Pagi itu Jakarta masih berselimut kabut tipis. Langit berwarna abu muda menyambut langkah kaki Alina yang mantap menuruni tangga rumah. Seragam putih abu-abunya tampak rapi, rambut panjangnya diikat separuh ke belakang, menampakkan wajah manis yang berseri-seri. Tas punggung hitam sederhana menempel di punggungnya.
“Sudah siap, Lin?” suara ayahnya terdengar dari arah garasi. Alina mengangguk. “Sudah, Yah.” Mereka berdua masuk ke dalam mobil hitam yang terparkir di halaman. Mobil itu mengilat, tipe sedan terbaru, sesuatu yang cukup mencolok untuk lingkungan SMA biasa. Tapi Alina bukan tipe yang senang menonjol. Meski keluarganya berkecukupan, ia tumbuh dengan kesadaran bahwa kesederhanaan justru lebih memikat. “Turunin aku agak jauh dari gerbang ya, Yah,” pintanya lembut. Ayahnya menoleh sekilas, lalu tersenyum. “Masih tetap nggak mau kelihatan menonjol, ya?” Alina nyengir kecil. “Biar nggak dikira sok.” Ayahnya terkekeh dan mengangguk. “Baik, Nona Rendah Hati.” Perjalanan menuju sekolah dilalui dengan obrolan ringan. Mobil berhenti sekitar dua blok dari gerbang sekolah. Alina menunduk sedikit saat turun, lalu melambai pada ayahnya yang kembali menyetir menuju kantor. Setelah mobil itu berlalu, Alina menarik napas dalam dan mulai berjalan. Langkahnya ringan, dan senyum samar tergambar di wajahnya. Di dalam benaknya, hanya satu hal yang mengisi ruang harapan pagi itu: Apakah aku akan bertemu Kevin hari ini? Ia melangkah masuk ke halaman sekolah, matanya sesekali menoleh ke arah lapangan basket. Tapi tak ada suara bola memantul, tak ada latihan pagi, dan tentunya tak ada Kevin. Mungkin dia datang agak siang? Atau ada kegiatan lain? Alina berusaha tetap tenang. Ia masuk ke gedung kelas dan menemukan Seruni sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya. “Pagi!” sapa Alina ceria sambil menarik kursinya. “Pagi juga, Lin! Eh, kamu udah sehat? Gimana kepala kamu?” tanya Seruni cepat sambil menyimpan ponsel. Alina mengangguk. “Udah mendingan. Nggak sakit lagi, kok. Cuma agak kaget aja kemarin.” Seruni tertawa kecil. “Wajar lah. Kamu baru sehari di sini langsung jadi pusat perhatian. Gaya banget pingsan digendong Kevin.” Alina ikut tertawa malu-malu. “Iya juga, sih... Tapi dia emang sebaik itu, ya?” “Hmm…” Seruni menaikkan alis. “Kamu penasaran sama Kevin, ya?” Alina mengangguk jujur. “Iya. Dia kayak punya aura beda. Kayak cowok kalem dan pendiam, tapi bikin penasaran.” Seruni tertawa geli. “Banyak cewek di sekolah ini juga ngerasa gitu, Lin. Tapi Kevin itu ya gitu deh. Nggak gampang ditebak. Tapi orangnya baik, tanggung jawab. Dia tinggal sama kakaknya sekarang.” “Oh?” Alina sedikit mencondongkan tubuh. “Orang tuanya?” “Katanya udah pisah. Mamanya tinggal di luar kota. Papanya kerja di luar negeri. Jadi dia sama kakak cowoknya yang udah kerja,” jelas Seruni, tapi belum sempat melanjutkan... TOK TOK TOK Pintu kelas terbuka dan Pak Ruli, guru matematika yang terkenal disiplin, melangkah masuk dengan map di tangan. “Semuanya, duduk rapi. Hari ini kita mulai dengan latihan soal. Buku catatan dan alat tulisnya silahkan dikeluarkan.” Suara gemuruh pelan terdengar saat semua murid bersiap. Alina melirik Seruni dengan pandangan bertanya, belum puas dengan cerita yang baru setengah. Tapi Seruni hanya mengangkat bahu dan tersenyum, lalu mulai membuka bukunya. Sepanjang pelajaran matematika, pikiran Alina tak bisa fokus sepenuhnya. Di sela-sela angka dan rumus, bayangan wajah Kevin muncul berkali-kali. Kemana dia? Kenapa hari ini nggak kelihatan? Apakah dia sering bolos? Atau dia sengaja menjauh? Ah, kenapa pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul terus? Setelah pelajaran usai, bel istirahat pun berbunyi. Suara ramai di lorong kelas menggema seiring para siswa keluar mencari udara segar atau camilan di kantin. Alina masih di tempat duduknya, menunggu Seruni yang sedang mencari ponselnya karena lupa nyimpan. “Nanti siang kamu ikut aku ke kantin, ya?” ajak Seruni akhirnya. “Biasanya Kevin nongol di sana. Siapa tahu kamu bisa lihat dia.” Alina tersenyum lebar. “Beneran?” “Tenang aja, aku kan informan terpercaya,” canda Seruni sambil mengedipkan mata. Mereka pun berjalan keluar kelas menuju kantin sekolah, melewati lorong panjang dengan dinding penuh karya seni siswa. Langkah Alina terasa ringan, walau di dalam dadanya tetap ada degup harap yang sulit dijelaskan. Satu pertemuan bisa membuatmu penasaran. Dan satu ketidakhadiran bisa membuatmu bertanya-tanya. Di Kantin Sekolah Namun hingga bel masuk berbunyi lagi, sosok Kevin belum juga terlihat. Alina bahkan sempat berdiri di pinggir kantin, menoleh ke segala arah. Tapi hasilnya nihil, tak ada Kevin. “Dia nggak datang hari ini kali, ya?” gumam Alina saat mereka kembali ke kelas. “Bisa jadi. Tapi tenang aja. Kevin bukan hantu kok Alina, besok juga pasti ketemu lagi,” hibur Seruni. Alina tersenyum tipis, meski hatinya sedikit kecewa. Sore Hari di Rumah Sesampainya di rumah, Alina langsung naik ke kamarnya. Ia mengganti baju lalu duduk di dekat jendela kamarnya yang menghadap taman. Dari sana, ia bisa melihat langit sore Jakarta yang berwarna jingga keemasan. Ia membuka buku hariannya dan mulai menulis lagi: Hari kedua. Kupikir aku akan bertemu Kevin lagi, tapi ternyata tidak. Rasanya aneh, berharap pada seseorang yang bahkan belum benar-benar kukenal. Tapi dia seperti sebuah magnet. Membuatku semakin penasaran dan ingin tahu lebih banyak. Tentang hidupnya, tentang isi pikirannya. Tentang segala hal yang membuat dia menjadi ‘dia sendiri’. Alina menutup bukunya, lalu menatap langit senja yang mulai meredup. Mungkin besok. Mungkin lusa. Tapi yang pasti, hatinya sudah mulai menetap pada satu nama. Kevin Mahendra.Pagi itu, langit Jakarta tampak mendung. Alina berjalan menuju sekolah dengan semangat yang masih tersisa dari momen kemarin, saat Kevin untuk pertama kalinya menemaninya masuk gerbang sekolah. Jantungnya masih bisa merasakan degup bahagia, pipinya sempat memerah kembali kala mengingat cara Kevin menatapnya. Namun pagi itu semua terasa berbeda. Begitu memasuki halaman sekolah, pandangan Kevin yang biasanya hangat kini seakan mengiris tajam. Tatapan itu bukan tatapan yang sama seperti kemarin. Tidak ada lagi senyum tipis yang selama ini diam-diam membuat Alina terpaku. Tak ada anggukan kecil, tak ada sapaan ringan. Kevin berlalu begitu saja dengan acuh dan dingin. Seolah mereka tak pernah saling mengenal sebelum nya. Alina menghentikan langkah. Sejenak ia berpikir, apa yang sedang terjadi? Seruni sudah menunggunya di depan kelas. "Pagi, Lin!" seru Seruni ceria. Tapi raut wajahnya segera berubah saat melihat ekspresi Alina yang kebingungan. "Hey, kamu kenapa? Mukamu kayak abis li
Pagi itu suasana sekolah terasa berbeda. Bisik-bisik mulai terdengar di sepanjang koridor. “Eh, itu yang namanya Alina, kan?” “Iya, yang katanya ngerebut Kevin dari Reva…” “Muka sih polos, tapi kelakuan ternyata manuver ya?” Alina berjalan perlahan di antara kerumunan. Kepalanya tertunduk. Di dalam dadanya, ada rasa asing yang mengganjal: malu, bingung, dan marah dalam hati. Seruni menghampiri dan menarik tangannya masuk ke kelas. “Kamu oke, Lin? kenapa mereka tahu dan menggunjing mu?” “Enggak tahu, Aku bahkan nggak tahu aku salah apa.” “Gosip itu nyebar dari tadi pagi. Katanya kamu suka pamer-pamer kedekatan sama Kevin. Katanya kamu ‘bermuka dua’.” Alina menggeleng cepat. “Aku nggak pernah cerita ke siapa pun. Bahkan ke kamu aja soal perasaanku ke Kevin…” Seruni mengepalkan tangan. “Berarti ini pasti dari Reva!” Siang Hari – Komunitas Perpustakaan Sesi membaca sore hari biasanya menjadi pelarian terbaik Alina. Tapi kali ini, suasana di dalam ruang baca terasa canggung. Ta
Pagi itu, sekolah seperti biasa ramai. Koridor dipenuhi siswa berlalu-lalang, suara tawa bersahutan, dan aroma dari kantin mulai menyeruak di udara. Namun bagi Alina, hari ini terasa berbeda. Bukan karena ulangan Bahasa Inggris yang katanya bakal susah, atau tugas sejarah yang menumpuk, tapi karena hatinya masih menggantung pada percakapan singkat kemarin dengan Kevin. “Ternyata kamu lebih dari yang terlihat.” Kalimat itu terus terngiang. Bahkan saat ia sedang mengisi air di botol minum sekolahnya, pipinya kembali merona saat teringat bagaimana Kevin menatapnya. “Alin, kamu tuh kenapa sih? Senyum-senyum sendiri dari tadi,” Seruni menyikut pelan. Alina hanya menggeleng, canggung. “Nggak apa-apa Run, cuma lagi ingat sesuatu aja.” “Kemarin kamu bareng Kevin. Hari ini senyum terus. Aku mulai yakin kamu nggak cuma suka baca, tapi juga suka berimajinasi,” Seruni tertawa geli. Alina ikut tertawa. “Iya deh, iya. Tapi serius, dia ternyata nggak se-cuek yang aku kira. Ada sisi dia yang l
Langit malam di Jakarta begitu tenang. Di kamar yang rapi dan penuh dengan rak buku, Alina duduk bersila di tempat tidur dengan lampu belajar menyala temaram. Ponselnya berada dalam genggaman, awalnya ia hanya berniat membuka Instagram untuk mencari akun komunitas pecinta buku yang sempat direkomendasikan oleh kakak kelas tadi siang.Namun, entah bagaimana, jari-jarinya malah mengetik:kevinDan…Boom!Akun itu benar-benar ada.Profilnya sederhana.Foto profil Kevin adalah dirinya yang sedang duduk di pinggir lapangan basket, mengenakan jersey putih dengan logo sekolah. Tak banyak yang ia unggah (mungkin hanya sekitar 15 foto) tapi semuanya seolah menyimpan pesona tersendiri bagi Alina.Ia menggulir pelan.Foto saat Kevin mengangkat piala bersama tim basket.Foto candid Kevin sedang tertawa di lapangan.Foto close-up hitam putih yang entah siapa yang ambil, namun jelas memamerkan rahangnya yang tegas dan mata tajamnya yang seolah bisa melihat isi hati.Tanpa sadar…Like.Like.Like."
Pagi itu matahari bersinar cerah. Langit biru membentang tanpa awan, seolah menjadi pertanda baik untuk hari yang baru. Alina melangkah keluar dari mobil ayahnya dengan semangat membuncah. Ia memilih turun beberapa meter sebelum gerbang sekolah seperti biasa, tak ingin menarik perhatian. Namun langkahnya kali ini lebih ringan, lebih cepat. Ia bahkan bersenandung pelan dalam hati. Hari ini hari pengumuman nilai ulangan matematika. Mata pelajaran yang paling ditakuti sebagian besar siswa mayoritas, tapi justru salah satu favorit Alina. Di Dalam Kelas “Alina Intan Putri, 98. Nilai tertinggi di kelas,” ucap Pak Rulu, guru matematika mereka, sembari menuliskan hasil ulangan di papan tulis. Alina membeku sejenak. Ia hampir tak percaya mendengar namanya disebut. Seruni yang duduk di sampingnya langsung menepuk pelan bahunya. “Gila! Kamu jenius ya ternyata!” bisik Seruni dengan suara kagum. Alina tersenyum malu. “Ah, nggak juga… cuma kebetulan soalnya nyambung sama materi yang aku suka
Hari itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Tapi bagi Alina, hari itu terasa seperti lembar baru. Setelah percakapan singkat di kantin bersama Kevin, pikirannya tidak berhenti memutar ulang tiap detik momen itu. Senyum Kevin sang kapten basket. Tatapan dan cara dia bilang: Kalau ada yang ganggu kamu, bilang aja… Seruni sampai geleng-geleng melihat sahabat barunya yang terus melamun di kelas. “Lin, kamu senyum-senyum sendiri kayak orang jatuh cinta sama karakter anime.” Alina hanya menatap Seruni dengan ekspresi dreamy. “Gimana ya, Seruni dia tuh sangat berbeda.” Seruni bersedekap. “Ya iyalah beda. Dia Kevin, bukan guru matematika kita yang ngasih PR kayak neraka.” Alina tertawa. Tapi di balik tawa itu, muncul ide nekat di kepalanya. Sebuah cara untuk mengenal Kevin lebih dekat, tanpa terkesan terlalu mengejar. Sore Hari, Ruang OSIS dan Papan Ekstrakurikuler Setelah jam pelajaran selesai, Alina dan Seruni sengaja mampir ke papan pengumuman ekskul yang terletak di lorong m