Malam itu, di balik dinginnya Ravenstale, satu bayangan mendekati cahaya yang selama ini dijaganya dari jauh.
Helena duduk di pinggir ranjang, memeluk kedua lututnya. Hujan sudah reda, tapi dingin yang menempel di kaca jendela tetap membekukan ruang itu. Tirai tipis bergerak pelan tertiup sisa angin malam. Matanya menatap nanar ke layar ponsel yang mati sejak sepuluh menit lalu. Pesan yang dia kirim... tak kunjung berbalas. Pintu kamar berderit pelan. Bukan langkah di balkon. Bukan siluet dari luar jendela seperti biasa. Helena menoleh, jantungnya berdegup. Dan di sana... Kevin berdiri di ambang pintu. Jaketnya basah, rambutnya meneteskan sisa hujan, dan mata itu—mata yang menyimpan ribuan perang, kini hanya menatapnya. Tatapan yang bukan hanya letih, tapi juga rindu, cemas, dan hancur. Helena beVelmora Barat tak menunggu fajar untuk berperang. Malam ini, peluru bicara... dan darah jadi jawabannya. Velmora Barat dipilih. Jalur pesisir, lima jam menuju Blackstone. Cepat, tapi penuh kuburan tanpa nisan. Mobil Kevin — sport hitam, bodi anti peluru, kaca buram pelindung panas, mesin meraung menantang malam. Angin laut membawa bau asin bercampur karat darah. Lampu pelabuhan gelap mulai terlihat di kejauhan. Helena menggenggam jaket Kevin, tapi jari-jarinya mulai gemetar. Napasnya tak beraturan. Mata beningnya membesar, bayang-bayang panic attack mulai menyergap. Dan saat peluru pertama menyalak — BRAK! kaca spion pecah. Mobil oleng sedikit sebelum Kevin menguasai kemudi lagi. Kevin melirik cepat. Lena… Ada sekejap luka di sorot mata Kevin saat melihat Lena hampir tenggelam di g
Dua jalur membentang. Satu terjal, satu licin. Keduanya berlumur darah. Mobil Kevin melaju pelan, menyusuri jalur terakhir Velmora Utara. Kabut pagi mulai menipis, digantikan hembusan angin asin dari jauh. Suara mesin satu-satunya teman, membelah sunyi yang menggantung di udara. Pohon-pohon pinus yang setia mengawal perjalanan mereka kini hilang di kaca spion, tertelan bayang Velmora Utara yang makin jauh di belakang. Helena duduk diam di kursi penumpang, tubuhnya bergeming tapi jari-jarinya mencengkeram ujung jaket Kevin erat, seolah tak mau melepaskan jangkar hidup satu-satunya. Matanya lurus menatap jalan basah di depan mereka. Suara David terdengar dari komunikator, serak tapi jelas. “Kalian sudah keluar perimeter Velmora Utara. Aman sampai sini. Tapi di depan… kalian akan temui persimpangan. Pilihan kalian akan tentukan segalanya.” Kev
Tak ada tempat aman bagi musuh. Nafas pagi ini adalah awal hukuman. Pagi merangkak pelan di Vark. Kabut tipis menggantung di luar jendela kecil safehouse itu, menyusup lewat celah-celah kayu tua, membawa hawa dingin yang menggigit. Helena masih terlelap. Tubuh nya menggenggam jaket Kevin seperti takut kehilangan jangkar hidupnya. Kevin terjaga sejak tadi. Matanya sayu menatap wajah gadis itu. Lingkar mata lelahnya jadi saksi malam panjang yang baru mereka lewati. Jemarinya tak berhenti membelai lembut rambut Helena, seolah memastikan setiap helainya tetap ada, tetap nyata di pelukannya. Ia menarik napas panjang, dada bidangnya mengembang. Aroma samar rambut Helena, bercampur bau kayu tua safehouse itu, jadi satu-satunya hal yang membuat Kevin tetap waras. “Cantiknya kau waktu damai begini…” bisik Kevin nyaris tak terdengar, takut membangunkan Helena.
Kadang, kekuatan bukan ada di tangan yang memegang senjata... tapi di tangan yang berani menggenggam yang rapuh. Safehouse itu tersembunyi di pinggiran Vark, kota perbatasan dingin yang seolah dilupakan peta. Hanya hutan pinus dan kabut yang jadi temannya. Bangunan tua berbatu, tak ada tanda, tak ada jejak. Hanya mereka yang pernah hidup di pinggir dunia yang tahu jalannya. Mobil hitam Kevin berhenti di depan gerbang baja berkarat. Mesin dimatikan. Hanya ada suara angin malam yang menggerogoti dinding-dinding tua itu. Kevin menekan perangkat komunikator. Sinyal tersendat, suara David dan Dendy hanya terdengar sepotong-sepotong. “...kau di mana…?” “...jawab, Kev…” Kevin menarik napas dalam, menahan rasa frustrasi. Lalu, ia kirim satu pesan pendek, cukup untuk dua alpha yang mengerti kode. [KEVIN: Helena aman. Vark. Safehouse. Janga
Malam di Velmora tak lagi sekadar gelap. Malam ini jadi saksi perburuan salah arah, di mana sang pemburu justru menjadi mangsa. Dan di balik kemudi, Kevin Xavier bersumpah: tak ada yang pulang hidup jika berani memburu bayangannya. Mobil sport hitam Kevin melaju membelah gelap, suara mesinnya bergemuruh rendah, liar menahan tenaga yang siap meledak kapan saja. Helena terdiam, wajahnya masih terbenam di dada Kevin. Tangan Kevin tetap menahan bahu Helena erat, satu lagi menggenggam pistol di pangkuannya. Jauh di belakang, dua titik lampu memburu mereka, makin dekat, makin menekan udara di sekeliling. Kevin melirik kaca spion. Napasnya memburu, tapi matanya tetap tenang, dingin, mematikan. “Berani ikuti aku... kau sudah pesan liang kubur sendiri,” gumamnya. Di benaknya terlintas kilasan wajah David, Dendy, semua orang yang tahu persis siapa Kevin Xavier di arena gelap: eksekuto
Malam Ravenstale menganga seperti perangkap maut—diam, gelap, menunggu darah tumpah. Setiap bayang di lorong seperti mata musuh yang mengintai. Dan Kevin tahu, malam ini, satu kesalahan kecil bisa merenggut satu-satunya yang ia miliki. Langkah Kevin menghentak lantai koridor Ravenstale, napasnya memburu, wajahnya memucat menahan badai amarah dan cemas. Lorong itu sepi, hanya gema langkahnya yang menemani—seolah benteng ini ikut menahan napas, menunggu ledakan berikutnya. “Helena…” desisnya, matanya liar menyapu tiap sudut, tiap bayang gelap. Ia turun, berputar di lorong-lorong yang biasa dilalui pasukan, tapi malam ini seperti labirin yang menelan jejak. Pintu keluar taman terlihat di ujung lorong. Lampu gantung di atasnya berkedip pelan, angin malam menyelinap lewat celah pintu itu, membawa aroma tanah basah dan bahaya. Kevin menahan napas, jem