"Apa kamu akan datang, Sar?" tanya Andi. "Harus, Ndi. Meski aku mau menceraikan dia, tapi aku harus datang dan buat kejutan untuk mereka." "Apa kamu baik-baik saja, Sar?" Aku tersenyum kecut. Bohong jika kukatakan aku baik-baik saja. Mana ada istri yang bisa baik-baik saja setelah dikhianati oleh suaminya? "Acaranya lusa, kan? Di rumah Hera?" "Iya, Sar. Mereka nggak tahu kamu pindahan hari ini kayaknya, makanya anteng-anteng aja ngadain acara itu. Aku pas tahu juga kaget, nekad banget Bang Tohir." "Ya sudah, Ndi, makasih infonya, ya." "Sip, kabari kalau butuh bantuan ya, Sar." Aku mengacungkan jempol. Hera, sahabatku. Tega kamu melakukannya? Apa tidak bisa bersabar sedikit sambil menunggu aku mengajukan perceraian ke pengadilan? Apa segitu gatalnya dirimu menjadi wanita? "Nduk? Kenapa?" Aku menoleh seraya tersenyum. Tidak, ibu tak
"Ayah?" "F-Farhan. Ya Allah, Nak. Ayah kangen." Farhan membalas pelukan ayahnya. Biar bagaimana pun, Tohir tetap lah ayah kandungnya. Ada rasa rindu yang terselip di rasa sakit hatinya. "Kenapa Ayah nggak langsung masuk aja?" "Ayah takut ganggu, Nak." "Nggak ada yang ganggu, Yah." "Ya sudah, sekarang Ayah mau pulang dulu karena Nenek lagi sakit." Farhan mengangguk. Tohir langsung pulang, setelah memastikan tak ada kecurigaan di kedua mata anak sulungnya itu. Sampai di rumah, Tohir menghela napas panjang. Ia lega seakan baru saja keluar dari medan perang. Dihubunginya seorang rentenir yang bisa membantunya. Karena jika ia masukkan ke pegadaian, maka harus Sarah yang menandatanginya. "Butuh uang berapa?" "Seratus juta," jawab Tohir mantap. "Jangan gila kamu, Hir. Rumah itu kecil, harga jualnya aja mungkin segitu.""Ya sudah, lima puluh juta," ucap Tohir. "Empat puluh juta, kalau mau, saya cairkan hari ini uangnya." Mau tak mau, Tohir pun mengiyakan ucapan rentenir itu. Dari
Rita bergerak maju ke arah Tohir. Ia malu bukan main saat melihat pernikahan anaknya dihancurkan. Terlebih ketika video Tohir yang diam-diam masuk ke dalam kamar Sarah dan mengambil sertifikat rumah itu diputar. "Tohir, lakukan sesuatu. Jangan buat dia semakin membuat kita malu." Sarah tersenyum ke arah pelaminan. Di mana Rita tengah kasak-kusuk menyuruh sang anak. "Lihat lah. Sebagai seorang ibu, bukan kah seharusnya beliau menasehati, atau minimal menegur anaknya? Apalagi ini sampai menikah lagi. Padahal, anak perempuannya pun bernasib sama sepertiku. Tapi tak ada empati dari keluarga itu," ucap Sarah dengan lantangnya, sehingga membuat tamu semakin heboh. Rita mendelik, ia berjalan ke arah Sarah dan menamparnya. Membuat wanita itu terhuyung ke belakang. "Dasar ja lang! Pantas anakku menikah lagi. Dia pasti tak tahan punya istri sam pah sepertimu!" Sarah tertawa, bahkan tawanya terdengar amat miris. Ia kini tahu, jika mertuanya itu sedang mencoba untuk menjadikannya kambing hi
"Ingat, Sarah! Harta yang diraih selama pernikahan itu termasuk gono gini," ucap Hera. "Betul. Tapi aku tak sudi membaginya. Aku capek kerja di luar negeri, eh taunya anakku nggak disekolahkan, ibuku gak diobati, anak bungsuku malah pake bajunya kucel. Duitnya abis buat menuhi napsu belanja keluarganya dan juga pasti masuk ke kamu kan, Her?" Hera mendelik, meski apa yang dituduhkan oleh Sarah itu memang benar. "Kurang aj*r kamu, Sar. Jangan sok tahu." "Kok sok tahu? Kan memang aku ini tempe, gimana kelakuan kalian di belakangku. Aku benar-benar nggak nyangka sama kamu, Her. Bisa-bisanya kamu kacau-in rumah tanggaku kaya gini? Padahal kita teman," ucap Sarah. "Teman, katamu? Hahaha, sejak kapan? Kita berteman hanya dulu, Sarah. Selebihnya aku menganggapmu musuh karena merebut Mas Tohir dariku." Sarah mengerutkan keningnya. Omong kosong macam apa ini? Bukan kah dulu Hera tengah berpacaran dengan Imron ketika ia dan Tohir dekat? "Sudah lah. Lebih baik kalian pergi. Aku tak sudi me
Murni langsung berdiri. Sudah cukup ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Kini, setelah ia disuruh untuk meminta maaf, ada lagi keinginan Tohir untuk ngontrak. "Hera, sebaiknya kita pulang." "Kamu mau pulang, Her? Silakan aja. Aku akan tetap di sini kalau Ibu gak izinin kita buat ngontrak."Hera menatap ibunya lama. Seberani-beraninya ia pada sang Ibu, tetap saja ia takut. Terlebih, ia takut akan dicoret dari ahli waris ketika Murni telah tiada nantinya. Tanah dan kontrakan sepuluh pintu, membuat Hera mengabaikan suami dan mengekori Murni pulang. Rita berdecak sebal, melihat anaknya tak ada harga dirinya di hadapan istrinya itu. "Kok kamu diam saja istrimu dibawa pulang sama ibunya? Kejar!" Tohir seakan tersentak, ia kemudian berdiri dan berlari ke depan. Sayangnya, Hera dan Murni sudah pulang lebih dulu. Tohir menggeram. Tak menyangka jika istri barunya itu akan pergi tanpa dirinya. "Sebaiknya kamu pulang saja dulu sana, Hir. Mama takut kalau dia macam-macam sama Hera." Tohi
Rita menarik lengan Sarah yang hendak masuk ke dalam rumah bersama Zaki. "Heh, mantu kurang ajar! Kembalikan sertifikat rumah itu. Asal kamu tau, rumah itu dibangun di atas tanahku!" ucap Rita. "Kenapa? Apa kamu sudah diteror sama Bu Eni, Mas?" tanya Sarah dengan terkekeh. Melihat sikap Sarah, Tohir mengepalkan tangannya. Ia benar-benar seperti tak mengenali istrinya sendiri. Padahal dulu, ia paling bisa disetir dan dikendalikan. "Kembalikan, Sarah. Atau rumah itu akan kuhancurkan." "Silakan aja, Mas. Aku bisa bawa itu semua ke kantor polisi. Kamu mau, jadi napi? Sudah, pulang sana. Aku nggak menerima kehadiran kalian." Sarah mengajak Zaki kembali masuk. Tohir ingin masuk juga, tapi Rita dan Ranti melarangnya. "Di mana harga dirimu? Sudah, kita pulang saja. Kita pikirkan caranya nanti."Tohir berdecak sebal, namun akhirnya menuruti keinginan Rita dan juga Ranti. _______"Sudah pergi, Nak?" tanya Sumi. "Sudah, Bu." "Untung saja kamu datang. Tadi Ibu sudah takut saja mereka ak
"Apa-apaan kamu, Mas? Sembarangan kamu masuk ke dalam rumah orang?!" Tohir hanya melirik ke arah Sarah sebentar, lalu kembali fokus pada ponselnya. "Mas! Aku lagi ngomong sama kamu, loh." "Apa? Kenapa aku masuk rumah ini harus sesuai izinmu? Bukan kah kita pasangan suami istri?" tanya Tohir enteng. "Benar-benar tak tahu malu!" Tohir sampai menoleh ke arah Sarah. Tak menyangka jika wanita yang masih menyandang status sebagai istrinya itu berani mengucapkan hal demikian. "Apa? Memangnya omonganku salah? Kita masih suami istri yang sah secara agama, Sarah! Kamu jangan macam-macam jika tak mau jadi istri durhaka!" Sarah tertawa terbahak-bahak. Merasa lucu dengan sikap sang suami. "Heh, Mas! Makanya kalau ngaji jangan cuma sampai batas suci doang! Kamu sudah tidak menafkahiku selama bertahun-tahun. Bahkan jika tiga bulan berturut-turut saja sudah masuk dalam talak! Ada juga hadist-nya!"Sarah mengatur napasnya. Emosinya sudah tak terbendung melawan Tohir. Bukankah benar apa yang di
"Maksudnya, kamu nyindir aku, Sar?" tanya Riska sinis. "Oh, kesinggung, ya? Maaf, deh. Aku cuma kasih peringatan aja, nggak semua orang itu suka sama kita. Jadi jaga sikap dan ucapan. Pantas dulu kamu dibully, ternyata begini kelakuanmu?" Riska melengos. Ia jadi teringat kembali kejadian beberapa puluh tahun silam. Saat ia baru saja mencela Adel dan datang anak lain membullynya, bahkan sampai merobek bajunya. "Sudah lah, maaf ya kalau aku ngerusak acara. Udah malam, aku pamit dulu," ucap Sarah. "Sama aku, Rah," ucap Adel, ia pun sudah malas di sana. "Kamu sama aku aja, Del." Adel menoleh, terlihat Asrul melambaikan tangannya. Sarah melihatnya dan tersenyum sekilas. Ia paham jika keduanya tengah pendekatan. "Nggak usah, Del. Aku bisa sama Zakki. Kan tadi sama dia berangkatnya," ucap Sarah. "Dih, bisanya ngrepotin orang aja! Zakki mau sama aku. Iya kan, Zak?" tanya Riska sambil tersenyum ke arah Zakki, tangannya mengamit lengan lelaki itu, membuat riuh dari teman-teman yang lain