LOGINHari ketiga sekolah. Alina bangun lebih pagi dari biasanya. Ada rasa semangat yang sulit dijelaskan. Entah karena matahari pagi Jakarta yang cerah atau karena harapan sederhana: semoga hari ini aku bertemu Kevin.
Setelah sarapan dan diantar seperti biasa oleh ayahnya, Alina turun di tempat biasa, beberapa meter dari gerbang sekolah. Sepanjang perjalanan menuju kelas, matanya terus mengamati sekeliling, seperti seorang detektif yang sedang mencari target. Namun tak ada tanda-tanda Kevin. Bel masuk berbunyi. Ia mengikuti pelajaran dengan setengah hati, otaknya lebih sibuk menyusun skenario kemungkinan: kalau aku ketemu Kevin nanti, aku harus ngomong apa? Haruskah aku bilang makasih karena kemarin digendong? Atau itu malah terlalu aneh? Di sisi lain, Seruni sudah mengenali tanda-tanda seseorang yang sedang deg-degan karena naksir. Tatapan kosong, senyum tiba-tiba, dan sesekali menggambar inisial K di sudut buku catatan. Saat bel istirahat berbunyi, Seruni langsung berdiri. “Ayo, kita ke kantin. Kali ini, aku yakin dia muncul,” kata Seruni yakin sambil menarik tangan Alina. “Aku udah deg-degan duluan,” gumam Alina pelan. “Tenang, kamu cantik hari ini. Nggak ada yang bisa nolak senyuman kamu,” jawab Seruni penuh semangat. Alina tersenyum malu. ** Kantin Sekolah – Sepuluh Menit Kemudian Kantin penuh sesak. Suara piring, sendok, dan gelas bersahutan. Para siswa memenuhi hampir semua meja. Aroma gorengan dan mi instan menguar di udara. Seruni menunjuk sebuah meja kosong di pojok dekat kipas angin, dan mereka segera duduk di sana. “Minum es teh dulu, biar adem,” kata Seruni sambil memesan dua gelas. Alina baru saja akan menyuap bakwan goreng ke mulutnya, saat Seruni tiba-tiba mencoleknya pelan. “Jangan panik. Lihat sebelah kiri, deket tempat nasi goreng. Dia di situ,” bisik Seruni. Alina menoleh perlahan. Dan di sanalah dia, Kevin Mahendra. Terlihat paling tinggi diantara yang lainnya, mengenakan jaket hitam di atas seragam, rambut agak berantakan, dan tampaknya dia sedang mengaduk minuman dengan ekspresi sangat serius, seolah-olah itu adalah ramuan penting untuk menyelamatkan dunia. Alina menelan ludah. Tiba-tiba tenggorokannya kering. Apa aku harus menyapa? Atau menunggu? Tapi sebelum ia sempat berpikir terlalu jauh, Kevin melangkah mendekat, membawa nampan dengan satu piring nasi goreng dan segelas air mineral. Ia melihat meja Alina dan Seruni, lalu tiba-tiba... “Meja penuh semua. Boleh duduk di sini?” Seruni hampir menjatuhkan sendoknya. Alina membeku, lalu mengangguk cepat. “I-iya, boleh.” Kevin duduk persis di depan Alina. Meja itu sangat kecil, jarak wajah mereka hanya satu lengan. Kevin mulai makan dalam diam, tapi sesekali matanya melirik ke arah Alina. Lalu, akhirnya ia membuka mulut. “Kepalamu udah nggak sakit?” Tanya nya. Alina membelalak sedikit. “Eh… oh! Udah nggak! Makasih ya Kev soal kemarin…” Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Kevin tersenyum sedikit. “Maaf ya, aku yang lempar bolanya terlalu kencang.” Alina buru-buru menggeleng. “Nggak apa-apa kok! Aku malah jadi kenal kamu…” Kalimat itu terceplos. Kevin menaikkan alis. “Kenal?” Alina panik. “Maksudku… jadi tahu. Kalau kamu tuh… kapten basket. Hehe.” Seruni menutup mulut menahan tawa. Kevin tertawa kecil, suaranya ringan tapi dalam. “Iya, aku Kevin.” “Alina,” sahutnya cepat, “Murid baru. Kelas XI-2.” Kevin mengangguk, lalu mengaduk nasi gorengnya pelan. “Kamu anak Bandung, ya?” Alina terkejut. “Kamu tahu dari mana?” “Logat kamu masih Sunda halus. Kayak waktu bilang ‘tidak apa-apa’ tadi.” Alina tertawa malu. “Iya, sih. Susah ilangnya.” “Bagus kok,” jawab Kevin. “Jarang ada yang mau tetap jadi dirinya sendiri di sekolah baru.” Kalimat itu menghentak Alina. Ia menatap Kevin yang kini sedang menatap nasi gorengnya, bukan dirinya. Tapi kata-kata itu seperti ditujukan langsung ke hati. “Aku cuma pengen jadi diri sendiri. Bukan orang lain,” jawab Alina pelan. Kevin mengangguk lagi. “Itu saja cukup.” Mereka kembali terdiam. Tapi kali ini bukan diam yang canggung. Justru ada ketenangan yang menggantung di antara suara ramai kantin. Setelah beberapa saat, Kevin berdiri. Ia menatap Alina sejenak, lalu berkata: “Kalau ada yang ganggu kamu, bilang aja. Aku biasanya nongkrong di lapangan basket.” Alina hanya bisa mengangguk. Kevin pun pergi. Seruni menatap Alina yang membatu. “Lin… kamu… kamu nyadar nggak barusan dia ngasih kode?” Alina masih bengong. “Kode apa?” “Kode kapten! Yang berarti dia terbuka kalau kamu mau lebih dekat!” Alina menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku malu banget tadi…” Seruni tertawa. “Malu kenapa? Kamu keren banget barusan. Kamu ngobrol santai sama Kevin! Itu udah lebih dari semua cewek di sekolah ini!” Alina tersenyum kecil, manis, dan penuh harapan. Hari ini, dia tidak hanya melihat Kevin dari kejauhan. Hari ini, dia mengenalnya sedikit lebih dekat. Dan hari ini, hatinya mulai percaya… bahwa mungkin, Kevin bukan sekadar cinta pandangan pertama.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l







