Pagi itu, langit tampak lebih terang dari biasanya. Tapi bagi Alina, hari tetap terasa mendung.
Meski luka di hatinya belum sembuh, ia telah memutuskan satu hal sejak malam sebelumnya: Ia akan mencoba berusaha bangkit. Alina akan melawan semua ini dengan caranya sendiri. Alina turun dari mobil ayahnya seperti biasa di depan gerbang sekolah. Ayahnya sempat melirik dengan tatapan khawatir, namun tak ingin mengekang anaknya. Ia percaya pada ketegaran Alina. “Kamu yakin nggak Papa temani ke dalam, Lin?” Tanya ayahnya sedikit khawatir. “Enggak, Pa. Alina bisa sendiri kok. Terima kasih udah nganterin ya.” Alina melangkah masuk melewati lorong gerbang sekolah dengan kepala tegak, meskipun langkahnya terasa berat. Ia bisa merasakan lirikan mata para siswa lainnya yang seperti memotong udara. Suara bisik-bisik menyelinap di antara tiupan angin pagi. “Itu dia yang katanya ngirim pesan ke Kevin.” “Pantes aja sok polos, ternyata gitu juga kelakuannya...” “Kasihan Kevin digituin.” Telinga Alina menangkap semuanya, tapi ia memilih menunduk sedikit dan mempercepat langkah. Jari-jarinya mencengkeram tali ransel erat-erat, menahan gejolak di dadanya agar tak meledak jadi tangis. Di ujung lorong, Seruni berdiri menunggunya sambil melambai. Senyumnya menenangkan, seperti oase kecil di tengah padang gurun. “Alinaaa! Aku simpenin tempat duduk, cepat sini!” Alina mencoba tersenyum (walau tidak sempurna) dan mendekati Seruni. “Pagi, Runi...” Sapa Alina. “Pagi Alina. Kamu udah lebih baik?” “Belum. Tapi aku akan baik-baik aja. Aku harus bisa hadapi ini sendiri.” Mereka berjalan bersama menuju kelas. Saat melewati lorong tengah, dari lantai atas terdengar suara tawa mencolok, tidak salah lagi dialah Reva dan gengnya. Reva bersandar santai di balkon, memandangi Alina seakan kucing yang sedang menikmati mangsanya yang tak berdaya. “Eh, liat deh... si sok kalem udah bangun dari tidur panjangnya!” “Mungkin dia masih nungguin balasan DM dari Kevin, tuh... hahaha!” Alina tak bereaksi. Tapi Seruni berbalik tajam. “Kalian ini nggak punya hati ya? Dia nggak ganggu kalian, ngapain sih mesti nyinyir kayak gitu?” “Wah, sahabat sejati, nih,” ejek Reva datar. “Tapi sayangnya, kamu sahabat dari orang yang ngerebut perhatian cowok orang.” Seruni hampir membalas, tapi Alina memegang lengannya. Ia menggeleng pelan dan menatap Seruni hingga ia menuruti Alina. “Nggak usah, Seruni. Mereka bukan siapa-siapa buat aku.” Ketenangan Alina justru membuat Reva kesal. Ia tak menyangka Alina akan tetap datang ke sekolah dan bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Namun, di balik senyum sinis nya, Reva juga merasakan gelisah kecil, kenapa dia nggak menyerah? Di Kelas Pelajaran berlangsung seperti biasa. Tapi suasana terasa canggung. Beberapa siswa masih melirik Alina seakan ia virus menular. Tapi Alina tak peduli sama sekali. Ia mencatat dengan rapi, menjawab pertanyaan guru dengan percaya diri, dan tetap duduk tegak. Di dalam hati, ia berbisik: Aku akan buktikan, kalau aku bukan seperti yang kalian pikirkan. Dan diam-diam dari sisi jendela kelas, seseorang memperhatikan. Kevin. Ia berdiri beberapa meter dari lorong luar, hendak menuju ruang olahraga. Tapi matanya tak lepas dari Alina. Hatinya terasa sedikit campur aduk. "Kenapa dia tetap tenang? Kenapa aku justru yang nggak yakin lagi?" gumam Kevin dalam hatinya. Ia masih marah atau lebih tepatnya, bingung. Tapi entah kenapa, bayangan wajah Alina yang begitu bersih dan matanya yang jernih membuat kemarahan itu terasa tidak pada tempatnya. Di Lain Tempat Reva duduk di kantin bersama gengnya. Ia menggigit roti tawarnya perlahan. “Alina belum menyerah, Rev,” ucap salah satu temannya. Reva tidak menoleh, dan ia hanya menjawab datar. “Kalau dia nggak mau menyerah berarti kita harus naikkan level permainan.” “Maksudmu?” Tanya salahseorang teman nya. “Kalau kata-kata nggak cukup bikin dia pergi, kita buat dia benar-benar kehilangan segalanya.” Di Perpustakaan Sore Itu Alina memilih duduk di sudut perpustakaan, menjauh dari hiruk pikuk. Tempat itu jadi satu-satunya ruang di mana dia bisa bernapas tanpa penilaian. Ia membuka buku, mencoba membaca. Tapi matanya terasa sedikit basah. Buku itu akhirnya ia peluk, seperti tempatnya bersandar di tengah badai. Lalu suara langkah menghampiri. Seruni duduk di sampingnya sambil menyerahkan selembar kertas. “Ini hasil investigasi kecil-kecilan aku. Akun palsu itu dioperasikan dari IP address yang bisa kita lacak asalnya.” Alina mendongak. “Kamu serius?” Tanya Alina sedikit antusias. Seruni mengangguk. “Dan kamu pasti bisa tebak siapa orang yang punya akses ke ruangan multimedia OSIS, tempat semua komputer terhubung.” “Reva...?” bisik Alina. “Ya. Tapi kita butuh bukti lebih kuat.” Alina mengepalkan tangan. Untuk pertama kalinya sejak insiden itu, ada bara kecil menyala di matanya. Bukan untuk membalas dendam. Tapi untuk membuktikan sebuah kebenaran. Sudah cukup sampai disini. Aku harus meluruskan semuanya. Untuk diriku sendiri dan untuk Kevin. Seruni tersenyum ceria setelah melihat Alina bersemangat kembali.Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l
Malam itu, setelah Kevin pulang, Alina kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil menatap atap kamarnya, membiarkan pikirannya berkelana. Entah kenapa, wajah Kevin yang tadi tersenyum sambil bercanda di jalan pulang masih terbayang jelas. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya, mengingat semua luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Keesokan harinya, suasana rumah Alina tenang. Ayahnya berangkat kerja, ibunya sibuk di dapur, sementara Alina duduk di teras sambil membaca novel. Udara pagi terasa segar, suara burung bercampur dengan aroma wangi kopi yang diseduh ibunya.Tiba-tiba suara motor kembali terdengar di depan pagar.“Aduh… jangan bilang…” gumam Alina sambil melirik.Dan benar saja, Kevin.Bedanya, kali ini dia membawa dua gelas minuman dingin dan sekantong kertas berlogo toko roti terkenal di kota.Kevin melambai,“Pagi, Lin. Aku nggak ngajak jalan kok, cuma mau nitip sarapan.”Alina menatap curiga.“Nitip sarapan? Itu bahasa lain dari ngajak ketemu kan?”Kevin nyengir,
Motor Kevin melaju menembus jalanan Jakarta yang sore itu tak terlalu macet. Mereka melewati beberapa jalan kecil hingga akhirnya keluar di sebuah kawasan yang terasa berbeda dari hiruk-pikuk kota. Pepohonan rindang menaungi jalan, udara lebih sejuk, dan di kejauhan mulai terlihat kilauan air yang memantulkan cahaya matahari senja.Begitu mereka sampai, Alina langsung tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah waduk luas dengan air yang tenang. Di sekelilingnya, pepohonan hijau berjajar, burung-burung sesekali melintas, dan angin membawa aroma segar yang jarang ia rasakan di tengah padatnya kota.Kevin memarkir motor di dekat jalan setapak menuju tepian waduk.“Wow…” gumam Alina tanpa sadar, matanya berbinar. “Aku nggak nyangka di Jakarta masih ada tempat kayak gini.”Kevin tersenyum kecil, melepas helmnya dan ikut berjalan di samping Alina.“Banyak yang nggak tahu. Aku nemuin tempat ini pas lagi nyari spot buat latihan lari waktu dulu.”Mereka berjalan pelan di tepi air, sesekali omba
Hari berikutnya pagi itu langit tampak cerah, meski udara masih membawa embun tipis. Alina baru selesai sarapan dan sedang menyiram tanaman di balkon ketika ibunya memanggil dari ruang tamu.“Alina, ada tamu, Nak. Cepat turun, ya. Ibu lagi bikin teh dulu di dapur.”Alina mengernyit heran.“Tamu? Siapa, Bu?”“Pokoknya turun dulu aja. Nggak sopan bikin orang nunggu lama-lama.”Dengan langkah santai dan masih mengenakan sweater tipis dan celana santai rumahan, Alina pun berjalan menuruni tangga. Tapi begitu matanya menyapu ruang tamu, ia langsung berhenti di anak tangga keempat.Kevin.Cowok itu duduk santai di sofa ruang tamu dengan senyum ramah. Tapi yang membuat Alina terbelalak bukan karena kehadirannya saja, melainkan penampilannya yang berbeda total. Rambutnya kini rapi dengan potongan undercut bersih, wajahnya segar seolah baru keluar dari majalah gaya hidup remaja. Ia memakai kemeja putih bersih yang dilipat rapi di lengan dan celana bahan gelap. Alina berdiri terpaku beberapa d
Hari libur pertama setelah pengumuman hasil nilai semester. Kota terasa lebih tenang dari biasanya. Suara kendaraan berkurang, hanya sesekali terdengar tawa anak-anak yang bermain di gang kecil, atau suara pedagang es keliling yang lewat dengan nyanyian khasnya.Di dalam rumah mungil bernuansa cokelat pastel itu, Alina duduk di lantai kamarnya bersandar pada rak buku. Rambutnya digelung seadanya, kaos longgar dan celana pendek menjadi pakaian harian andalannya. Di tangannya sebuah novel terbitan lama yang sudah mulai menguning di pinggirannya. Ia tampak tenang. Damai. Momen seperti ini adalah hal yang ia rindukan setelah masa-masa sulit selama satu semester terakhir.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.TIIIN… TIIIINNN!!!Tiba-tiba suara klakson motor terdengar nyaring dari halaman depan rumah. Alina mengernyit, mendongak. Ia meletakkan buku di dadanya dan bangkit pelan, mendekat ke jendela kamar yang menghadap ke depan rumah.Ketika tirai disingkap sedikit…"Astaga…"Jantung
Hari itu cuaca terasa sangat cerah. Matahari menyinari halaman sekolah dengan lembut, menyapu dedaunan yang bergoyang pelan ditiup angin. Para siswa telah berkumpul di lapangan, membentuk barisan kelas masing-masing. Hari ini adalah hari pengumuman peringkat akademik semester 1, sebuah momen yang ditunggu-tunggu dan kadang ditakuti banyak siswa.Alina berdiri di barisan depan kelas nya, mengenakan seragam putih abu yang rapi dengan dasi abu-abu menggantung di lehernya. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya datar tapi tenang. Di balik ketenangan itu, jantungnya berdetak cepat.Pengumuman DimulaiWakil kepala sekolah, Bu Ratna, naik ke podium dan mengambil mikrofon. Suaranya tegas dan jelas menggema ke seluruh lapangan."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, anak-anak semua. Hari ini, kita akan mengumumkan peringkat sepuluh besar di setiap kelas berdasarkan hasil penilaian semester satu."Suasana pun mulai ramai. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Beberapa lainnya tamp