Sore itu, hujan mulai turun perlahan di luar jendela. Langit Jakarta benar-benar kelabu, seolah mencerminkan hati Alina yang terasa perih dan kosong.
Pintu rumah terbuka perlahan. Alina turun dari mobil ayahnya dengan langkah lunglai. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk lemah ketika sang ayah menanyakan, “Sekolahnya gimana, Nak?” Tak seperti biasanya, Alina langsung berjalan ke kamarnya tanpa meletakkan tas di ruang tamu atau duduk sebentar di meja makan. Ia mengunci pintu, melempar tubuhnya ke atas kasur, dan memejamkan mata yang sudah sejak siang terasa perih karena menahan tangis. Dari balik pintu, suara langkah kaki terdengar menyusul. Sang ibu, memperhatikan gelagat anak gadisnya yang aneh sejak tiba di rumah. “Lin...?” Suara lembut sang ibu memanggil dari luar. “Kamu kenapa, sayang? Laper nggak? Makan sore dulu, yuk.” Tak ada jawaban dari Alina. Ibunya menunggu beberapa detik, lalu mengetuk pelan. “Mama masuk ya...” Namun pintu kamar Alina ternyata terkunci, tidak seperti biasanya. “Nggak usah, Ma. Alina hari ini capek banget, Alina mau tidur,” jawab suara lirih dari dalam kamar. “Besok ulangan kan? Nggak usah belajar dulu?” “Udah belajar di sekolah, Ma...” Ibunya menoleh ke arah suaminya yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ayahnya Alina mengangguk pelan. “Dia nggak kayak biasanya. Biasanya cerita panjang lebar soal sekolah. Ini kayak ada yang sedang dipendam sendirian.” Ibunya Alina menghela napas. Naluri seorang ibu terlalu kuat untuk diabaikan. Malam Hari Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Makanan di meja sudah dingin. Alina belum keluar juga dari kamarnya. Akhirnya ibunya datang membawa semangkuk sup hangat dan segelas susu ke depan pintu kamar Alina. “Lin, Mama titip makanan di depan pintu, ya. Mama nggak maksa kamu cerita, tapi kalau kamu ngerasa sedih jangan simpan semuanya sendiri. Mama dan Papa selalu ada.” Tak lama, terdengar bunyi pintu terbuka sedikit. Tangan Alina mengambil mangkuk sup, lalu kembali menutup pintu. Tapi ibunya mendengar suara isak kecil dari balik pintu itu. Suara yang selama ini tak pernah terdengar dari putri bungsunya. Ibunya tak tahan lagi. Ia mengetuk pelan dan bicara dengan suara yang lebih lembut. “Alina... anak Mama sayang. Kalau kamu diperlakukan nggak baik sama siapa pun, Mama harus tahu. Mama bisa bantu kamu.” Dalam beberapa saat... tak ada jawaban dari Alina. Lalu terdengar kunci pintu diputar pelan. Daun pintu terbuka, menampakkan Alina dengan mata bengkak dan pipi yang masih basah. Ia berdiri lemas, tubuhnya sedikit gemetar. Seketika Ibunya menarik anak gadisnya dalam pelukan hangat. “Ma... aku nggak kuat...” “Shhh... Iya, sayang. Mama di sini, cerita ke Mama, ya?” Alina akhirnya menangis di pelukan ibunya. Tangis yang tertahan seharian, pecah malam itu. Ayahnya berdiri tak jauh, ikut terpukul melihat putrinya yang biasanya ceria kini terlihat begitu rapuh. Di Ruang Keluarga Setelah beberapa saat mulai tenang, Alina menceritakan semuanya. Tentang Kevin, tentang akun palsu itu, tentang kebohongan yang menyebar, dan tentang rasa sakitnya saat semua orang memercayai kebohongan itu. “Mama... aku nggak pernah kirim pesan seperti itu. Tapi semua orang percaya itu aku. Bahkan Kevin juga... dia benci sama aku sekarang.” “Anak Mama nggak mungkin ngomong kayak gitu. Mama percaya.” Ayahnya duduk mendekat. “Ini serius. Fitnah seperti itu bisa masuk ke ranah hukum. Kalau ada yang dengan sengaja menjatuhkan reputasi kamu, kita bisa laporkan. Tapi Papa tahu kamu pasti nggak mau bikin ribut.” “Aku cuma mau semuanya kembali normal, Pa. Aku mau Kevin tahu aku nggak bohong sama dia.” Ibunya mengelus punggung Alina. “Terkadang kebenaran itu butuh waktu untuk muncul ke permukaan, Lin. Tapi Mama yakin, kalau kamu jujur dan tetap jadi diri sendiri, orang-orang akan lihat siapa kamu sebenarnya.” Alina mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya hari itu, senyum kecil tersungging di wajahnya. Keesokan Harinya Pagi itu, Alina bangun dengan niat yang baru. Ia tidak tahu bagaimana menghadapi Kevin atau semua orang di sekolah, tapi ia sadar: lari bukanlah jawabannya. Jika ia terus bersedih dan terlarut bahkan menyerah dalam situasi ini berarti dia kalah. Dan di tempat lain, Seruni juga tengah menyusun rencana untuk membantu sahabatnya menemukan pelaku di balik akun palsu itu. Karena kebenaran akan selalu menemukan jalannya.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l