Langit malam di Jakarta begitu tenang. Di kamar yang rapi dan penuh dengan rak buku, Alina duduk bersila di tempat tidur dengan lampu belajar menyala temaram. Ponselnya berada dalam genggaman, awalnya ia hanya berniat membuka I*******m untuk mencari akun komunitas pecinta buku yang sempat direkomendasikan oleh kakak kelas tadi siang.
Namun, entah bagaimana, jari-jarinya malah mengetik: kevin Dan… Boom! Akun itu benar-benar ada. Profilnya sederhana. Foto profil Kevin adalah dirinya yang sedang duduk di pinggir lapangan basket, mengenakan jersey putih dengan logo sekolah. Tak banyak yang ia unggah (mungkin hanya sekitar 15 foto) tapi semuanya seolah menyimpan pesona tersendiri bagi Alina. Ia menggulir pelan. Foto saat Kevin mengangkat piala bersama tim basket. Foto candid Kevin sedang tertawa di lapangan. Foto close-up hitam putih yang entah siapa yang ambil, namun jelas memamerkan rahangnya yang tegas dan mata tajamnya yang seolah bisa melihat isi hati. Tanpa sadar… Like. Like. Like. "Astaga…" Alina menatap layar ponselnya, terkejut. "Tiga foto?!" Ia menutupi wajahnya dengan bantal. Malu sendiri. “Aku udah follow dan like tiga fotonya. Gawat,” gumamnya. Namun, di tengah rasa gugup itu, terselip rasa hangat. Seolah ia telah membuka satu pintu kecil menuju dunia Kevin. Pagi Harinya – di Gerbang Sekolah Seperti biasa, Alina turun dari mobil ayahnya di titik yang agak jauh dari gerbang utama. Ia membetulkan tas ranselnya dan merapikan poni di depan kaca mobil sebelum pamit. “Semangat, ya,” kata sang ayah. “Siap, Pak. Doakan ulangan biologi hari ini lancar,” jawab Alina sambil tersenyum manis. Langkahnya pelan namun ringan. Namun baru beberapa meter berjalan… “Ternyata di balik sikap rendah hati dan kebersahajaanmu, kamu menyembunyikan apa yang sesungguhnya kamu miliki, Alina.” Suara itu tidak asing dan ia memastikan itu suara yang ia kenali. Dalam, tenang, tapi penuh kesan. Alina menoleh spontan. Kevin?? Ia berdiri bersandar pada tiang gerbang, dengan seragam sedikit kusut, kemeja tak dimasukkan sepenuhnya, dan tas selempangnya tergantung santai di bahu. Ia menatap Alina sambil menyeringai kecil. “Eh… Kevin! Sejak kapan kamu di sini?” Alina mencoba menenangkan degup jantungnya yang seperti genderang perang. “Sejak kamu turun dari mobil sedan hitam mewah itu,” jawab Kevin santai. Alina langsung panik. “Itu… itu mobil ayahku. Aku cuma nebeng…” Kevin menatapnya dalam-dalam. “Kamu nggak perlu menjelaskan apa-apa. Aku cuma bilang, ternyata kamu lebih dari yang terlihat.” Alina menundukkan kepalanya. Pipinya berubah berwarna merah jambu. Nafasnya menjadi sedikit tercekat. Kevin lalu melangkah pelan ke arah gerbang. “Yuk, masuk bareng. Aku juga baru saja datang.” Untuk pertama kalinya, Alina berjalan sejajar dengan Kevin. Suasana terasa hening. Tapi bukan keheningan yang canggung. Justru keheningan yang nyaman, yang membuat waktu seolah berjalan lambat. Di Lantai Dua – Koridor Kelas Reva berdiri bersandar di pagar besi lantai dua, memandangi halaman depan sekolah. Vani, Della, dan Mitha ikut berdiri di belakangnya. Dan di sanalah mereka melihatnya. Kevin dan Alina. Berjalan berdua menuju gedung sekolah. Vani menggigit bibir. “Itu… Alina kan?” Della menyipitkan mata. “Wah, dia beneran jalan bareng Kevin?” Reva tak berkata apa-apa. Tatapannya tajam, dan tangannya mengepal perlahan. “Dia pikir dia siapa?” gumam Reva dengan suara pelan tapi menusuk. “Cuma anak baru yang pintar doang. Tapi sekarang udah mulai masuk ke wilayah kita.” “Reva, santai. Kevin tuh cuek sama semua cewek, termasuk kamu. Dia nggak akan mungkin menyukai perempuan baru itu.” Ucap teman nya. “Dia mungkin cuek. Tapi bukan berarti dia buta,” potong Reva dingin. Mitha melirik teman-temannya. “Terus kita mau ngapain?” Reva menoleh, bibirnya melengkung sinis. “Kita ajarin dia cara bertahan hidup di sekolah ini.” Kemudian Di Dalam Kelas Alina kembali duduk di samping Seruni, masih dengan sisa senyum di bibirnya. “Jangan bilang kamu bareng Kevin tadi pagi?” bisik Seruni sambil mengguncang lengan Alina. Alina hanya mengangguk, wajahnya merah muda seperti kelopak bunga sakura. “Dan kamu masih hidup?!” Seruni bergurau. Alina tertawa kecil. “Dia nggak galak kok. Cuma… dingin aja. Tapi tadi dia berbincang cukup banyak.” “Wah, ini prestasi besar! Kevin biasanya paling cuma ngomong ‘ya’, ‘nggak’, atau ‘enggak tahu’. Kamu pasti spesial!” Alina menatap keluar jendela. Ia tak berani berharap terlalu jauh, tapi hatinya hangat. Ia tak bisa berhenti tersenyum. Namun jauh di luar jendela, di balik tirai rapi di ruang OSIS, Reva sedang berbicara dengan senior dari kelas sebelah, membicarakan sesuatu dengan nada pelan namun serius. Dan Alina, yang sedang merangkai bunga-bunga harapan dalam hatinya, belum tahu badai kecil akan segera datang.Hari berlibur keluarga Alina nampaknya telah usai. Senja di Puncak perlahan memudar, menyisakan cahaya jingga di balik perkebunan teh yang terhampar luas. Mobil keluarga Alina meluncur pelan melewati jalan menurun yang berliku, sesekali terjebak macet panjang. Klakson bersahut-sahutan, lampu-lampu kendaraan menyalakan jalur gelap yang makin sesak.Di kursi belakang, Alina duduk bersandar di jendela dengan earphone terpasang, tapi lagu yang ia putar sama sekali tak menenangkan hatinya. Pikirannya masih penuh dengan satu wajah yaitu Kevin. Sosok itu muncul berkali-kali, silih berganti dengan bayangan Kevin yang tersenyum sambil merangkul seorang perempuan di pinggir lapangan basket, sebagaimana ia lihat di story WhatsApp senior OSIS kemarin.“Lin, kamu lapar? Mau kita cari makan dulu sebelum sampai Jakarta?” suara ayahnya terdengar dari kursi depan, memecah lamunan.Alina melepas salah satu earphone-nya. “Nggak, Yah. Alina nggak lapar,” jawabnya singkat.Ibu nya yang duduk di samping ay
Udara siang di Puncak terasa segar, semilir angin membawa aroma daun teh yang baru dipetik. Alina berjalan di samping ibunya, sementara ayahnya sibuk mengambil foto pemandangan dengan ponselnya. Mereka bertiga menapaki jalan setapak di antara kebun teh, matahari condong menyinari lembah hijau yang seakan tak berujung.“Indah banget ya, Yah,” kata Alina sambil menatap hamparan daun hijau yang berbaris rapi.“Iya, Lin. Ini tempat yang paling Ayah suka kalau mau menenangkan pikiran,” jawab ayahnya, senyum lega menghiasi wajahnya.Setelah cukup jauh berjalan, mereka menemukan sebuah saung kayu kecil di pinggir kebun. Mereka duduk berteduh di sana, menikmati hembusan angin yang menyejukkan. Ibunya mengeluarkan bekal camilan, sementara ayahnya merebahkan diri sambil menutup mata.Alina duduk sedikit menjauh, ponsel di tangannya ia nyalakan. Awalnya ia hanya berniat membuka pesan, mungkin ada balasan dari Kevin. Rindu yang ia tahan sejak berangkat liburan kini semakin sulit ia kendalikan.Na
Setelah makan malam selesai dan meja dirapikan, Kevin berdiri sambil membawa tas ranselnya.“Om, Tante, terima kasih banyak sudah mengizinkan saya makan malam di sini. Maaf merepotkan.” Ia menunduk dengan sopan.Ibunya Alina tersenyum ramah.“Ah, nggak usah sungkan begitu, Vin. Datang lagi aja kapan-kapan, rumah ini selalu terbuka buat kamu.”Kevin mengangguk. “Siap, Tante.”Alina yang berdiri di sampingnya, hanya bisa menatap canggung. Pipinya masih merah, apalagi sejak tadi Kevin terus mendapat pujian dari ayahnya.Kevin lalu menyalami ayah Alina.“Terima kasih juga, Om.”Ayah Alina menggenggam tangan Kevin erat, sambil menatapnya serius.“Vin… saya seneng ada teman yang bisa nemenin Alina. Jaga dia baik-baik ya, kalau lagi di luar.”Kevin sempat terkejut dengan tatapan ayahnya yang hangat tapi tegas. Ia mengangguk mantap.“Siap, Om. Saya akan jaga Alina.”Mendengar itu, Alina hampir tersedak napasnya sendiri.“Yaah! Ayah…” protesnya dengan wajah memerah, tangannya mencubit lengan a
Sore itu motor Kevin berhenti tepat di depan rumah Alina. Suara mesin yang pelan membuat ibunya Alina keluar dari teras, beliau tersenyum ramah begitu melihat siapa yang datang. “Eh, Kevin… pulang bareng lagi sama Alina?” sapa ibu dengan nada hangat. Kevin segera turun dari motor, melepas helm dan sedikit membungkukkan badan. “Iya, Tante. Habis latihan basket, saya ngajak Alina nonton sebentar. Semoga nggak apa-apa ya, Tan.” Alina langsung menyela dengan wajah setengah kesal. “Mama, jangan terlalu percaya. Dia itu sebenarnya ngajak aku ke suatu kantin yang rame banget. Masa disebut nonton?” Ibunya tertawa kecil. “Ya namanya juga anak muda, Lin. Jalan bareng itu udah bikin hati seneng kan?” Alina mendengus sambil masuk ke rumah, meninggalkan Kevin dan ibunya di teras. Kevin berdiri kikuk sejenak, tapi ibunya menepuk bahunya dengan lembut. “Kevin, masuk dulu yuk. Kamu kan pasti capek habis main. Minum dulu di dalam ya.” “Wah, boleh banget Tante. Makasih ya.” Kevin pun
Di hari berikutnya pagi itu, udara Jakarta masih terasa segar meski matahari sudah mulai meninggi. Kevin datang ke rumah Alina dengan motor vesmet nya. Ia terlihat berbeda dengan seragam basket biru-putih melekat di tubuhnya, ransel di punggung, dan senyum semangat terpancar.“Lin!” panggil Kevin sambil menyalakan klakson pelan.Alina baru saja selesai sarapan dan masih merapikan rambutnya. Begitu keluar, ia sempat menatap Kevin dari kepala sampai kaki.“Wah… pagi-pagi udah full gear gini. Mau kemana?” tanyanya sambil sedikit mengerutkan dahi.Kevin menepuk ranselnya. “Hari ini ada tanding basket. Kamu ikut yuk? Temenin aku.”Awalnya Alina kaget. “Aku? Serius?”“Ya serius lah. Masa aku mau ngajak siapa lagi,” jawab Kevin, matanya menatap penuh harap.Alina tersenyum kecil, sedikit menahan rasa deg-degan. “Yaudah, tunggu sebentar. Aku ambil jaket dulu.”Tak lama kemudian mereka melaju bersama, Alina di bonceng di belakang Kevin. Jalanan kota masih ramai, tapi perjalanan terasa singkat
Di hari berikutnya Kevin tak ada kabar, padahal Alina menunggu kedatangan nya kembali. Alina berinisiatif menanyakan kabar nya pagi hari itu.Pagi menjelang siang, udara liburan masih segar. Alina baru saja selesai sarapan ketika ponselnya bergetar di meja.Pesan dari Kevin.“Maaf kemarin nggak datang kerumahmu, aku lagi pusing banget, Lin.”Alina mengerutkan kening. Pusing? Dia ingat, Kevin bukan tipe orang yang gampang mengeluh.Ia mengetik cepat.Alina: “Kenapa? kamu sakit?”Kevin: “Bukan, ini tentang masalah keluarga.”Alina: “Cerita aja Kev. Mungkin aku nggak bisa bantu banyak, tapi aku mau mendengarkanmu.”Butuh beberapa menit sebelum balasan.Kevin: “Pamanku mau jual rumah kami. Rumah ini peninggalan almarhum ayah dan ibu, tentunya aku sama kakakku nggak mau.”Alina seketika tertegun. Tangannya berhenti mengetik di atas layar ponsel. Ia bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Kevin.Tak sampai lima menit kemudian, Alina meneleponnya.“Kev, ini beneran serius?” suara Alina l