Home / Romansa / Crush Sang Kapten Basket / Diam Yang Menguatkan

Share

Diam Yang Menguatkan

Author: Singacala ID
last update Last Updated: 2025-07-24 23:36:37

Pagi itu, langit tampak lebih terang dari biasanya. Tapi bagi Alina, hari tetap terasa mendung.

Meski luka di hatinya belum sembuh, ia telah memutuskan satu hal sejak malam sebelumnya: Ia akan mencoba berusaha bangkit. Alina akan melawan semua ini dengan caranya sendiri.

Alina turun dari mobil ayahnya seperti biasa di depan gerbang sekolah. Ayahnya sempat melirik dengan tatapan khawatir, namun tak ingin mengekang anaknya. Ia percaya pada ketegaran Alina.

“Kamu yakin nggak Papa temani ke dalam, Lin?” Tanya ayahnya sedikit khawatir.

“Enggak, Pa. Alina bisa sendiri kok. Terima kasih udah nganterin ya.”

Alina melangkah masuk melewati lorong gerbang sekolah dengan kepala tegak, meskipun langkahnya terasa berat. Ia bisa merasakan lirikan mata para siswa lainnya yang seperti memotong udara. Suara bisik-bisik menyelinap di antara tiupan angin pagi.

“Itu dia yang katanya ngirim pesan ke Kevin.”

“Pantes aja sok polos, ternyata gitu juga kelakuannya...”

“Kasihan Kevin digituin.”

Telinga Alina menangkap semuanya, tapi ia memilih menunduk sedikit dan mempercepat langkah. Jari-jarinya mencengkeram tali ransel erat-erat, menahan gejolak di dadanya agar tak meledak jadi tangis.

Di ujung lorong, Seruni berdiri menunggunya sambil melambai. Senyumnya menenangkan, seperti oase kecil di tengah padang gurun.

“Alinaaa! Aku simpenin tempat duduk, cepat sini!”

Alina mencoba tersenyum (walau tidak sempurna) dan mendekati Seruni.

“Pagi, Runi...” Sapa Alina.

“Pagi Alina. Kamu udah lebih baik?”

“Belum. Tapi aku akan baik-baik aja. Aku harus bisa hadapi ini sendiri.”

Mereka berjalan bersama menuju kelas. Saat melewati lorong tengah, dari lantai atas terdengar suara tawa mencolok, tidak salah lagi dialah Reva dan gengnya. Reva bersandar santai di balkon, memandangi Alina seakan kucing yang sedang menikmati mangsanya yang tak berdaya.

“Eh, liat deh... si sok kalem udah bangun dari tidur panjangnya!”

“Mungkin dia masih nungguin balasan DM dari Kevin, tuh... hahaha!”

Alina tak bereaksi. Tapi Seruni berbalik tajam.

“Kalian ini nggak punya hati ya? Dia nggak ganggu kalian, ngapain sih mesti nyinyir kayak gitu?”

“Wah, sahabat sejati, nih,” ejek Reva datar. “Tapi sayangnya, kamu sahabat dari orang yang ngerebut perhatian cowok orang.”

Seruni hampir membalas, tapi Alina memegang lengannya. Ia menggeleng pelan dan menatap Seruni hingga ia menuruti Alina.

“Nggak usah, Seruni. Mereka bukan siapa-siapa buat aku.”

Ketenangan Alina justru membuat Reva kesal. Ia tak menyangka Alina akan tetap datang ke sekolah dan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Namun, di balik senyum sinis nya, Reva juga merasakan gelisah kecil, kenapa dia nggak menyerah?

Di Kelas

Pelajaran berlangsung seperti biasa. Tapi suasana terasa canggung. Beberapa siswa masih melirik Alina seakan ia virus menular. Tapi Alina tak peduli sama sekali. Ia mencatat dengan rapi, menjawab pertanyaan guru dengan percaya diri, dan tetap duduk tegak.

Di dalam hati, ia berbisik:

Aku akan buktikan, kalau aku bukan seperti yang kalian pikirkan.

Dan diam-diam dari sisi jendela kelas, seseorang memperhatikan.

Kevin.

Ia berdiri beberapa meter dari lorong luar, hendak menuju ruang olahraga. Tapi matanya tak lepas dari Alina. Hatinya terasa sedikit campur aduk.

"Kenapa dia tetap tenang? Kenapa aku justru yang nggak yakin lagi?" gumam Kevin dalam hatinya.

Ia masih marah atau lebih tepatnya, bingung. Tapi entah kenapa, bayangan wajah Alina yang begitu bersih dan matanya yang jernih membuat kemarahan itu terasa tidak pada tempatnya.

Di Lain Tempat

Reva duduk di kantin bersama gengnya. Ia menggigit roti tawarnya perlahan.

“Alina belum menyerah, Rev,” ucap salah satu temannya.

Reva tidak menoleh, dan ia hanya menjawab datar.

“Kalau dia nggak mau menyerah berarti kita harus naikkan level permainan.”

“Maksudmu?” Tanya salahseorang teman nya.

“Kalau kata-kata nggak cukup bikin dia pergi, kita buat dia benar-benar kehilangan segalanya.”

Di Perpustakaan Sore Itu

Alina memilih duduk di sudut perpustakaan, menjauh dari hiruk pikuk. Tempat itu jadi satu-satunya ruang di mana dia bisa bernapas tanpa penilaian.

Ia membuka buku, mencoba membaca. Tapi matanya terasa sedikit basah. Buku itu akhirnya ia peluk, seperti tempatnya bersandar di tengah badai.

Lalu suara langkah menghampiri. Seruni duduk di sampingnya sambil menyerahkan selembar kertas.

“Ini hasil investigasi kecil-kecilan aku. Akun palsu itu dioperasikan dari IP address yang bisa kita lacak asalnya.”

Alina mendongak.

“Kamu serius?” Tanya Alina sedikit antusias.

Seruni mengangguk.

“Dan kamu pasti bisa tebak siapa orang yang punya akses ke ruangan multimedia OSIS, tempat semua komputer terhubung.”

“Reva...?” bisik Alina.

“Ya. Tapi kita butuh bukti lebih kuat.”

Alina mengepalkan tangan. Untuk pertama kalinya sejak insiden itu, ada bara kecil menyala di matanya. Bukan untuk membalas dendam. Tapi untuk membuktikan sebuah kebenaran.

Sudah cukup sampai disini. Aku harus meluruskan semuanya. Untuk diriku sendiri dan untuk Kevin.

Seruni tersenyum ceria setelah melihat Alina bersemangat kembali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crush Sang Kapten Basket   Libur Yang Usai dan Hati Yang Hancur

    Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Bersama Siapa

    Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na

  • Crush Sang Kapten Basket   Liburan Ke Puncak

    Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Semakin Dekat Dengan Keluarga Alina

    Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun

  • Crush Sang Kapten Basket   Menonton Langsung Kevin Bertanding

    Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin dan Tentang Masalahnya

    Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status