.” Alina membaca judulnya: “The Little Prince”. Menjelang Pulang Saat latihan basket selesai, Alina masih duduk di dekat jendela, berpura-pura menulis catatan resensi. Padahal sebenarnya, ia menunggu satu momen, satu kemungkinan: mungkin Kevin akan lewat dekat jendela, mungkin ia akan melirik ke arah perpustakaan, mungkin… hanya mungkin… ia akan melihatnya. Dan keajaiban kecil terjadi. Kevin berjalan dengan handuk di leher, botol minum di tangan. Saat melewati jendela perpustakaan, ia menoleh sebentar. Pandangan mereka bertemu. Hanya sekilas. Tapi cukup untuk membuat jantung Alina berdetak lebih cepat. Kevin hanya mengangguk kecil seolah menyapa diam-diam. Dan melanjutkan langkahnya. Alina menutup bukunya. “Seruni nggak akan percaya ini,” gumamnya sendiri. Malamnya, di Rumah Alina menulis di jurnal pribadinya: Hari ini aku membaca tentang anak kecil dari planet lain. Tapi yang membuatku terbang bukan cerita dari buku itu… Melainkan satu tatapan diam dari seorang kapten yang tak kutahu apakah ia sadar, …bahwa sedang diamati dari balik jendela.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l