Pagi itu, sekolah seperti biasa ramai. Koridor dipenuhi siswa berlalu-lalang, suara tawa bersahutan, dan aroma dari kantin mulai menyeruak di udara.
Namun bagi Alina, hari ini terasa berbeda. Bukan karena ulangan Bahasa Inggris yang katanya bakal susah, atau tugas sejarah yang menumpuk, tapi karena hatinya masih menggantung pada percakapan singkat kemarin dengan Kevin. “Ternyata kamu lebih dari yang terlihat.” Kalimat itu terus terngiang. Bahkan saat ia sedang mengisi air di botol minum sekolahnya, pipinya kembali merona saat teringat bagaimana Kevin menatapnya. “Alin, kamu tuh kenapa sih? Senyum-senyum sendiri dari tadi,” Seruni menyikut pelan. Alina hanya menggeleng, canggung. “Nggak apa-apa Run, cuma lagi ingat sesuatu aja.” “Kemarin kamu bareng Kevin. Hari ini senyum terus. Aku mulai yakin kamu nggak cuma suka baca, tapi juga suka berimajinasi,” Seruni tertawa geli. Alina ikut tertawa. “Iya deh, iya. Tapi serius, dia ternyata nggak se-cuek yang aku kira. Ada sisi dia yang lebih manusiawi.” “Tapi jangan terlalu berharap, ya. Apalagi…” Seruni melirik ke arah lorong kelas sebelah. “Ada Reva.” Alina mengernyit. “Maksud kamu?” “Reva, geng lantai dua. Cewek paling populer. Suka banget sama Kevin. Walau Kevin nggak pernah ngasih lampu hijau, tapi dia selalu bertingkah posesif.” Alina menelan ludah dan hatinya sedikit menciut. Jam Istirahat – Komunitas Perpustakaan Setiap hari Rabu, komunitas pecinta perpustakaan mengadakan sesi baca bersama di ruang baca utama. Rak-rak tinggi dengan buku-buku klasik jadi saksi bisu keheningan penuh makna. Alina duduk di pojok ruangan, ditemani seorang anggota baru bernama Tari, seorang gadis berkacamata bulat dan pecinta sastra Jepang. “Kamu suka puisi juga, Lin?” tanya Tari. “Suka banget. Aku dulu sering ikut lomba cipta puisi di Bandung,” jawab Alina sambil menunjuk buku kumpulan puisi milik Sapardi Djoko Damono. “Wah! Harusnya kamu gabung sesi puisi sore nanti!” Alina tersenyum. “Mau sih, tapi kadang aku juga suka nyelip-nyelip ngelirik ke lapangan basket.” Tari tertawa. “Semua cewek di sekolah ini pasti pernah melakukan itu.” Alina pun ikut tertawa. Namun di balik canda mereka, ada satu sosok yang memperhatikan dari pintu kaca, Reva. Di kantin, Reva duduk bersama gengnya. Ia mengaduk jus stroberinya dengan pelan, tapi sorot matanya tajam. “Dia suka baca, kan?” tanya Reva sambil menatap Della. Della mengangguk. “Dan sekarang gabung komunitas perpustakaan?” “Yup. Tepat bersamaan dengan extra tim basket.” Reva tersenyum tipis. “Kita buat dia sibuk sama bukunya. Sibuk sampai lupa sama Kevin.” Mitha menaikkan alis. “Maksudmu?” “Bantu aku. Kita buat dia nggak nyaman di sana. Tapi pelan-pelan dan secara halus. Supaya dia pergi dengan sendirinya.” Vani bersiul. “Operasi sabotase dimulai, nih.” Sore Hari – Lapangan Basket Alina berdiri di koridor lantai dua, mengintip ke bawah. Lapangan basket ramai oleh para pemain. Suara sepatu yang menghantam lantai, peluit pelatih, dan sorak-sorai teman-teman yang menonton membuat suasana hidup. Dan di tengah semuanya, Kevin. Dengan kepala dibalut handuk kecil, ia memberi instruksi pada timnya. Gerakannya lincah, penuh fokus. Alina hanya tersenyum melihatnya dari kejauhan. Namun… “Aduh, kamu ternyata stalker juga ya?” suara di belakangnya mengejutkan. Alina menoleh cepat. Reva berdiri di belakang nya, dengan tangan menyilang dan senyum setengah mengejek. “Aku cuma lihat sebentar…” jawab Alina gugup. Reva melangkah mendekat. “Kevin tuh bukan orang yang gampang didekati. Apalagi buat cewek-cewek polos kayak kamu.” Alina meneguk ludah. “Aku nggak.....” “Denger ya, Alina,” bisik Reva. “Kamu harus hati-hati. Karena kalau nggak, sekolah ini bisa jadi nggak seindah yang kamu bayangkan.” Sebelum Alina sempat menjawab, Reva sudah berjalan menjauh. Meninggalkan aroma parfum menyengat dan rasa was-was di hati Alina. Keesokan Harinya – di Kelas Saat Alina duduk di bangkunya, ia menemukan kertas kecil di dalam buku catatan yang ia tinggal kemarin sore di perpustakaan. “Kamu mungkin pintar. Tapi ini bukan Bandung, ini Jakarta. Hati-hati kalau mau melangkah.” Tulisan itu tak ada nama. Tapi Alina tahu betul itu bukan dari Seruni. Dan hanya satu orang yang bisa menulis dengan tinta merah tebal seperti itu. Reva. Di Lapangan Basket – Sore Hari Kevin sedang sendirian merapikan bola-bola ke dalam keranjang saat Alina lewat tak sengaja. “Mau bantuin?” tanya Alina memberanikan diri. Kevin menoleh, lalu mengangguk pelan. “Boleh.” Keduanya mengumpulkan bola diam-diam. Tak banyak bicara. Tapi setiap gerakan terasa bermakna. “Kamu kelihatan capek,” kata Alina. “Biasa. Anak-anak belum fokus,” jawab Kevin sambil menarik napas panjang. “Tapi aku senang kamu suka baca. Jarang ada yang kayak gitu.” Alina tersenyum. “Kamu tahu aku suka baca?” Kevin menoleh. “Aku lihat kamu di perpustakaan. Dan… aku tahu kamu follow akun I*******m-ku.” Alina membeku. Kevin tertawa pelan. “Nggak apa-apa kok. Aku suka kalau ada yang tertarik sama sisi lain ku dan bukan cuma karena basket.” Alina membalas senyum itu dengan hangat dan ujur. Namun dari kejauhan, Reva melihat mereka. Dan ekspresinya bukan lagi cemburu. Tapi penuh tekad. “Kalau Alina pikir ini baru permulaan, dia salah besar,” bisiknya.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l