Share

Tangis Dalam Diam

Author: Singacala ID
last update Last Updated: 2025-07-24 01:52:36

Sore itu, hujan mulai turun perlahan di luar jendela. Langit Jakarta benar-benar kelabu, seolah mencerminkan hati Alina yang terasa perih dan kosong.

Pintu rumah terbuka perlahan. Alina turun dari mobil ayahnya dengan langkah lunglai. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk lemah ketika sang ayah menanyakan, “Sekolahnya gimana, Nak?”

Tak seperti biasanya, Alina langsung berjalan ke kamarnya tanpa meletakkan tas di ruang tamu atau duduk sebentar di meja makan. Ia mengunci pintu, melempar tubuhnya ke atas kasur, dan memejamkan mata yang sudah sejak siang terasa perih karena menahan tangis.

Dari balik pintu, suara langkah kaki terdengar menyusul. Sang ibu, memperhatikan gelagat anak gadisnya yang aneh sejak tiba di rumah.

“Lin...?” Suara lembut sang ibu memanggil dari luar.

“Kamu kenapa, sayang? Laper nggak? Makan sore dulu, yuk.”

Tak ada jawaban dari Alina.

Ibunya menunggu beberapa detik, lalu mengetuk pelan.

“Mama masuk ya...”

Namun pintu kamar Alina ternyata terkunci, tidak seperti biasanya.

“Nggak usah, Ma. Alina hari ini capek banget, Alina mau tidur,” jawab suara lirih dari dalam kamar.

“Besok ulangan kan? Nggak usah belajar dulu?”

“Udah belajar di sekolah, Ma...”

Ibunya menoleh ke arah suaminya yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ayahnya Alina mengangguk pelan.

“Dia nggak kayak biasanya. Biasanya cerita panjang lebar soal sekolah. Ini kayak ada yang sedang dipendam sendirian.”

Ibunya Alina menghela napas. Naluri seorang ibu terlalu kuat untuk diabaikan.

Malam Hari

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Makanan di meja sudah dingin. Alina belum keluar juga dari kamarnya.

Akhirnya ibunya datang membawa semangkuk sup hangat dan segelas susu ke depan pintu kamar Alina.

“Lin, Mama titip makanan di depan pintu, ya. Mama nggak maksa kamu cerita, tapi kalau kamu ngerasa sedih jangan simpan semuanya sendiri. Mama dan Papa selalu ada.”

Tak lama, terdengar bunyi pintu terbuka sedikit. Tangan Alina mengambil mangkuk sup, lalu kembali menutup pintu. Tapi ibunya mendengar suara isak kecil dari balik pintu itu. Suara yang selama ini tak pernah terdengar dari putri bungsunya.

Ibunya tak tahan lagi. Ia mengetuk pelan dan bicara dengan suara yang lebih lembut.

“Alina... anak Mama sayang. Kalau kamu diperlakukan nggak baik sama siapa pun, Mama harus tahu. Mama bisa bantu kamu.”

Dalam beberapa saat... tak ada jawaban dari Alina.

Lalu terdengar kunci pintu diputar pelan.

Daun pintu terbuka, menampakkan Alina dengan mata bengkak dan pipi yang masih basah. Ia berdiri lemas, tubuhnya sedikit gemetar. Seketika Ibunya menarik anak gadisnya dalam pelukan hangat.

“Ma... aku nggak kuat...”

“Shhh... Iya, sayang. Mama di sini, cerita ke Mama, ya?”

Alina akhirnya menangis di pelukan ibunya. Tangis yang tertahan seharian, pecah malam itu. Ayahnya berdiri tak jauh, ikut terpukul melihat putrinya yang biasanya ceria kini terlihat begitu rapuh.

Di Ruang Keluarga

Setelah beberapa saat mulai tenang, Alina menceritakan semuanya. Tentang Kevin, tentang akun palsu itu, tentang kebohongan yang menyebar, dan tentang rasa sakitnya saat semua orang memercayai kebohongan itu.

“Mama... aku nggak pernah kirim pesan seperti itu. Tapi semua orang percaya itu aku. Bahkan Kevin juga... dia benci sama aku sekarang.”

“Anak Mama nggak mungkin ngomong kayak gitu. Mama percaya.”

Ayahnya duduk mendekat.

“Ini serius. Fitnah seperti itu bisa masuk ke ranah hukum. Kalau ada yang dengan sengaja menjatuhkan reputasi kamu, kita bisa laporkan. Tapi Papa tahu kamu pasti nggak mau bikin ribut.”

“Aku cuma mau semuanya kembali normal, Pa. Aku mau Kevin tahu aku nggak bohong sama dia.”

Ibunya mengelus punggung Alina.

“Terkadang kebenaran itu butuh waktu untuk muncul ke permukaan, Lin. Tapi Mama yakin, kalau kamu jujur dan tetap jadi diri sendiri, orang-orang akan lihat siapa kamu sebenarnya.”

Alina mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya hari itu, senyum kecil tersungging di wajahnya.

Keesokan Harinya

Pagi itu, Alina bangun dengan niat yang baru. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi Kevin atau semua orang di sekolah, tapi ia sadar: lari bukanlah jawabannya. Jika ia terus bersedih dan terlarut bahkan menyerah dalam situasi ini berarti dia kalah.

Dan di tempat lain, Seruni juga tengah menyusun rencana untuk membantu sahabatnya menemukan pelaku di balik akun palsu itu.

Karena kebenaran akan selalu menemukan jalannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin dan Tentang Masalahnya

    Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l

  • Crush Sang Kapten Basket   Hari-hari Bersama Kevin

    Malam itu, setelah Kevin pulang, Alina kembali ke kamarnya. Ia merebahkan diri sambil menatap atap kamarnya, membiarkan pikirannya berkelana. Entah kenapa, wajah Kevin yang tadi tersenyum sambil bercanda di jalan pulang masih terbayang jelas. Tapi ia cepat-cepat mengalihkan pikirannya, mengingat semua luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Keesokan harinya, suasana rumah Alina tenang. Ayahnya berangkat kerja, ibunya sibuk di dapur, sementara Alina duduk di teras sambil membaca novel. Udara pagi terasa segar, suara burung bercampur dengan aroma wangi kopi yang diseduh ibunya.Tiba-tiba suara motor kembali terdengar di depan pagar.“Aduh… jangan bilang…” gumam Alina sambil melirik.Dan benar saja, Kevin.Bedanya, kali ini dia membawa dua gelas minuman dingin dan sekantong kertas berlogo toko roti terkenal di kota.Kevin melambai,“Pagi, Lin. Aku nggak ngajak jalan kok, cuma mau nitip sarapan.”Alina menatap curiga.“Nitip sarapan? Itu bahasa lain dari ngajak ketemu kan?”Kevin nyengir,

  • Crush Sang Kapten Basket   Momen Indah Bersama Kevin

    Motor Kevin melaju menembus jalanan Jakarta yang sore itu tak terlalu macet. Mereka melewati beberapa jalan kecil hingga akhirnya keluar di sebuah kawasan yang terasa berbeda dari hiruk-pikuk kota. Pepohonan rindang menaungi jalan, udara lebih sejuk, dan di kejauhan mulai terlihat kilauan air yang memantulkan cahaya matahari senja.Begitu mereka sampai, Alina langsung tertegun. Di hadapannya terbentang sebuah waduk luas dengan air yang tenang. Di sekelilingnya, pepohonan hijau berjajar, burung-burung sesekali melintas, dan angin membawa aroma segar yang jarang ia rasakan di tengah padatnya kota.Kevin memarkir motor di dekat jalan setapak menuju tepian waduk.“Wow…” gumam Alina tanpa sadar, matanya berbinar. “Aku nggak nyangka di Jakarta masih ada tempat kayak gini.”Kevin tersenyum kecil, melepas helmnya dan ikut berjalan di samping Alina.“Banyak yang nggak tahu. Aku nemuin tempat ini pas lagi nyari spot buat latihan lari waktu dulu.”Mereka berjalan pelan di tepi air, sesekali omba

  • Crush Sang Kapten Basket   Kevin Ke Rumah Alina dan Mengajak Jalan

    Hari berikutnya pagi itu langit tampak cerah, meski udara masih membawa embun tipis. Alina baru selesai sarapan dan sedang menyiram tanaman di balkon ketika ibunya memanggil dari ruang tamu.“Alina, ada tamu, Nak. Cepat turun, ya. Ibu lagi bikin teh dulu di dapur.”Alina mengernyit heran.“Tamu? Siapa, Bu?”“Pokoknya turun dulu aja. Nggak sopan bikin orang nunggu lama-lama.”Dengan langkah santai dan masih mengenakan sweater tipis dan celana santai rumahan, Alina pun berjalan menuruni tangga. Tapi begitu matanya menyapu ruang tamu, ia langsung berhenti di anak tangga keempat.Kevin.Cowok itu duduk santai di sofa ruang tamu dengan senyum ramah. Tapi yang membuat Alina terbelalak bukan karena kehadirannya saja, melainkan penampilannya yang berbeda total. Rambutnya kini rapi dengan potongan undercut bersih, wajahnya segar seolah baru keluar dari majalah gaya hidup remaja. Ia memakai kemeja putih bersih yang dilipat rapi di lengan dan celana bahan gelap. Alina berdiri terpaku beberapa d

  • Crush Sang Kapten Basket   Hari Libur dan Ketenangan yang Terusik

    Hari libur pertama setelah pengumuman hasil nilai semester. Kota terasa lebih tenang dari biasanya. Suara kendaraan berkurang, hanya sesekali terdengar tawa anak-anak yang bermain di gang kecil, atau suara pedagang es keliling yang lewat dengan nyanyian khasnya.Di dalam rumah mungil bernuansa cokelat pastel itu, Alina duduk di lantai kamarnya bersandar pada rak buku. Rambutnya digelung seadanya, kaos longgar dan celana pendek menjadi pakaian harian andalannya. Di tangannya sebuah novel terbitan lama yang sudah mulai menguning di pinggirannya. Ia tampak tenang. Damai. Momen seperti ini adalah hal yang ia rindukan setelah masa-masa sulit selama satu semester terakhir.Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.TIIIN… TIIIINNN!!!Tiba-tiba suara klakson motor terdengar nyaring dari halaman depan rumah. Alina mengernyit, mendongak. Ia meletakkan buku di dadanya dan bangkit pelan, mendekat ke jendela kamar yang menghadap ke depan rumah.Ketika tirai disingkap sedikit…"Astaga…"Jantung

  • Crush Sang Kapten Basket   Alina Bersinar, Ranking 1

    Hari itu cuaca terasa sangat cerah. Matahari menyinari halaman sekolah dengan lembut, menyapu dedaunan yang bergoyang pelan ditiup angin. Para siswa telah berkumpul di lapangan, membentuk barisan kelas masing-masing. Hari ini adalah hari pengumuman peringkat akademik semester 1, sebuah momen yang ditunggu-tunggu dan kadang ditakuti banyak siswa.Alina berdiri di barisan depan kelas nya, mengenakan seragam putih abu yang rapi dengan dasi abu-abu menggantung di lehernya. Rambutnya dikuncir satu, wajahnya datar tapi tenang. Di balik ketenangan itu, jantungnya berdetak cepat.Pengumuman DimulaiWakil kepala sekolah, Bu Ratna, naik ke podium dan mengambil mikrofon. Suaranya tegas dan jelas menggema ke seluruh lapangan."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, anak-anak semua. Hari ini, kita akan mengumumkan peringkat sepuluh besar di setiap kelas berdasarkan hasil penilaian semester satu."Suasana pun mulai ramai. Beberapa siswa mulai berbisik-bisik. Beberapa lainnya tamp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status